Oleh: Indra Tranggono
GURITA suap yang dipaparkan Kompas, Senin (5/4), menunjukkan sangat meratanya pejabat negara yang gampang disentuh penyuapan; mulai dari lembaga peradilan, kejaksaan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, polisi, pengacara, DPR, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bea dan Cukai, kementerian, hingga Komisi Yudisial.
Kenyataan itu menunjukkan, di negeri ini korupsi dilakukan dengan kompak, manis, dan tentu tanpa rasa bersalah. Bahkan, sangat mungkin para koruptor punya semboyan yang cukup heroik: “korupsi adalah hak setiap bangsa”.
Seiring ringannya hukuman, praktik suap atau korupsi pun semakin progresif. Jika pada masa Orde Baru uang yang dikorupsi masih sekitar puluhan sampai ratusan juta, kini miliaran bahkan triliunan rupiah. Koruptor kelas jutaan dianggap ecek-ecek, sedangkan koruptor kelas miliaran atau triliunan dianggap militan dan canggih. Masing-masing koruptor “bersaing” jadi progresif dan militan. Korupsi pun mengenal liberalisme!
Progres capaian nominal korupsi bukan hanya mencerminkan peningkatan kerakusan para koruptor, melainkan juga menunjukkan tingkat resistensi yang tinggi atas moralitas (integritas) dan keadilan. Logikanya, semakin besar uang yang ditilep, semakin rendah martabat sang koruptor. Dalam skop lebih luas, logika itu bisa juga dipakai untuk membaca kenyataan: semakin banyak dan lengkap pejabat negara melakukan korupsi, semakin rendah martabat para penyelenggara negara. Dampaknya: penderitaan rakyat pun semakin meluas dan mendalam alias masif.
“Cash flow” Tinggi
Sejak Orde Baru, para pejabat negara semakin tegas menjadi kelas menengah yang dapat digolongkan sebagai priayi modern. Mereka tidak hanya menguasai modal kultural dan simbolis, melainkan juga modal ekonomi. Pada saat itulah, nilai-nilai kepriayian tercampur dengan nilai-nilai ekonomi dan bahkan jadi cenderung identik dengannya. Kepriayian minus kemampuan ekonomis tak akan sempurna meskipun hal yang sebaliknya cenderung tetap juga berlaku. Maka, menjadi priayi tidak lagi dibayangkan sekadar jadi pegawai negeri, orang kantoran, dengan gaya hidup priayi, melainkan sekaligus memperoleh kekayaan (Umar Kayam: Kelir Tanpa Batas: 2001).
Pergeseran kepriayian yang diurai Umar Kayam menunjukkan betapa konotasi “memperoleh kekayaan” atau “kemampuan ekonomis” cukup menonjol dalam status dan peran priayi modern saat ini. Tuntutan “harus kaya” atau “harus bergaya hidup mewah” akhirnya jadi beban para priayi modern. Jika tak kuat menyangga beban itu, para priayi modern terpaksa mengeksploitasi peran sosialnya, termasuk dengan cara menyimpang.
Gaya hidup mewah menuntut arus kas (cash flow) yang tinggi dan ajek. Namun, jika gaji tidak mencukupi, korupsi/suap akhirnya dipilih sebagai jalan. Apalagi jika para priayi modern itu masih harus dituntut untuk mengongkosi biaya sosial lain karena menjadi patron masyarakat, terutama keluarga besar priayi bersangkutan. Tuntutan ini meniscayakan priayi mempunyai modal ekonomi yang besar dan sering kali menjerumuskan mereka ke dalam tindakan korupsi (Heather Sutherland: 1983).
Penjelasan Sutherland bisa dijodohkan dengan contoh, misalnya masyarakat yang materialistis selalu menuntut pejabat harus kaya, punya mobil mewah, punya banyak rumah, berpenampilan perlente, dan tuntutan lain yang memenuhi citra orang sukses. Kekayaan dan penampilan fisik sering dijadikan sebagai ukuran kepribadian seseorang.
Kini kita pun sulit menemukan pejabat yang hidup dan berpenampilan sederhana, tetapi memiliki integritas, komitmen, dan kemampuan seperti, misalnya, hakim, anggota DPR, jaksa, dan polisi yang naik mobil dan rumah sederhana. Kenyataan yang menonjol adalah pejabat yang berpenampilan bak selebritas atau pesohor. Citra dianggap segalanya. Di luar itu, dianggap tidak bonafide. Mindset ini turut andil dalam maraknya budaya korupsi di kalangan pejabat.
Saatnya kepriayian dikembalikan kepada maknanya yang sejati, yakni kelas menengah yang mendapatkan pencerahan melalui pendidikan dan nilai-nilai kearifan sehingga mampu memancarkan fajar budinya kepada masyarakat yang lemah atau dilemahkan oleh struktur dan kultur. Pancaran fajar budi itu mewujud dalam solidaritas sosial dan solidaritas kebangsaan.
Betapa mulia jika pejabat negara atau kelas menengah lain memiliki etos kepriayian yang tercerahkan. Mereka selalu menyadari, keberadaan mereka berasal dari rakyat: pemilik sah kedaulatan. Jika nekat berkhianat, misalnya menerima suap, pasti kualat. Siapa pun pejabat yang tak berada dalam hati nurani rakyat pasti terjungkal, cepat atau lambat. Mungkin juga mereka harus siap menghadapi regu tembak jika hukuman mati bagi koruptor diberlakukan. Tak ada untungnya ngeman koruptor. Juga tak perlu ada karangan bunga buat kematian mereka.
Indra Tranggono, Pemerhati Budaya, Bermukim di Yogyakarta
Sumber : Kompas, Kamis, 8 April 2010