Belajar Toleransi dari Sejarah Pasai

Oleh: M Burhanudin

Ketika pengaruh Sriwijaya mulai pudar pada akhir abad ke-13, di sisi utara Pulau Sumatera muncul kerajaan Islam, Samudra Pasai. Bukti-bukti arkeologis menguatkan besarnya kekuasaan kerajaan itu. Di antaranya, soal toleransi beragama yang kini justru makin tercabik.

Makam itu terlihat menonjol di antara puluhan makam lainnya di kompleks pemakaman raja dan kerabat bekas Kerajaan Samudra Pasai di Desa Kuta Karang, Kecamatan Samudra, Aceh Utara. Batu pualam putih kekuningan dan berhias rangkaian ornamen kaligrafi huruf arab gundul menghias permukaannya. Membujur hampir sepanjang 2 meter dan tinggi 1,2 meter, makam itu mudah dikenali.

Itulah makam Sultan Zainal Abidin, raja keempat (cicit Maharaja Malikul Saleh, pendiri Kerajaan Samudra Pasai). Raja yang diyakini pernah membawa kerajaan ini kian masyhur sejak didirikan kakek buyutnya sekitar tahun 1270 Masehi.

Di antara rangkaian kaligrafi arab gundul di makam Sang Sultan, yang sebagian sudah mulai rusak, itulah sebaris ayat suci Alquran, Surat Al Baqarah Ayat 256, tertera. Artinya, lebih kurang ”Tidak ada paksaan dalam agama (Islam)”.

Peneliti independen dari Pusat Informasi Samudra Pasai Heritage, Aceh, Taqiyuddin, mengungkapkan, ayat suci di makam Sultan Zainal Abidin itu menyiratkan tentang sikap dan pandangan hidup sultan sebagai raja sebuah kerajaan Islam. Kerajaan tak pernah memaksakan Islam kepada masyarakat di wilayahnya kala itu yang sebagian masih menganut Hindu, Buddha, ataupun kepercayaan lokal.

”Islam datang dengan damai di Pasai. Bukan melalui cara peperangan dan pemaksaan akidah,” kata dia, Selasa (11/4)..

Hipotesis tersebut, lanjut Taqiyuddin, juga dikuatkan dengan temuan-temuan arkeologis lain, terutama teks-teks dan ornamen yang ada pada nisan makam Islam dan prasasti dari zaman Samudra Pasai. Hampir semua manuskrip yang ada dan pernah ditemukan berornamen khas peradaban pra-Islam. Di antaranya, rangkaian teratai pada sejumlah nisan kuno, bentuk nisan yang mirip dengan gaya pahatan Hindu India.

Di kompleks pemakaman Islam peninggalan zaman Kerajaan Pasai di Desa Meucat, Kecamatan Samudra, ditemukan batu nisan bergaya kebudayaan Dongson (dari Indochina). Juga ada batu nisan bergaya Dinasti Shin dari China. Kebudayaan- kebudayaan itu diduga kuat tumbuh berkembang di daratan Aceh sebelum Islam masuk.

”Ini menandakan adanya perpaduan kultural antara Islam dan budaya pra-Islam yang ada di Aceh pada zaman Kerajaan Pasai. Perpaduan ini dimungkinkan terjadi karena adanya toleransi saat itu dengan budaya dan agama lokal,” kata dia.

Sebelum masuknya Islam, daratan Aceh diduga dikuasai sejumlah kerajaan kecil beragama Hindu beraliran Indra. Terlihat dari banyaknya lokasi bernama indra yang hingga saat ini masih ada, seperti pada sungai, desa, bangunan, dan satuan wilayah lainnya.

”Ini seperti di wilayah Pidie yang terdapat nama-nama daerah, seperti Indrapuri, Indrajaya, dan Indrapatra. Banyak juga orang Aceh bernama Indra. Ini salah satu bentuk peninggalan budaya Hindu-Indra di Aceh yang masih ada,” katanya.

Kuatnya pengaruh Hindu-Indra ini membuat karakter masyarakat di Aceh sejak zaman dahulu kala dikenal suka berperang. Karena hal itu pula, sebelum masuknya budaya Islam, wilayah Aceh sulit ditaklukkan kekuatan luar.

Pandangan mengenai karakter berperang orang Aceh ini pernah diungkapkan para peneliti sejarah Aceh terdahulu, termasuk orientalis asal Belanda, Snouck Hungronje, yang pernah menyebut masyarakat Aceh sebagai ”Aceh Pungo”, atau Aceh Gila.

Dengan karakter kuat Hindu-Indra itu, lanjut Taqiyuddin, nyaris sangat sulit bagi peradaban Islam untuk masuk dengan kekerasan. Karakter fanatisme yang kuat terhadap agama ini pun masih terbawa hingga kini saat masyarakat Aceh menganut agama Islam.

Pembauran itu juga dimungkinkan dengan kuatnya pengaruh mazhab safiiyah dan aliran Ahlul Sunnah Waljamaah yang berkembang di Pasai kala itu, yang cenderung adaptif dengan budaya lokal. ”Pengaruh mazhab safiiyah ini datang dari mana memang masih jadi perdebatan. Tetapi, dari bukti arkeologis datang dari Delhi, India. Kebetulan kala itu di sana juga berkembang mazhab yang sama,” lanjut dia.

Di pantai barat Aceh, khususnya di wilayah Lamno, Aceh Jaya, sampai saat ini masih terdapat ritual seumulueng, ritual penabalan raja di wilayah Lamno yang digelar tiap tahun saat hari pertama Lebaran Haji.

Menurut peneliti sejarah Aceh Jaya, Safrizal Tsabit, ritual ini adalah bentuk penghormatan raja-raja yang pernah ada di Lamno pada masa lalu.

Empat kerajaan itu mewakili empat pengaruh agama yang pernah berkembang pada abad ke-15. Mereka adalah Keuluang (pengaruh Buddha), Lamno (Islam), Daya (Hindu), dan Kuala Unga (Konghucu). ”Sebelum Islam masuk, tiga agama lain itu sudah ada. Lambat laun dengan pengenalan tauhid (ajaran ketuhanan), mereka menjadi Islam. Namun, pengaruh masing-masing masih dihormati hingga kini. Akulturasi itu juga berlangsung damai di antara kerajaan-kerajaan itu meski berbeda-beda awalnya,” kata dia.

Kebinekaan di Lamno itu juga dikuatkan temuan-temuan arkeologis, seperti keramik-keramik China, guci India, dan nisan-nisan makam Islam yang berornamen Hindu dan China.

Akulturasi damai ini terjadi sekitar tahun 1480. Sayangnya, sebagian besar bukti sejarah tersebut kini terancam musnah. Banyak manuskrip kuno yang telantar.

Padahal, dari sejarah masa lalu di Negeri Pasai itu, kita tak hanya dapat memahami kebesaran masa lalu sebagai bangsa, pelita jati diri kita sebagai bangsa. Lebih dari itu, kita bisa menarik pelajaran tentang toleransi, yang kini makin pudar di negeri ini.

Sumber: kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts