Ritual Buang Jong di Pantai Tanjungkelayang: Turis Gembira Ikut Menari Sampan Ngeleng

Bangka - Suara gendang berpadu gong mengiringi langkah pemuka adat Kecamatan Sijuk dan Suku Laut dari pinggir Pantai Tanjung Kelayang menuju jalan tidak beraspal. Di sana diletakkan sebuah replika kapal laut berisi aneka sesajian. Kapal laut itu diusung bersama-sama untuk diletakkan di pinggir Pantai Tanjung Kelayang.

Kapal laut ini disebut jong yang digunakan untuk ritual buang jong di Kecamatan Sijuk, Kamis (18/10) kemarin. Sedangkan isi kapal berupa makanan seperti ketupat, minuman kaleng, rokok hingga korek api yang tertata rapi.

Jong diusung ke pinggir Pantai Tanjung Kelayang lalu diletakkan di atas kayu dihadapan para pengunjung. Bagian depannya menghadap ke laut. Sedangkan bagian belakang menghadap ke daratan. Maknanya, jong sudah siap dilarung ke tengah laut.

Sebelum sampai pada proses itu, para pemuka adat lebih dulu menggelar berasik, yaitu prosesi menghubungi atau mengundang roh halus melalui pembacaan doa. Entah ada hubungannya atau tidak, tiba-tiba cuaca sekitar Tanjung Kelayang berubah. Angin bertiup kencang dan gelombang laut begitu deras. Namun ini justru pertanda ritual buang jong diterima roh penguasa laut dan daratan.

Setelah itu, seorang pemuda menari mengikuti suara gendang berpadu gong yang terus mengalun. Sambil terus menari pemuda itu membawa sebuah benda yang terbuat dari kayu berbentuk kecurut. Benda itu adalah replika rumah yang dihiasi daun kelapa, dipegang dengan dua tangan, lalu digoyangkan ke arah empat penjuru mata angin.

Tarian menggoyang-goyangkan replika rumah ini disebut Tarian Ancak. Maknanya untuk memasukkan roh halus, terutama para roh penguasa lautan agar ikut bergabung dan ritual buang jong. Tak menunggu lama, penari itu pun langsung kesurupan.

Penari itu tanpa sadar naik ke atas tiang tinggi yang diibaratkan sebagai tiang kapal layar, bisa juga diibaratkan sebuah gunung. Kesurupan memanjat tiang tinggi ini disebut jitun. Namun tidak sampai berlarut-larut, pemuda tadi segera disadarkan dengan mantera.

Ancak lalu diletakkan di atas sebatang kayu. Sebab benda ini tidak boleh dibawa ke laut karena hanya diperuntukkan bagi roh yang ada di daratan.

Ritual buang jong belum selesai, tarian sambang tali yang dimainkan sejumlah pria pun dilakukan. Tarian ini diambil dari nama burung, yang bermakna burung mampu menunjukkan lokasi yang banyak didiami ikan buruan para nelayan. Begitu pula jika nelayan kehilangan arah, burung dianggap berjasa menunjukkan jalan pulang.

Dua lelaki berusia cukup tua mengambil sebuah tombak. Pangkal tombak itu diikatkan seutas tali panjang agar dapat ditarik kembali jika dilempar ke laut. Mata tombak yang sebelumnya dibacakan mantera begitu tajam hingga mampu membunuh ikan duyung, sebab itu bagian ini disebut numbak duyung.

Ritual dilanjutkan mancing ikan. Umpan ditaruh pada kail yang diikatkan dengan tali, lalu dilempar ke tengah laut. Tidak tanggung-tanggung, umpan itu langsung disantap dua ekor ikan besar.

Umpan dilempar hingga tiga kali. Yang ketiga, ikan yang didapat sangat besar sehingga sulit ditarik ke atas kapal. Seorang nelayan akhirnya terpaksa menyelam untuk melihat hasil pancingannya. Ia tidak percaya dengan hasil tangkapannya, lalu mengajak temannya untuk menyelam bersama-sama.

“Jika ikan banyak, maka orang tidak boleh mencuci tangan di laut. Jika ikan banyak, orang juga sebaiknya tidak bersuara,” kata Idris Sahid, Wakil Suku Laut Jalan Baru didampingi Gijik dari Suku laut Seberang kepada Grup Bangka Pos usai acara.

Barulah setelah itu, jong dibawa ke laut setelah dilakukan tarian sampan ngeleng, sampan berputar-putar. Tarian ini bermakna kegembiraan atas rezeki yang telah diberikan selama ini. Karena itu, tarian ini bisa diikuti pengunjung termasuk para tamu yang hadir.

Diiringi rasa gembira, jong kemudian dibawa ke tengah laut untuk dilarung. Mantera dibaca agar sesajen yang tertata rapi dalam jong tadi dapat diterima. Baru setelah itu jong diturunkan perlahan-lahan dan dilepas ke tengah laut. Jong lalu terbawa gelombang seiring harapan rezeki atau hasil tangkapan para nelayan terus meningkat.

Ritual buang jong sebenarnya dimulai pementasan tari sampan ngeleng, tarian pembuka dan penutup bagi suku laut. Suguhan lainnya berupa lagu Aku Berayun. Lagu ini semula bernama Antu Berayun, namun dalam kegiatan digubah menjadi Aku Berayun.

Suguhan yang tidak kalah menarik lainnya adalah gajah menunggang. Isinya berupa bait-bait pantun nasehat bijak hingga petuah hidup. Lalu dilanjutkan bedaek. Bedaek adalah kegiatan berbalas pantun sambil memukul gendang untuk melepas lelah setelah melaut. Bedaek biasanya dilakukan saat bulan purnama, bisa di halaman rumah ataupun di tepi pantai.

Buang jong biasanya dilakukan sekitar bulan Agustus hingga November, pada saat pergantian musim tenggara ke musim barat. Idrie menjelaskan pada Rabu (17/10) malam mereka juga telah menggelar Tari Ancak. Sedangkan pada Rabu siangnya mereka menampilkan pencak silat serta kuda dareng. Dilanjutkan dengan memanggil roh di ujung tanjung untuk `dimasukkan` ke dalam ancak.

Ikut Menari
Ritual buang jong tahun ini sedikit berbeda dengan tahun lalu. Lantaran bertepatan dengan kegiatan akbar Sail Indonesia 2007, maka pihak Kecamatan Sijuk berinisiatif memindahkan lokasi yang semula di Tanjung Tinggi menjadi Tanjung Kelayang.

“Memang sengaja dipindahkan karena berkaitan dengan Sail Indonesia. Tidak ada masalah untuk pemindahan lokasi itu,” kata Camat Sijuk Sahani Saleh.

Buang jong tahun ini terasa semakin meriah dengan kehadiran sejumlah turis asing, para peserta Sail Indonesia 2007. Mereka bahkan ikut menari sampan ngelang bersama Bupati Belitung Ir H Darmansyah Husein berbaur bersama warga suku laut. “Oh yes... a lot,” kata salah satu peserta Sail Indonesia ketika harian ini menanyakan apakah ia menikmati ritual buang jong ini.

Antusiasme seorang turis juga ditunjukkan saat salah seorang panitia buang jong memberikan segenggam beras kepada harian ini, ia pun langsung memintanya dengan bahasa isyarat. Bule itu lalu bertanya kemana ia harus menghamburkan beras tersebut. Tatkala beras tersebut harus dihamburkan, dengan sigap ia pun menghamburkan beras yang ada dalam genggaman tangannya.

Usai mengikuti upacara buang jong, para peserta Sail Indonesia dijamu makan siang secara tradisional, makan bedulang bersama Bupati Belitung dan pejabat Pemkab Belitung. Makan bedulang ini menyajikan menu berupa ketupat dengan lauk pauknya.

Meski harus makan sambil lesehan para turis ini terlihat menikmati makan makanan khas yang biasa disajikan saat Idul Fitri. Sama seperti hari-hari sebelumnya, aktivitas para yachters, termasuk ketika mereka sedang makan, tak luput dari perhatian para pengunjung.

Selain buang jong, peserta Sail Indonesia 2007 juga disuguhi penampilan kesenian tradisional campak laut Desa Kembiri Membalong dan Stambul Fajar Selat Nasik. Mereka juga dijamu makan malam oleh Bupati Belitung.

Sumber: www.bangkapos.com (19 Oktober 2007)
-

Arsip Blog

Recent Posts