Oleh Anggit Satriyo Nugroho
Nada sambung lagu religi Assalamu'alaikum itu sepekan ini kerap tak tersambung. Puluhan SMS yang masuk kepada si empunya handphone soal langkah pemberantasan korupsi juga tak ada respons. Biasanya, begitu ada pertanyaan menggelitik dari para wartawan terkirim, pemilik handphone dengan sigap menjawab. Tapi, kali ini tidak. Ada apa Antasari Azhar?
Sebelum kabar menyentak itu berkembang dua hari terakhir, Antasari sudah sering tak kelihatan. Banyak wartawan yang kelimpungan mengontak bos lembaga superbody itu.
Kali terakhir dia mengomentari penyelidikan dugaan penyelewengan dalam pengadaan proyek teknologi informasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPK merasa perlu turun tangan karena dana yang dialokasikan tak sebanding dengan hasilnya. Selama 12 hari penghitungan suara, hanya mencakup 10 persen suara nasional.
Kala itu, kata-katanya yang tegas menggetarkan pihak yang dibidik. "Jadi, Anda jangan heran kalau tiba-tiba melihat KPK di KPU." Hari itu nama Antasari menghiasi halaman muka sejumlah media massa.
Sebelum itu, Antasari juga sudah mengurangi frekuensi muncul ke muka publik. Awal April lalu dia sempat mengumpulkan wartawan yang biasa meliput di KPK di Gunung Mas, Bogor. Dia berbaur bersama puluhan wartawan. Berjas cokelat motif kotak-kotak Antasari sempat tampil ke panggung, menyanyikan lagu maestro pop Broery Marantika, Jangan Ada Dusta di Antara Kita. Malam itu seakan-akan benar-benar menjadi milik pria parlente tersebut.
Dia juga menceritakan kepada segenap wartawan tentang sikap KPK terhadap langkah-langkah yang telah ditempuh selama ini, termasuk nasib pembentukan Pengadilan Tipikor yang RUU-nya terkatung-katung.
Mantan jaksa tersebut sempat juga melontarkan sejumlah tebakan, meskipun garing. Isinya tak jauh-jauh juga dari dunia yang digelutinya selama ini: perbedaan hak antara tersangka dan terdakwa. Sama sekali tak terlihat wajah orang nomor satu di lembaga paling garang itu tengah dirundung masalah besar.
Kamis malam (30/4) lalu, Antasari muncul lagi ke publik. Kali ini lain. Dia berbicara kepada wartawan di depan rumahnya, Jalan Giriloka II, BSD City Tangerang. Kali ini wajahnya pucat.
Kepanikan tergambar jelas di raut mukanya. Mendadak dia mengaku mengenal Nasrudin Zulkarnaen, bos PT Rajawali Putra Banjaran, yang tewas di ujung pistol. Antasari mengatakan, Nasrudin adalah saksi kasus korupsi yang tengah ditangani. Sebelumnya KPK membantah keras bahwa Nasrudin adalah saksi dalam kasus yang ditangani KPK.
Kasus hukum yang menimpa Antasari itu ibarat ''tsunami" yang menggoyang kewibawaan KPK. Betapa tidak, Jumat lalu (1/5) lalu, gedung KPK di Jalan Rasuna Said itu seakan-akan benar-benar kehilangan wibawa. Lantai I yang biasanya amat steril dari wartawan amat mudah dimasuki.
Dulu, begitu ada wartawan duduk-duduk di ruang tunggu tamu, sekuriti buru-buru memintanya kembali ke ruang pers. Tapi, sejak ''tsunami" itu menggoyang, suasana berubah cepat. Tak ada yang menggubris saat wartawan duduk-duduk di ruang tunggu para tamu. Siang itu, kabar simpang siur berkembang cepat. Puluhan sekuriti dan pegawai KPK seolah sudah tak menghiraukan. Pertanyaan yang mereka tunggu saat itu: benarkah bos KPK yang garang dan selalu rapi jali itu terlibat pembunuhan sadis?
Untungnya, malam itu sejumlah pimpinan dan penasihat KPK menjawab kebekuan. Wajah mereka tertunduk murung. KPK dengan legawa mengakui kasus yang diduga tengah menimpa Antasari tersebut. Kasus itu tengah ditangani polisi. Setelah seharian menggelar rapat, termasuk di rumah Antasari, kabar besar diucapkan malam itu. Antasari langsung dinyatakan nonaktif. Dia juga tak dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan di komisi. KPK sekarang adalah kolektif di tangan empat wakil ketua: M. Jasin, Chandra M. Hamzah, Haryono Umar, dan Bibit Samad Riyanto. Sebuah sikap tegas untuk menyelamatkan lembaga besar dari ancaman cercaan publik.
Bagaimanapun KPK sudah telanjur identik dengan Antasari Azhar. Sosoknya telanjur melekat di lembaga tersebut. Tantangan terbaru saat ini, bagaimana wajah KPK tanpa sosok kelahiran alumnus Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya tersebut.
Tanpa Antasari, sebenarnya tak jadi soal. Toh, selama ini, semua sikap KPK tak ditentukan Antasari semata. KPK adalah lima pimpinan kolegial itu. Meskipun harus diakui yang menonjol masihlah peran Antasari sebagai ketua.
Ingat, istilah ''ketua'' berangkat dari pengakuan kesejajaran, dan bila seseorang dijadikan ketua berarti dia ''dituakan''. Berbeda dengan panglima, komandan, atau pemimpin yang mengandung makna sebagai sosok pertama dalam hirarki.
Mau tidak mau, citra KPK yang limbung akibat persoalan pribadi sang ketua harus segera dipulihkan. Langkah strategis yang segera diambil adalah menemukan ramuan mujarab untuk memulihkan pandangan negatif publik terhadap KPK. Salah satu langkah adalah meneruskan penindakan korupsi tanpa pandang bulu lagi. Kalau perlu, lebih kencang dari sekarang. Segerakan ambil tindakan tegas terhadap kasus-kasus yang menjadi sorotan publik yang masih bertumpuk di meja penyidikan.
Sejumlah kasus yang masih mengambang, seperti skandal pembagian cek dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Miranda Goeltom kepada sejumlah anggota DPR, harus segera ditangani.
Dugaan korupsi alih fungsi hutan lindung untuk pembangunan Tanjung Api-Api di Sumatera Selatan juga harus segera dituntaskan. Putusan Pengadilan Tipikor nyata-nyata menyebutkan keterlibatan sejumlah anggota DPR. Aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) ke DPR dan sejumlah bekas pejabat teras BI yang belum sepenuhnya tuntas harus segera dirampungkan.
Namun, empat pimpinan tersebut harus mengalkulasi apakah langkah itu bisa memulihkan pandangan publik dalam sekejap. Harus disadari perhatian publik telanjur berharap menunggu tindakan tegas KPK.
Langkah lain, KPK harus mulai memelototi potensi korupsi yang melibatkan para penegak hukum. Para komisioner harus ingat bahwa kepercayaan publik amat terpupuk saat komisi menangkap anggota Komisi Yudisial Irawady Joenoes. Kepercayaan itu makin terdongkrak saat komisi meringkus jaksa penyelidik BLBI Urip Tri Gunawan. Kasus itu diharapkan juga bisa menyibak dugaan keterlibatan jaksa Kemas Yahya Rahman dan M. Salim. Keduanya adalah atasan Urip di Kejagung.
Namun, yang perlu dihitung cermat, jangan sampai langkah itu justru menjadi bumerang bagi komisi. Apabila tidak dicermati, publik akan menilai bahwa KPK melakukan pembalasan. Pandangan yang muncul dari dinamika penegakan hukum itu hanyalah dendam kesumat semata. KPK harus segera lepas bayang-bayang kelam Antasari.
Anggit Satriyo Nugroho, Wartawan Jawa Pos, meliput di KPK
Sumber: Jawa Pos, Senin, 04 Mei 2009