Peringati "Bahasa Ibu", Seniman Batak Gelar Acara

Jakarta - Tidak banyak yang tahu bahwa tanggal 21 Februari ditetapkan oleh Unesco sebagai Hari Internasional Bahasa Ibu, sejak November 1999. Nyatanya, Hari Internasional Bahasa Ibu nyaris tak ada gaungnya sama sekali. Padahal sebagian besar dari bangsa ini mengenal bahasa daerah sebagai bahasa ibu.

Juga tidak banyak yang perduli ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2011 lalu, menyatakan bahwa pada akhir abad ke-21, diperkirakan 90% bahasa daerah terancam punah. Dari 746 bahasa daerah yang masih eksis saat ini, hanya akan tersisa sekitar 10% atau 75 bahasa daerah saja. Lantas, quo vadis bahasa daerah? Ironisnya, Kemendikbud sendiri sudah menetapkan kurikulum tahun 2013 tanpa muatan lokal/bahasa daerah.

Beberapa penggiat sastra belakangan ini mencoba berjuang sendiri-sendiri melestarikan bahasa daerah. Di antaranya bahasa daerah Jawa, Sunda, Bali, Banjarmasin, Batak. Mungkin masih ada yang lain. Bahkan Ajib Rosidi dan kawan-kawan sejak tahun 1989 telah memprakarsai pendirian Yayasan Rancage untuk melestarikan bahasa daerah. Termasuk memberi award kepada mereka yang setia bergiat dalam penulisan sastra berbahasa daerah.

Majalah berbahasa daerah masih coba bertahan, di antaranya majalah bahasa Jawa Penjebar Semangat, Jaya Baya, Djaka Lodhang, Damar Jati, Mekar Sari, ANCAS. Dalam bahasa Sunda ada koran Galura, majalah Sunda Midang, Cupumanik, Manglé, Jurnal Budaya Sundalana.

Tahun 2012 pengarang Saut Poltak Tambunan menulis kumpulan cerpen ‘Mangongkal Holi’ dan novel ‘Mandera na Metmet’ dalam bahasa Batak Toba. Ini sastra modern pertama dalam bahasa Batak Toba. Buku ini diterbitkan atas kegelisahan bahwa bahasa daerah Batak termasuk salah satu yang semakin ditinggal oleh penuturnya.

Dalam keseharian kian banyak anak muda Batak yang enggan bertutur dalam bahasa ibu (mother tongue). Di kampung pun remaja dan anak-anak sejak dini sudah dibiasakan berbahasa Indonesia dengan dialek daerah setempat. Sebab jika nanti mereka masuk sekolah dan kuliah, apalagi mencari pekerjaan, Bahasa Indonesia dan bahasa asing yang lebih diperlukan. Bukan bahasa daerah.

Kita tahu Bahasa Indonesia benar-benar sudah menjadi bahasa persatuan. Namun, perkembangan Bahasa Indonesia seharusnya tidak membuat bahasa daerah menjadi punah. Selain itu ketersisihan bahasa daerah juga menjadi konsekuensi dari modernisasi, yang mendorong derap urbanisasi, pernikahan antar-etnis, industrialisasi, dan terciptanya masyarakat heterogen. Teknologi informasi yang selalu “English”. Apalagi, pendidikan dan transformasi ilmu pengetahuan nyaris tak ada yang diantarkan dalam bahasa daerah.

Pergaulan, telekomunikasi, dan media seolah mendorong penggunaan Bahasa Indonesia dan bahasa asing sebagai bagian dari gaya hidup. Maka, bagi sebagian anak muda, berbahasa daerah dianggap kampungan, tak diperlukan, tak menarik, dan bahkan anakronis, tak sesuai perkembangan zaman.

Banyak kearifan lokal dan nilai luhur tradisional yang hanya tepat ditransformasikan lewat bahasa Ibu. Ketika minat bertutur dalam bahasa daerah memudar, banyak kearifan lokal yang ikut lenyap. Karena itu Unesco pun merasa berkepentingan untuk menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Bagaimana dengan kita sendiri?

Menyikapi kegelisahan itu, Saut Poltak Tambunan dan Martogi Sihotang mengagas kerjasama Grup Fesbuk Tortor Sangombas, Yasasan Sar_Une dan Café Bakara untuk menyelenggarakan acara bertajuk Hata Batak, dari Perspektif Sastra, teater dan Musik Tradisi Batak, bertepatan Hari Internasional Bahasa Ibu.

-

Arsip Blog

Recent Posts