Oleh Bambang Widjojanto
Sebagai orang nomor satu di KPK, segala sikap, perilaku, dan gerak-geriknya diperhatikan banyak kalangan. Itu sebabnya saat rumor keterlibatan Antasari Azhar merebak menjadi sinyalemen dan perlahan kian terungkap terkait pembunuhan Nasrudin, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, banyak pihak makin penasaran dan sebagian menjadi shock.
Gile bener, belum genap satu hari Antasari menyatakan “saya tidak terlibat” kasus pembunuhan Nasrudin, keesokannya lembaga Kejaksaan Agung—tempat Antasari membangun karier puluhan tahun—justru mengumumkan, Antasari adalah salah satu tersangka dalam pembunuhan Nasrudin, dengan kualifikasi otak pembunuhan berencana. Kenekatan macam apa yang membuat Antasari melakukannya?
Apresiasi
Lepas dari salah tidaknya dan terbukti tidaknya Antasari dalam tuduhan pembunuhan yang akan diungkap dalam proses persidangan, ada beberapa hal yang perlu diapresiasi dan pelajaran penting yang bisa dipetik hikmahnya agar proses penegakan hukum senantiasa ditingkatkan.
Pihak penyidik dari kepolisian perlu diapresiasi karena telah membuktikan kerja profesional yang amanah dan tidak berpihak akan selalu membuahkan hasil dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Jika kepolisian bertindak serupa dan tidak berpihak dalam membongkar kejahatan pidana di Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur, dugaan keterlibatan money politics beberapa kandidat anggota legislatif dan menerima laporan Bawaslu atas berbagai pelanggaran pidana pemilu yang terjadi secara masif di sejumlah daerah pemilihan, citra dan kepercayaan lembaga kepolisian akan terus meningkat.
Tindakan kejaksaan juga perlu diapresiasi. Ini terkait dengan transparansinya untuk mengambil inisiatif guna memberitahukan kepada publik atas tindak pencekalan yang harus dilakukan guna merespons permohonan penyidik agar orang yang dituduh melakukan tindak pidana tidak melarikan diri. Kita perlu berupaya agar lembaga kejaksaan tidak diskriminatif sehingga tidak lagi terjadi anggotanya yang diduga terlibat memperjualbelikan barang bukti narkoba justru terkesan dilindungi.
Status
Terkait dengan kasus pembunuhan dan pada konteks kedua lembaga itu, perlu dilakukan klarifikasi agar tidak menimbulkan kerugian bagi kepentingan publik, apa status hukum Antasari? Dalam jumpa pers, Kejagung menyatakan, Antasari dicekal selama satu tahun karena sudah ditetapkan sebagai tersangka otak pembunuhan oleh Mabes Polri. Surat yang diterima Kejagung menyatakan, Antasari telah ditetapkan sebagai tersangka, Kamis (30/4), yang ditandatangani Kepala Bareskrim Mabes Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji.
Pihak Antasari melalui kuasa hukumnya menyatakan, yang dipegang Antasari adalah surat panggilan Polri, bukan surat Bareskrim yang dikirimkan ke Kejagung yang digunakan untuk meminta pencekalan. “Antasari Azhar sudah menerima surat panggilan sebagai saksi dan akan diperiksa pada Senin, sekaligus membantah berita bahwa yang bersangkutan sudah menjadi tersangka”. Yang menarik, pihak kepolisian belum menjelaskan apa status Antasari dalam kasus itu.
Tindakan KPK juga perlu diapresiasi karena telah mengambil langkah proporsional dan meletakkan posisinya dalam keseluruhan kasus Antasari guna menjaga kepentingan lembaga. Pimpinan KPK menjelaskan, “Yang diketahui pimpinan KPK adalah salah satu surat panggilan kepada Pak Antasari sebagai saksi.” Sedangkan untuk penyidikan, KPK menolak berkomentar karena yang berwenang adalah penyidik Mabes Polri. KPK tidak punya kapasitas menanggapi perkara ini. Pimpinan KPK juga sepakat menonaktifkan Antasari sebagai Ketua KPK dan memberikan jaminan, KPK akan terus menjalankan tugas dan kewenangan seperti biasa.
Langkah strategis
Apa yang sudah dilakukan KPK tampaknya sudah cukup. Namun, KPK dinilai perlu melakukan beberapa langkan strategis lain. Pertama, KPK harus memikirkan langkah lebih tegas untuk menunjukkan komitmen serius dan bertindak zero tolerance atas setiap sikap dan perilaku menyimpang sekecil apa pun dari unsur pimpinan KPK. Pasal 32 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan, pimpinan KPK diberhentikan bila menjadi terdakwa karena tindak pidana kejahatan. Itu sebabnya status Antasari harus diperjelas. Bahkan, Antasari dapat diberhentikan bila berhalangan tetap atau terus-menerus selama lebih dari tiga bulan tidak dapat melaksanakan tugas, sesuai dengan Pasal 32 Ayat (2) Huruf d UU No 30/2002.
Kedua, KPK harus me-review untuk menegakkan kode etik dan perilakunya secara konsisten. Ada indikasi, keterlibatan Antasari terkait dugaan pidana terjadi saat sedang menjalankan hobi. Padahal, hobi itu pernah dilarang dalam kode etik.
Ketiga, KPK perlu melakukan revive menyeluruh, apakah tindakan Antasari terkait kewenangannya sebagai pimpinan. Hal ini merupakan isu amat krusial dan sensitif dan perlu dilakukan secara obyektif. Tujuannya agar tidak ada peluang sekecil apa pun unsur pimpinan KPK menggunakan kewenangan untuk melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan tujuan diberikannya kewenangan itu.
Keempat, KPK dengan segala keberhasilannya mempunyai banyak “musuh” yang potensial menggunakan isu Antasari untuk “mendelegitimasi” kewenangan KPK serta “merusak” citra dan kepercayaan publik kepada KPK. Untuk itu, perlu dilakukan upaya untuk mengelola damage control agar citra dan kepercayaan publik atas KPK dapat senantiasa ditingkatkan.
Kelima, KPK seyogianya melakukan self control serta pembersihan atas segala sikap dan perilaku yang potensial menyimpang dari tujuan didirikannya KPK. Ada banyak suara miring yang perlu direspons dengan jujur dan elegan terkait obyektivitas KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Semoga kasus Antasari segera dibawa ke persidangan, dan lembaga penegakan hukum dapat mengambil manfaat atas kejadian itu.
Bambang Widjojanto, Dosen Universitas Trisakti; Advisor Partnership dan Senior Lawyer di WSA Lawfirm
Sumber: Kompas, Selasa, 5 Mei 2009