Oleh Redaksi Majalah Tempo
Terdengar dua tilikan setelah Antasari Azhar ditangkap. Pertama, bala yang menimpa jaksa berpengalaman itu sama sekali bersifat pribadi, tak berhubungan dengan jabatannya sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi. Kedua, penangkapan itu tidak akan mempengaruhi kinerja Komisi dalam meneruskan pemberantasan korupsi di ”bukan negeri ustad” ini.
Kedua tilikan itu sama sahihnya. Tetapi, baru beberapa hari bergulir, keduanya sudah campur aduk, sehingga tak jelas lagi mana pucuk mana punca. Suara sumbang pertama datang dari markas wakil rakyat di Senayan. Menurut sebagian insan bijak bestari di sana, setelah Antasari diberhentikan sementara oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, keabsahan keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi patut dipertanyakan.
Pendapat ini terdengar ”ilmiah”, karena dikaitkan dengan aturan hukum, yakni Pasal 21 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menyatakan bahwa pimpinan Komisi itu lima orang, enzovoorts.... Artinya, kalau pimpinan Komisi tak lengkap lima orang, lembaga itu tak boleh ngapa-ngapain—kecuali baca koran dan main gaple, barangkali. Hendaklah kita terharu menyiasati ”kesadaran hukum” model begini.
Ada pula yang mengutip pasal 21 ayat 2 undang-undang yang sama, yang menyebutkan bahwa pimpinan Komisi bekerja secara kolektif. Kalau tinggal empat orang, apakah masih bisa disebut kolektif? Dari balkon pengunjung rapat memang terdengar sambutan hangat: Huuu.... Tapi para bijak bestari masih cukup tabah untuk menambahkan: selama pimpinan Komisi belum genap lima orang, usahlah mengambil keputusan strategis, termasuk penuntutan dan penyidikan.
Sering kita lupa, kita hidup di tengah masyarakat global yang tak lagi disekat-sekat partisi komunikasi. Apa yang terjadi di ruang tamu kita pada saat itu juga bisa ditonton oleh komunitas jiran di mana pun. Itulah sebabnya, dalam konteks masyarakat global ini, rasa malu perlu dilatih lebih peka. Kalau tidak, seperti kata bersayap Jenderal Naga Bonar, ”Apa kata dunia....”
Ya, apa kata dunia kalau sikap kita terhadap pemberantasan korupsi seperti yang dipamerkan para bijak bestari itu? Jangan-jangan muncul persepsi, kita memang doyan mempertahankan gelar ”negeri terkorup nomor satu di Asia” sepanjang zaman. Kalau itu yang terjadi, bangsa ini bakal tak sanggup mengangkat muka di tengah masyarakat mondial.
Sebetulnya ada masalah timbal-balik di sini. Kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002—kalau itu bisa disebut kelemahan—sebaiknya dikembalikan kepada penyusun undang-undang itu sendiri, yakni Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka, dalam proses penyusunan undang-undang itu, ternyata tidak mengantisipasi situasi seperti yang terjadi sekarang.
Kedua, buruknya sistem rekrutmen pejabat publik di negeri ini. Dalam seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2008-2011, nama Antasari Azhar sudah dihadang sejumlah persoalan. Usahanya menyuap empat wartawan pada September 2007, misalnya, sempat dilaporkan kepada panitia seleksi, bahkan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Beberapa lembaga swadaya masyarakat juga menyampaikan keberatan terhadap pencalonan Antasari. Semua laporan dan keberatan itu ibarat batu jatuh ke lubuk.
Kini, nasi sudah jadi arang. Diperlukan langkah tangkas, terutama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, guna menyelamatkan komisi terhormat ini. Untuk mengganti ketua Komisi, tak perlu menanti status terdakwa bagi Antasari. Sebab, menurut ”aturan main”, pergantian ketua Komisi setelah dikenai status terdakwa memakan waktu lima bulan. Artinya, ada ”grace period” lima bulan bagi para maling uang negara untuk berpesta-pora.
Dewan Perwakilan Rakyat juga harus mendorong terpilihnya ketua Komisi yang baru, bukan malah tersandera oleh berbagai aturan yang tak memihak perubahan. Sistem kepemimpinan Komisi yang bergiliran seperti sekarang harus segera diakhiri dengan menetapkan ketua definitif. Kasus Antasari Azhar hendaklah menjadi kaca benggala bagi para anggota Dewan dalam menyeleksi pemimpin Komisi yang baru.
Setelah itu, Komisi dengan pemimpin baru nanti harus memelihara citra dan semangat yang sempat cedera akibat kasus Antasari, dengan bekerja lebih keras dan lebih tuntas. Banyak kasus besar yang terbengkalai, bahkan seolah-olah ”dibuat” jalan di tempat. Salah satunya kasus Agus Tjondro, yang notabene melibatkan para anggota Dewan, dan sampai saat ini bagaikan berputar di arus sesat.
Kita tak mau Komisi Pemberantasan Korupsi kehilangan gigi hanya lantaran kasus Antasari.
Sumber: Opini Redaksi Majalah Tempo, Selasa, 12 Mei 2009