Oleh: Azyumardi Azra
KASUS Gayus Tambunan, pegawai golongan III A, dengan masa kerja kurang dari sepuluh tahun, dengan uang di sejumlah rekeningnya sekitar Rp 28 miliar, sekali lagi mengungkapkan betapa endemik dan latennya korupsi dalam kelembagaan birokrasi kita.
Selain Gayus, ada lagi BA, mantan kepala salah satu kantor pajak di wilayah DKI Jakarta, yang memiliki rekening konon lebih dari Rp 70 miliar. Kasus-kasus ini hampir bisa dipastikan hanyalah “puncak” dari gunung es yang lebih besar, yang tersembunyi di bawah permukaan.
Kasus-kasus ini memperlihatkan betapa rapuhnya kelembagaan birokrasi—dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak—terhadap penyelewengan. Padahal, para pegawai di instansi ini bertugas mengumpulkan dana wajib pajak untuk ketersediaan keuangan negara; mereka seyogianya memelihara amanah, tak menyerah pada godaan hawa nafsu untuk korupsi karena kerakusan.
Pemberian remunerasi kepada para pegawai pemungut pajak ini yang membuat mereka mendapatkan take home pay yang berlipat-lipat terbukti belum cukup memuaskan kerakusan. Ini membuat kian tercederainya rasa keadilan publik.
Aparat birokrasi mana lagi yang bisa dipercayai publik? Karena, mereka yang terlibat korupsi ternyata ada di hampir seluruh lembaga penegak hukum dan keadilan, mulai dari kepolisian, kejaksaan, peradilan hingga hakim-hakimnya. Kita selalu berapologi dan “menghibur diri” dengan menyatakan, para pelaku tersebut hanyalah “oknum-oknum”, padahal publik juga melihat berbagai indikasi bahwa korupsi semacam itu berlangsung cukup sistemik di antara orang-orang di sebuah instansi tertentu ataupun antarinstansi.
Fasad dan Nafsu Syaitaniyyah
Mencermati skala endemi korupsi seperti itu, tidak ragu lagi, ia telah menjadi “kriminalitas luar biasa”, yang pertama-tama telah merusak lembaga-lembaga birokrasi pemerintahan dan penegak hukum. Tidak kurang negatifnya adalah rusaknya trust, kepercayaan publik kepada aparat birokrasi dan penegak hukum. Padahal, trust merupakan salah satu modal sosial yang instrumental untuk membangun negara dan pemerintahan yang kredibel dan akuntabel sehingga pada gilirannya dapat memajukan bangsa.
Pada segi ini, para pelaku korupsi dari sudut pandang Islam telah melakukan fasad, kerusakan yang bahkan luar biasa (mafsadat) terhadap kehidupan masyarakat, pemerintahan, dan negara-bangsa. Lagi-lagi, dari sudut pandang Islam, para pelaku kerusakan mestilah sama sekali tidak ditoleransi dalam bentuk apa pun dan mereka wajib dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Mentoleransi dan berlaku “lunak” (lenient) kepada mereka hanya membuat publik dan negara yang menjadi korban juga dapat hanyut dan tenggelam dalam arus mafsadat.
Mafsadat, khususnya korupsi yang terutama disebabkan kerakusan, bersumber dari hawa nafsu yang tidak terkendali, yang dalam Islam disebut al-nafs al-syaithaniyyah—hawa nafsu setan. Karena itu, terdapat banyak ayat Al Quran yang memperingatkan manusia untuk tak hanyut mengikuti hawa nafsu, yang bakal menjerumuskan diri ke dalam kesesatan dan kehancuran di dunia dan akhirat.
Manusia yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu setannya tidak hanya merusak dirinya, tetapi sebagaimana dikemukakan dalam Hadis Nabi Muhammad SAW, juga merusak umat dan bangsa. Nabi Muhammad SAW juga menyatakan, jihad terbesar (al-jihad al-akbar) adalah jihad melawan hawa nafsu setan yang dapat bernyala-nyala dalam diri manusia, yang membawanya ke dalam berbagai tindakan mafsadat yang menghancurkan diri dan masyarakat lingkungannya.
Hukuman Berat
Merupakan tanggung jawab lembaga dan ormas keagamaan untuk juga berbicara lantang tentang mafsadat korupsi dan pada saat yang sama memaklumkan jihad—dalam hal ini bermakna, bersungguh-sungguh—melawan korupsi. Ini salah satu bentuk jihad, kesungguhan tekad dan tindakan, yang sangat dibutuhkan negara-bangsa ini pada masa ini. Lebih daripada itu, lembaga dan ormas keagamaan hendaknya mengembangkan berbagai bentuk program jihad anti-korupsi dan terus melakukan penyadaran publik tentang pentingnya bersama melakukan jihad, kesungguhan melawan korupsi dalam berbagai bentuk.
Salah satu “hikmah” positif dari terungkapnya kasus Gayus dan juga BA adalah meningkatnya “kemarahan” publik terhadap korupsi. Terdapat kecenderungan kuat, publik menginginkan hukuman seberat-beratnya terhadap koruptor. Bentuknya, mulai dari hukuman mati seperti dikemukakan Menhuk dan HAM Patrialis Akbar, atau hukuman seumur hidup, penyitaan seluruh kekayaan, sampai sanksi sosial, dikeluarkan dari masyarakat adat, pengucilan sosial, dan seterusnya.
Hemat saya, berbagai alternatif hukum ini sepatutnya dapat segera diterapkan; tentu saja dengan tetap mempertimbangkan tingkat korupsi yang dilakukan. Namun, pada prinsipnya, dari sudut hukum dan perundangan serta agama, hukuman maksimal mestilah diterapkan kepada para koruptor tanpa pandang bulu dan tanpa ampun. Bahkan, dapat pula dipertimbangkan penjara khusus koruptor untuk membuat jera sehingga mereka yang punya niat untuk mencuri dana publik berpikir seribu kali sebelum melakukan korupsi.
Para ahli fiqh (hukum Islam) sepakat, hukuman berat terhadap pencuri kekayaan milik negara dan publik sangat perlu dalam rangka menjaga kemaslahatan publik agar tidak terjerumus ke dalam mafsadat yang dapat menghancurkan kehidupan negara-bangsa, yang di dalamnya juga termasuk umat beragama.
Hukuman berat juga sangat penting dalam rangka menegakkan prinsip perlindungan terhadap harta (hifdz al-maal), baik milik pribadi maupun milik negara atau publik. Hifdz al-maal merupakan salah satu dari lima kemaslahatan publik (al-kulliyat al-khamsah) yang mesti ditegakkan sungguh-sungguh oleh negara dan pemerintah yang telah memperoleh otoritas (tawliyyah) dari rakyat. Jika kita masih juga gagal melakukan pemberantasan korupsi sehingga para koruptor terus gentayangan dengan al-nafs al-syaithaniyyah-nya, negara-bangsa ini bakal terjerumus ke dalam jurang fasad dan mafsadat tanpa dasar. Na’udzubillah min dzalik.
Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Sumber : Kompas, Jumat, 9 April 2010