Oleh Roby Arya Brata
Benarkah Antasari korban konspirasi tingkat tinggi? Ataukah ia sebenarnya bagian dari konspirasi itu? Atau ia hanyalah seorang laki-laki yang tidak berdaya di pelukan hangat seorang wanita? Dalam peristiwa yang mengejutkan secara politik, teori konspirasi, yang sebenarnya lebih bersifat hipotesis-spekulatif, ditawarkan untuk menjawab teka-teki yang menarik perhatian publik. Dalam kasus Antasari, ada tiga skenario yang mungkin bisa menjawab teka-teki itu.
Konspirator dalam skenario ini adalah para koruptor yang dendam karena telah menjadi korban sepak terjang Antasari dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka hanya ingin memuaskan nafsu dendamnya itu. Kemungkinan motif lainnya adalah penciptaan opini publik yang buruk, yang dapat mengancam kredibilitas KPK.
Kelompok konspirator lainnya adalah yang dalam teori konspirasi disebut Machiavellian conspirator. Mereka ini biasanya para penguasa yang berpengaruh yang merencanakan permufakatan jahat (secret plot) untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi, politik, dan ekonominya. Dalam kasus Antasari, mereka adalah individu, kelompok, atau institusi yang merasa terancam oleh sepak terjang KPK. Tujuan mereka mendelegitimasi KPK sebagai institusi penegak hukum antikorupsi. Pesan ancaman terhadap KPK yang hendak mereka sampaikan adalah "kami bisa berbuat apa saja untuk menghentikan Anda". Tujuan jangka panjangnya adalah pembubaran KPK.
Rasanya sulit diterima akal, penegak hukum berpengalaman sekelas Antasari berbuat bodoh meninggalkan jejak kejahatannya dengan mengirim pesan pendek yang berisi ancaman terhadap korban Nasrudin. Bukankah akan lebih aman bila dia menyampaikan ancamannya tersebut secara langsung, melalui perantara, atau telepon? Lalu mengapa dia harus membunuh korban dengan cara menembak? Padahal dia tahu korban menyimpan pesan pendeknya yang berisi ancaman yang bisa dilacak oleh penyidik.
"Kejanggalan" lainnya adalah mengapa dia harus membunuh korban hanya karena seorang perempuan. Tidakkah dia tahu bahwa ancaman hukuman bagi pembunuhan berencana adalah hukuman mati? Apakah rasional ketakutan dia terhadap ancaman Nasrudin untuk mengungkap perselingkuhannya dengan RJ dibalasnya dengan cara membunuh korban? Padahal dia mengerti, jika kejahatannya terungkap, dia bisa dihukum mati. Risiko hukuman mati ini tentu tidak seimbang bila dibandingkan dengan risiko diungkapnya kasus perselingkuhannya. Bukankah dia juga paham bahwa membunuh orang sepenting Nasrudin akan menyita perhatian publik, yang biasanya mendorong polisi lebih serius mengungkapnya? Segala cara memang bisa dilakukan oleh mereka yang merasa terancam karena skandal korupsinya akan diungkap. Contohnya, Ernest Manirumva, seorang pemimpin organisasi antikorupsi di Burundi, dibunuh karena hendak mengungkap kasus korupsi di kepolisian dan institusi pemerintah lainnya.
Kemungkinan lain, Antasari dan para tersangka adalah bagian dari konspirasi itu. Tujuannya mengganggu agenda antikorupsi dan membangun opini publik yang buruk terhadap KPK. Kemungkinan skenario ini adalah bagian dari kontrak politiknya dengan pihak-pihak tertentu yang telah memuluskan jalannya menjadi Ketua KPK. Ia membawa misi dan agenda rahasia untuk melumpuhkan KPK.
Sejak semula, terpilihnya Antasari, yang diragukan integritasnya sebagai Ketua KPK, memang telah menuai kritik tajam dari para penggiat antikorupsi (Brata, Majalah Tempo, 10 Desember 2007). Bagaimana mungkin seorang yang diragukan integritasnya terpilih menjadi Ketua KPK? Lihatlah betapa raut mukanya begitu tenang, padahal dia sedang menghadapi kasus berat. Lalu mengapa dia mau dikorbankan sebagai tersangka pembunuh berencana? Ini bagian dari permufakatan jahat itu. Dia dipilih menjadi Ketua KPK dan mungkin juga menerima keuntungan ekonomi, tapi ia dibebani misi untuk mengganggu kinerja dan citra KPK. Bisa jadi proses hukum terhadapnya nanti hanyalah rekayasa. Ia akan dibebaskan karena tuduhan pembunuhan berencana tidak terbukti. Namun, ia akan pura-pura mengakui perselingkuhannya dengan RJ. Itu sudah cukup untuk merusak citra KPK.
Rayuan wanita
Dalam hipotesis ini, seperti penguasa hidung belang lainnya, Antasari hanyalah laki-laki yang takluk oleh rayuan maut seorang wanita. Dalam sejarah kekuasaan manusia, wanita, kekuasaan, dan skandal seks sudah lama menjadi bahan analisis politik dan gosip di masyarakat. Lihatlah skandal seks antara Julius Caesar dengan Cleopatra, Bill Clinton dengan Monica Lewinsky. Mereka penguasa besar tapi tak berdaya menghadapi daya tarik seks seorang wanita.
Antasari memang akhirnya mengakui pertemuan dirinya dengan RJ di kamar 808 Hotel Grand Mahakam di kawasan Blok M, Jakarta (Detik.com, 6 April 2009). "Setelah menerima SMS berkali-kali dari Rhani, akhirnya Pak Antasari mengundang yang bersangkutan datang ke hotel tersebut. Pertemuan hanya berlangsung sekitar 5-10 menit. Pintu kamar hotel terbuka," kata Ari Yusuf Amir, pengacara Antasari.
"Rhani minta Pak Antasari kembali menjadi member Padang Golf Modernland, Tangerang. Permintaan itu ditolak Pak Antasari. Saat itu Rhani menjadi marketing padang golf itu," Ari menambahkan. Sungguh menggelikan, bagaimana mungkin, untuk mengurus keanggotaan klub golf, dia mengundang seorang perempuan ke kamar hotel--suatu tempat yang sebetulnya sangat pribadi. Tidakkah dia berpikir bahwa pertemuan seperti itu bisa menimbulkan dugaan negatif terhadap orang yang melihat? Mengapa tidak dilakukan di lobi hotel atau tempat publik lainnya? Apakah RJ hanyalah umpan untuk menjebak Antasari? Skenario ini bisa saja terjadi. Hal ini biasa dalam operasi intelijen. Ingatlah dengan film 007. Namun, barangkali Antasari bukanlah seperti James Bond, yang tidak mudah dijebak oleh rayuan maut seorang wanita.
Bila kemudian terbukti benar Antasari telah melakukan perselingkuhan dan pembunuhan berencana, kita harus menuntut pertanggungjawaban moral kepada panitia seleksi dan Dewan Perwakilan Rakyat karena telah meloloskannya menjadi pemimpin KPK. Mereka harus meminta maaf kepada publik. Pemilihan pemimpin KPK nanti sebaiknya dilakukan oleh suatu komisi pemilih independen yang anggotanya terdiri atas tokoh-tokoh yang tidak diragukan integritasnya. DPR, yang kualitas anggotanya diperkirakan lebih buruk daripada anggota DPR sekarang, tidak lagi terlibat dalam pemilihan itu.
Sekarang terserah Anda untuk memutuskan mana dari ketiga hipotesis itu yang benar. Dalam teori konspirasi, analisis hanyalah bersifat spekulatif. Pengadilanlah yang nanti berwenang membuktikan kebenaran hipotesis itu. Namun, seperti layaknya hipotesis ilmiah, cara dan siapa yang melakukan pembuktian menentukan obyektivitas kebenaran hipotesis itu.
Dalam kasus pembunuhan Ernest Manirumva, Amnesty International dan organisasi-organisasi antikorupsi menuntut dibentuknya komisi independen untuk menyelidiki kasus itu. Dapatkah Anda menerima obyektivitas pembuktian kasus Antasari yang dilakukan oleh penegak hukum kita, yang mungkin langsung atau tidak langsung memiliki konflik kepentingan dengan KPK? Ataukah sebaiknya Presiden membentuk komisi independen untuk mengungkap kasus ini? Sudah seharusnya pejabat dan institusi lembaga antikorupsi dilindungi secara hukum terhadap kemungkinan konspirasi dan rekayasa hukum yang dapat mematikan gerakan antikorupsi.
Roby Arya Brata, Analis Antikorupsi
Sumber: Koran Tempo, Selasa, 12 Mei 2009