Jakarta - Perhelatan Indonesia Fashion Week (IFW) 2013 bukan hanya gerakan untuk memajukan industri fesyen tanah air, namun acara yang digelar selama empat hari ini merupakan pesta kain adat seluruh Indonesia.
Lebih dari 150 perancang busana yang berpartisipasi dalam pagelaran busana IFW 2013, menggunakan aneka kain Indonesia. Mulai dari sarung, batik, atau pun tenun disulap menjadi busana siap pakai yang lalu dipamerkan ke khalayak ramai.
Sebagai contoh Lenny Agustin, Ai Syarif, Sony Muchlison, Irna Mutiara, Samuel Watimena, dan sederet desainer lain yang mengunakan kain adat sebagai bahan untuk dijadikan gaun, blus, jaket, celana pipa, kemeja, dan aneka busana siap pakai lainnya.
Ikut memeriahkan kelompok perancang busana yang tergabung dalam Dekranasda Sumatera Barat, memamerkan kekayaan kain khas Sumatera dalam pagelaran "Minangkabau Heritage".
Tidak kalah menarik, beberapa perancang dari Dekranasda Nusa Tenggara Barat, juga memamerkan kain tenun khas NTB melalui pagelaran "Eksotika Tenun NTB".
"Tahun ini IFW masih mengangkat tema sarung Indonesia, karena kami ingin sarung bisa menjadi gaya berpakaian baru," ujar Direktur Indonesia Fashion Week 2013, Dina Midiani.
Dina ingin mengangkat sarung menjadi tren busana nasional menjadi populer menyerupai batik. Perancang busana Poppy Dharsono juga ingin menonjolkan kain adat Indonesia yang bisa digunakan oleh wanita modern bukan hanya sekadar kostum tradisional.
Melalui kreasi terbaru yang berjudul "Indonesia Modern Classic Archipelago" pada pagelaran busana IFW 2013, Poppy menggunakan tenun dan batik sebagai bahan dasar koleksinya.
"Budaya Indonesia itulah yang membuat kita berbeda dengan kreasi Hongkong, Jepang, atau pun India. Namun budaya kita lebih banyak, sehingga lebih mudah untuk membuatnya mendunia," kata Poppy.
Tidak hanya sekadar kain, namun seni kerajinan Indonesia juga ditampilkan berupa tas rotan, sepatu berbahan kain tenun, bordir, serta sulam khas daerah di Indonesia.
Kemeriahan pesta kain Indonesia ini membuat selebriti sekaligus perancang busana, Ivan Gunawan, untuk menggunakan kain adat Indonesia sebagai bahan utama busana yang dipamerkan.
"Empat belas tahun dalam karier merancang busana, baru kali ini saya berani menggunakan kain adat sebagai bahan dasar rancangan saya," ujar Ivan pada jumpa pers di perhelatan IFW 2013 beberapa waktu lalu.
Ivan yang mengaku jatuh cinta pada keindahan Polewali, Sulawesi Barat, akhirnya menggunakan kain tenun asal daerah tersebut sebagai bahan dasar busana racangannya yang berjudul "Malolo".
Karya seni bernilai tinggi dari kain Indonesia, tampaknya juga memikat pasar internasional. Buktinya, para perancang Indonesia yang lebih dulu dikenal di mancanegara berani menggunakan kain Indonesia sebagai salah satu unsur utama dalam koleksi busana mereka.
Sebut saja lini busana Ardistia New York yang berencana menggunakan tenun Indonesia sebagai bahan dasar koleksi pakaian yang akan datang.
"Mau banget deh bikin koleksi yang pakai tenun, selain memperkenalkan budaya Indonesia, tenun juga banyak disukai konsumen internasional," ujar perancang Ardistia New York, Ardistia Dwiasri di Jakarta, sebelum pagelaran busana koleksi dia.
Ardistia mengatakan, hingga saat ini dia dan tim desainer Ardistia New York masih mencari sumber atau perajin yang cocok.
Sejalan dengan Ardistia, lini busana 'Kromo' karya Auguste Soesastro yang juga merambah ke mancanegara ini, justru sudah menggunakan kain adat Indonesia pada koleksinya.
"Namun saya berpendapat bahwa kain adat Indonesia seperti tenun dan songet tidak bisa diolah sembarangan untuk menjadi busana siap pakai," ujar Auguste pada satu kesempatan saat perhelatan IFW 2013 berlangsung.
Menurut Auguste, tenun atau pun songket tidak bisa dipotong secara industrial untuk dijadikan pola. Pemotongan dengan cara ini justru akan membuat kain tersebut menjadi rusak dan menurunkan nilainya.
Pada pagelaran koleksi busana "Kromo", Auguste juga menggunakan tenun ayotupas khas Timor Timur yang bermotif geometris.
Auguste tidak menggunakan tenun sebagai bahan pakaian, dia menggunakan kain tenun tersebut sebagai aksen ataupun aksesoris berupa syal.
Auguste juga sempat mengkritik para perajin batik yang masih terus mengikuti motif batik kuno tanpa mencoba mengikuti perkembangan zaman.
"Motif batik juga harus mengikuti perkembangan zaman. Saya bosan dengan batik kawung atau pun motif parang, harus ada motif batik baru yang lebih modern," tegas Auguste.
Sumber: http://www.antaranews.com
Foto: http://swa.co.id/