Oleh Febri Diansyah
Akhir April ini merupakan saat yang menggetarkan bagi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Bagaimana tidak, ketua sebuah lembaga yang dikenal keras terhadap koruptor tiba-tiba diributkan karena terkait kasus pembunuhan. KPK jelas sangat terguncang. Sebagian pihak akan menilai citra lembaga ini akan meroket jatuh.
Namun, menurut Indonesian Corruption Watch (ICW), KPK harus diselamatkan. Antasari Azhar jelas tidak sama dengan KPK. Institusi ini jauh lebih besar dan jauh lebih penting dibanding perorangan mana pun.
Saat ini Antasari Azhar (AA, mantan ketua KPK) dikabarkan berstatus sebagai tersangka kasus dugaan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB), Nasruddin Zulkarnain. Berdasarkan surat Bareskrim Kepolisian, Kejaksaan Agung sudah mengumumkan kepada publik. Dia diduga berposisi sebagai intellectueel dader dalam kasus tersebut. Tetapi, pihak pengacara keluarga membantah karena Antasari masih dipanggil ke Polda Metro Jaya sebagai saksi pada Senin (4/5).
Kami di ICW mencoba tidak mempersoalkan perdebatan teknis status tersebut. Prioritas saat ini adalah penyelamatan KPK dari kepentingan pihak tertentu yang ingin menggunakan isu ini untuk pembusukan KPK. Selain itu, sebenarnya dalam hukum acara pidana, sangat mungkin seseorang berstatus tersangka meskipun menjadi saksi untuk tersangka/kasus lain.
KPK Jangan Terpengaruh
Sikap empat pimpinan KPK, ketika menyambut penetapan tersangka tersebut dengan menonaktifkan Antasari Azhar, patut diapresiasi. Hal itu merupakan penegasan sifat kolektif kepemimpinan KPK, seperti diatur pada pasal 21 ayat (5) UU KPK.
Meskipun Antasari menjabat ketua KPK, masyarakat luas harus disadarkan bahwa KPK? (tidak sama dengan) Antasari Azhar. Selain itu, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pada pasal 32 ayat (2) mengatur secara tegas bahwa ketika pimpinan KPK menjadi tersangka suatu tindak pidana kejahatan, dia diberhentikan sementara dari jabatannya.
Selanjutnya, pada ayat (3) terdapat penegasan, presiden harus mengeluarkan penetapan pemberhentian sementara tersebut. Poin ini dianggap sebagai perintah undang-undang terhadap Presiden SBY untuk sesegera mungkin menerbitkan ketetapan. Sebab, status hukum yang jelas bagi pimpinan KPK akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan kerja KPK.
Kami memberikan dukungan penuh kepada KPK agar tidak terpengaruh oleh segala pandangan yang menempatkan KPK di sisi hitam tersebut. Pasca pemberhentian/nonaktif ketua KPK seharusnya menjadi babak baru untuk memberantas korupsi dengan lebih kuat, efektif, dan menghancurkan kekuatan koruptor.
Perlu dipahami, kalaupun selama ini KPK cukup berhasil, hal itu bukan sepenuhnya karena ketua KPK. Ada empat pimpinan lain di KPK dan ratusan pegawai. Sangat tidak adil jika keberhasilan KPK dilihat sebagai kinerja seorang ketua semata. Bahkan, ICW melihat, posisi AA justru berpotensi menghambat penuntasan beberapa kasus korupsi.
Imbas Masa Lalu
Jika dirunut ke belakang, status tersangka dan pemberhentian atas diri Antasari Azhar kali ini tidak dapat dilepaskan dari proses seleksi pimpinan KPK yang mengecewakan publik. Sekitar Juli-Oktober 2007 lalu, berdasarkan sejumlah temuan dari rekam jejak (tracking), ICW dan sejumlah kalangan sudah meminta panitia seleksi dan DPR untuk tidak meloloskan Antasari Azhar. Tetapi, keputusan politik saat itu bahkan menempatkannya sebagai ketua KPK. Isu suap terhadap fraksi tertentu bahkan mewarnai proses pemilihan tersebut.
Jika kontroversi proses seleksi tersebut benar, kejatuhan pimpinan yang dipilih tidak berdasarkan proses yang fair, terbuka, dan bersih hanya soal waktu. Dengan kata lain, tragedi ketua KPK tidak dapat dilepaskan dari sikap DPR yang hampir selalu dipertanyakan dalam setiap seleksi pejabat publik.
Dalam konteks hari ini, proses hukum yang dijalani mantan ketua KPK tersebut haruslah dipahami sebagai salah satu cara "membersihkan KPK". Analoginya, ini adalah momentum "cabut gigi". Dalam arti, gigi yang busuk dan buruk harus dicabut. Dibuang. Kalaupun sedikit sakit, hal itu tetap untuk kebaikan yang lebih besar. Proses hukum yang fair dan benar akan semakin membersihkan dan menguatkan KPK.
Atas dasar itulah, kami berharap empat pimpinan yang tersisa bisa bekerja lebih keras, independen, dan lebih kuat menuntaskan kasus-kasus besar yang terhambat di era KPK dipimpin Antasari Azhar. Dugaan suap yang diduga melibatkan sejumlah elite partai dalam kasus Agus Chondro; korupsi BLBI yang merugikan negara puluhan triliunan rupiah; kasus suap BLBI-BDNI Urip Tri Gunawan-Artalyta yang diindikasikan melibatkan pejabat Kejaksaan Agung, dan kasus penting lain seharusnya bisa diselesaikan dengan baik di babak baru KPK tersebut.
Semua hal di atas akan menjadi lebih baik jika empat pimpinan KPK segera menegaskan kepada publik akan serius menangani kasus-kasus korupsi strategis, tidak berlindung di balik strategi pencegahan semata, sembari terus membenahi dan mengawasi perilaku internal KPK sendiri. Masyarakat tidak ingin KPK dibunuh. Sebab, institusi ini sangat penting untuk membersihkan perilaku korup elite bangsa yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Secara institusional, menyelamatkan KPK adalah harga mati. Lawan!
Febri Diansyah, peneliti hukum, anggota Badan Pekerja ICW
Sumber: Jawa Pos, Senin, 04 Mei 2009