"Sandeq Race 2007" dan Kisah Penculikan Pangeran Bali

Sulawesi Barat - Jika masyarakat Madura terkenal memiliki karapan sapi, orang Sumba terkenal dengan Pasola -- melempar lembing kayu sambil memacu kuda -- maka etnis Mandar dari Sulawesi Barat (Sulbar) terkenal dengan lomba balap perahu layar tradisional sandeq.

Perlombaan balap perahu tradisional (Sandeq Race) 2007 baru-baru ini kembali digelar untuk ke-10 kalinya di Mamuju, Sulbar, Jumat (17/8) dalam suasana perayaan HUT ke-62 Kemerdekaan RI.

Lomba perahu sandeq itu diikuti 53 perahu, termasuk dua perahu dari Australia dan satu perahu dari Jepang.

Para peserta akan berlomba dengan mengarungi laut sepanjang 300 mil dari Mamuju (Sulbar) ke Makassar (Sulsel) selama 10 hari hingga 26 Agustus 2007.

"Sandeq Race 2007" dibuka oleh Gubernur Sulbar, Anwar Adnan Saleh, didampingi Ketua Panitia Horst H. Liebner, seorang peneliti asal Universitas Koeln, Jerman, yang membuat penelitian mengenai pembuatan perahu Sandeq tahun 1995, sekaligus penggagas lomba tersebut.

Liebner hingga saat ini masih bertugas di Indonesia sebagai peneliti pada Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).

Liebner melakukan penelitian mengenai perahu sandeq pada tahun 1995 karena keunikan serta makin jarangnya pembuatan dan penggunaan perahu tradisional tersebut oleh para nelayan setempat.

Konon pada masa lampau para nelayan Sulawesi bahkan mampu berlayar menggunakan perahu ini hingga ke Madagaskar.

Para nelayan saat ini lebih suka menggunakan kapal motor dibanding perahu sandeq untuk mencari ikan, karena kapal motor memiliki kecepatan lebih tinggi.

Perahu Sandeq merupakan perahu layar berbadan ramping dengan cadik pengimbang serta bermuatan delapan orang. Panjang perahu antara 10-14 meter dengan kecepatan sekitar 12 mil per jam.

Lomba ini menarik. Penonton di sepanjang tepi pantai yang dilewati perahu-perahu tersebut mendapat suguhan atraksi menarik, antara lain awak perahu yang disebut "pattimbang" melompat-lompat tanpa jatuh di cadik kiri-kanan perahu, saat perahu masih berlayar dengan kecepatan tinggi.

Hal itu dilakukan "pattimbang" dalam upaya menjaga keseimbangan perahu agar tidak terbalik.

Tidak pelak lagi, para awak perahu haruslah para pelayar yang memang memiliki keterampilan tinggi dalam mengendalikan perahu layar bertubuh ramping itu.

Menyaksikan lomba sandeq akan membangkitkan kesadaran betapa suku Mandar dari Sulbar merupakan keturunan para pelayar tangguh sejak berabad-abad lalu.

Kalaupun ada yang kurang dari penyelenggaraan "Sandeq Race 2007" tersebut yakni minimnya kedatangan wisatawan domestik dan asing ke Sulbar untuk menyaksikan.

Sebagian besar penonton merupakan masyarakat Sulbar sendiri.

Mengapa Sandeq Race tidak mampu menjaring kedatangan wisatawan domestik dan asing?

Pariwisata Sulbar
Lomba sandeq hanya salah satu dari sekian banyak unggulan kalender kegiatan dan obyek turisme yang sebetulnya berpotensi dijual oleh Pemprov Sulbar.

Beberapa obyek wisata menarik lainnya yang dipastikan dapat menarik kunjungan wisatawan asing dan domestik, antara lain Pulau Karampuan di lepas pantai Mamuju, Kuburan Tua Laksa Laga di kawasan Timbu Mamuju yang keberadaannya ditaksir telah ada sejak abad ke-11, Masjid Nurut Taubah Lapeo di Kabupaten Polman yang dibangun tahun 1909, serta Pantai Bahari Lombang-Lombang di Kelurahan Sinyonyoi, Kabupaten Mamuju.

Sayangnya obyek-obyek wisata itu terlihat tak terawat dan tak dikelola dengan baik, seperti halnya Kuburan Tua Laksa Laga.

Padahal hikayat yang melatar belakangi keberadaan makam tersebut sangat menarik.

Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulbar, Mohammad Naim Tahir kepada ANTARA, tempat itu adalah makam seorang pangeran dari Kerajaan Bali yang diculik oleh para pelayar Mamuju pada abad ke-11.

Pangeran tersebut adalah buah perkawinan anak Raja Bali dan anak Raja Mamuju.

Suatu saat, setelah sang pangeran beranjak dewasa, Raja Mamuju meminta cucunya untuk tinggal di Mamuju untuk meneruskan pemerintahan kerajaan.

Namun, Raja Bali keberatan melepaskan cucunya.

Hal itu membuat marah Raja Mamuju yang kemudian membuat sayembara kepada rakyatnya -- yang merupakan pelayar-pelayar tangguh -- untuk membawa cucunya dari Bali ke Tanah Mamuju dengan segala cara dan bagi yang berhasil akan mendapatkan hadiah.

Kisah tersebut sangat menarik. Sayangnya, saat rombongan wartawan, termasuk ANTARA, berkunjung ke makam tersebut, terlihat sekali areal makam seluas 4.800 meter persegi, yang terdiri atas makam sang pangeran beserta makam 15 pengikut setianya itu tidak terurus dengan baik, ditumbuhi dengan tanaman singkong serta alang-alang.

"Biar sajalah seperti ini. Toh tanah ini milik saya, warisan keluarga turun temurun. Pihak Pemda Sulbar sendiri tidak ada perhatiannya terhadap makam ini. Tidak ada bantuan dana untuk perawatan. Saya juga sudah sejak lama tidak pernah menerima honor bulanan," kata juru kunci makam, M.Kasim (67).

Saat dikonfirmasi kepada Mohammad Naim Tahir, dia mengakui bahwa sebagai provinsi termuda di Indonesia hasil pemekaran provinsi Sulsel pada 5 Oktober 2004, Sulbar memang memiliki anggaran sektor pariwisata rata-rata per tahun hanya sekitar Rp1 milyar, jauh dari cukup untuk mendanai kegiatan pengelolaan dan promosi obyek-obyek wisata yang ada.

"Kami berharap ada investor swasta yang mau datang untuk membangun dan mengelola obyek-obyek wisata ini," kata Naim Tahir.

Hal sama juga dikatakan Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh yang diwawancarai terpisah.

Ia menegaskan bahwa prioritas utama pada masa jabatannya adalah pembangunan infrastruktur, antara lain untuk membuka akses kedatangan wisatawan domestik dan asing.

Selain jalan-jalan raya yang masih banyak rusak, bandara satu-satunya milik Sulbar yakni Tampa Padang saat ini hanya disinggahi maskapai DAS dengan pesawat kecil seminggu dua kali dari Makassar.

Tidak ada penerbangan dari kota lain, seperti Jakarta langsung ke Mamuju. Sementara, perjalanan darat dari Bandara Hasanuddin (Sulsel) menuju Mamuju harus ditempuh sekitar delapan jam.

Panjang landasan bandara Tampa Padang ini juga dianggap masih terlalu pendek untuk bisa disinggahi pesawat-pesawat berbadan besar.

Selain itu, perhotelan juga menjadi kendala. Cuma ada beberapa hotel yang layak untuk ditempati wisatawan.

Demikian pula dengan warung internet(warnet), yang bisa dikatakan sulit dicari di Mamuju.

"Jadi, bangun dulu infrastrukturnya, sesudah selesai baru kita bicara soal pariwisata," kata Adnan Saleh.

Karena itu, wajar jika wisatawan domestik dan asing belum berminat datang ke Sulbar untuk menonton lomba sandeq.

Para wisatawan bahkan dari tahun ke tahun lebih suka menonton lomba ini di Makassar, saat mencapai garis "finish".

Naim Tahir menargetkan tahun 2010 Sulbar menjadi salah satu daerah tujuan utama wisatawan domestik dan asing di Indonesia, serta mendapat limpahan kunjungan turis dari Sulsel, Sulut, dan Sulteng.

Sumber: Antara News (20 Agustus 2007)
-

Arsip Blog

Recent Posts