Oleh Febrie Hastiyanto
Ketika melakukan riset mengenai Etnografi Kebuayan Way Kanan—naskahnya kini saya kirimkan kepada Bupati Way Kanan dengan harapan dapat diterbitkan untuk meminimalkan kelangkaan pustaka Etnografi Way Kanan—saya mendapati sejumlah realitas yang menarik untuk didiskusikan. Utamanya, banyak mitologi yang bersumber pada tradisi cerita tutur (dalam masyarakat Lampung dikenal sebagai warahan, atau aruhan) dijadikan sumber penulisan sejarah (budaya) Lampung. Celakanya, mitologi ini kemudian diyakini sebagai ‘fakta sejarah’, dan dikutip secara luas dalam penulisan sejarah (budaya) sesudahnya tanpa usaha untuk mendiskusikannya secara kritis.
Hampir diyakini seluruh masyarakat adat Lampung, bahwa asal-usul ulun Lampung—ada yang menyebut tian Lampung—berasal dari Kerajaan Sekala Brak di Lampung Barat. Rekonstruksi Prof. Hilman Hadikusuma seorang pakar hukum adat Lampung dianggap sebagai yang terbaik untuk menjelaskan Sekala Brak, dan telah diterima luas sebagai ‘fakta sejarah’. Kerajaan Sekala Brak diduga telah ada sejak abad ke-3 Masehi (Marsdn, 1779), dan pertama kali didiami Sukubangsa—ada yang menyebut Buay—Tumi. Beberapa saat kemudian, terjadi migrasi dari Sekala Brak terutama setelah kedatangan empat umpu dari Pagaruyung yakni Inder Gajar bergelar Umpu Lapah di Way, Pak Lang bergelar Umpu Pernong, Sikin bergelar Umpu Nyerupa, Belunguh yang bergelar Umpu Belunguh dan seorang putri Indarwati bergelar Puteri Bulan. Kelima umpu ini kemudian melahirkan lima buay, yang kemudian berkembang menjadi sembilan kebuayan—dilambangkan dalam tajuk siger, berkembang lagi menjadi 84 marga—sejak 1928 oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan tumbuh menjadi ratusan jurai, atau tiyuh. Prof. Hilman melakukan rekonstruksi berdasarkan mitologi dan kitab Kuntara Raja Niti—babad hukum adat yang diakui seluruh penyimbang dan saibatin di Lampung.
Soal Sekala Brak telah ada sejak abad ke-3 misalnya, merupakan tesis yang terbilang ‘berani’ mengingat masyarakat sejarawan Indonesia masih percaya bahwa kerajaan tertua di Indonesia—dan dimulainya periode sejarah—adalah Kutai di Kalimantan dan Tarumanegara di Jawa Barat. Kedua kerajaan ini—didasarkan pada bukti prasasti—telah ada sejak abad ke-4 M. Isi prasasti itu pun umumnya singkat saja: bahwa daerah ini dikuasai Raja Mulawarman dan Purnawarman yang sakti, berwibawa dan seterusnya. Saya khawatir dugaan bahwa Kerajaan Sekala Brak telah ada sejak abad ke-3 M lebih karena ingin ‘melebih-tuakan’ Sekala Brak dibanding kerajaan-kerajaan yang telah disebutkan di muka. Apalagi, berbeda dengan Tulangbawang dan Sekampung yang keberadaannya dibuktikan dari berita Cina, Kerajaan Sekala Brak dibuktikan nyaris hanya berdasarkan klaim. Berita Cina, atau laporan perjalanan Tome Pires—yang banyak dijadikan referensi dalam sejarah kota-kota di Indonesia—tidak menyebut nama Sekala Brak. Bila Tulangbawang dan Sekampung saja masih kesulitan dibuktikan melalui peninggalan arkeologis, Sekala Brak idem ditto.
Lalu, mengapa mitologi ini tampaknya telah disepakati sebagai ‘fakta sejarah’? Mungkin, sebagian dari kita terpengaruh pada kajian Prof. Hilman, seorang yang diterima luas sebagai pakar hukum adat Lampung. Bila Prof. Hilman merintis etnografi Lampung sejak akhir 1970an hingga awal 1980an, sudah selayaknya data-data riset Prof. Hilman mestinya berkembang dengan temuan, gugatan, penguatan, atau ‘fakta-fakta’ baru.. Bila hal ini tidak terjadi, sejatinya telah terjadi stagnasi dalam ilmu etnologi Lampung.
Kemudian silsilah asal-usul orang Lampung yang berhasil direkonstruksi secara sistematis dan detail semenjak kedatangan umpu dari Pagaruyung. ‘Lengkapnya’ informasi mengenai asal-usul orang Lampung justru membuat saya ‘khawatir’ kita belum optimal melakukan telaah serta kritik intern dan ekstern terhadap metodologi penulisan sejarah (budaya). Sejarah asal usul orang Lampung banyak bersumber dari Kuntara Raja Niti dan tambo dari Pagaruyung yang diduga ditulis pada abad ke -17 atau 18. Menarik, karena referensi yang ditulis pada abad ke-17 mampu menjelaskan secara terperinci peristiwa-peristiwa beberapa abad sebelumnya.
Sumber sejarah Majapahit misalnya, banyak bertumpu pada Negarakertagama yang ditulis pada masa Hayam Wuruk, masih satu masa dalam kejayaan Majapahit. Negarakertagama dipercaya sebagai sumber yang relatif akurat, terutama karena ditulis pada zaman Majaphit masih berdiri. Namun sumber lain, Pararaton menulis kisah mengenai Jawa (Singasari dan Majapahit) secara lebih detail bahkan sejak periode abad ke-12 hingga ke-16. Karena demikian detail dibanding Negarakertagama justru Pararaton dikaji secara teliti. Apalagi setelah Pararaton diketahui ditulis abad ke-17, tiga abad setelah Majapahit runtuh. Seperti halnya babad (Jawa, Bali), tambo (Minangkabau), hikayat atau silsilah (Melayu, Malaysia, Kalimantan), atau lontara (Makassar), Kuntara Raja Niti juga menulis fiksi dan fakta yang sulit dibedakan. Kuntara Raja Niti menyebutkan ‘dirinya’ digunakan oleh tiga kerajaan: Majapahit, Sunda dan Lampung. Dari kritik ekstern metodologi saja, sumber Kuntara Raja Niti ini tidak akurat. Pada abad ke-17 Majapahit bahkan tak ditemui lagi artefaknya—setelah digusur Kediri dan Demak. Dan yang paling penting, Kuntara Raja Niti tak dikenal dalam tradisi hukum Majapahit karena kerajaan ini memiliki kodifikasi hukum yang disebut sebagai Kutaramanawa. Kodifikasi Kuntara Raja Niti banyak bersumber pada hukum Islam, berbeda dengan Majapahit yang mendasarkannya pada Agama Siwa, Hindu dan Budha. Jadi, besar dugaan Kuntara Raja Niti adalah saduran dari Kutaramanawa yang berlaku di Majapahit lima abad sebelumnya.
Sudah saatnya komunitas sejarawan, antropolog, arkeolog, sosiolog mengkaji-ulang metodologi penulisan sejarah (budaya) Lampung. Kajian lebih mendalam ini bukan berarti menegasikan riset yang telah dilakukan terlebih dahulu. Mengkaji sejarah (budaya) Lampung adalah tanggungjawab akademik intelektual dalam dinamika ilmu pengetahuan sebagai pengabdian kepada masyarakat (budaya) Lampung. Tabik.
Febrie Hastiyanto; Alumnus Sosiologi FISIP UNS. Menulis naskah Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Etnografi Kebuayan Way Kanan Lampung.
Dimuat dalam Lampung Post, Senin, 6 April 2009
Sumber: http://hastiyanto.wordpress.com