Di panggung mini berukuran 4 x 6 meter, sesosok pria tampil menari-nari di sekitar seekor barongsai. Ia melompat-lompat melewati punggung barongsai yang didominasi warna merah dan hijau itu.
Pada bagian lain, barongsai tampak tengah menggigit ekornya yang kegatalan, sementara musik perkusi mengikuti setiap adegan. Gerakan orang dan barongsai itu layaknya lakon asli, padahal yang bergerak adalah boneka manusia berukuran 70 sentimeter dengan barongsai yang panjangnya sekitar 1 meter. Boneka itu digerakkan dengan benang yang diikat dan dimainkan orang dari atas.
Pemandangan itu tersaji dalam pertunjukan wayang gantung asal Singkawang, Kalimantan Barat, di Bentara Budaya Jakarta, Minggu lalu. Kelompok wayang bernama Sin Thian Chai itu salah satu pengisi acara pada Festival Bercerita ASEAN dan Program untuk Anak yang diselenggarakan Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA) pada 1-3 Agustus 2008. Acara itu dilanjutkan dengan seminar cerita rakyat ASEAN pada 4 Agustus.
Selain wayang gantung Singkawang, festival itu menampilkan beberapa pencerita kisah-kisah anak dari berbagai negara Asia Tenggara. Mereka, antara lain, Kongdeuane Nettavong (Laos), Genevieve Asenjo (Filipina), Pawi Tajuddin dan Kifli (Brunei Darussalam), Carla Pacis (Filipina), Chin Yahan (Kamboja), Wajjuppa Tossa (Thailand), serta Izzah Abdul Aziz (Malaysia).
Tak hanya pertunjukan dan acara bercerita, festival ini juga berisi pelatihan bagi anak, orang tua, dan guru tentang belajar mendongeng, menulis cerita dan puisi, hingga belajar memainkan wayang gantung. “Target kami adalah peserta saling mengenal cerita-cerita ASEAN satu sama lain,” kata Murti Bunanta, koordinator dan pendiri kelompok pencinta bacaan itu.
Menurut Murti, ini merupakan festival pertama yang diikuti peserta dari berbagai negara ASEAN. “Biasanya cuma KPBA,” ujar perempuan 62 tahun itu. Festival ini sekaligus untuk memperingati 20 tahun perjalanan kelompok tersebut. “Ternyata kita (Indonesia) lebih maju dibanding negara ASEAN lainnya dalam hal cerita anak,” ujar peraih penghargaan The Janusz Korzcak International Literary Price (Polandia, 1997) ini.
Wayang gantung tersebut salah satu penampil yang paling unik di antara penampil lainnya. Sejatinya, wayang gantung ini tidak melulu ditujukan bagi anak-anak, tapi juga untuk dipentaskan di berbagai acara, seperti peresmian kelenteng, ulang tahun, dan perkawinan.
Penampilan Sin Thian Chai di festival ini juga disesuaikan dengan konteksnya. Mereka membawakan lakon sulap, barongsai, dan biduanita yang mampu memancing interaksi anak-anak kecil yang jadi pemirsanya. Beberapa anak tampak terbahak-bahak ketika adegan sulap dan barongsai ditampilkan.
Menurut salah seorang pemain wayang gantung, Jiu Thiam fuk, seni tradisi ini hampir punah. “Cuma ada di Singkawang. Orang dari Cina pun datang belajar ke Singkawang,” ujar pria 59 tahun ini. Pengekangan segala sesuatu yang berbau Tionghoa oleh rezim Soeharto selama beberapa dasawarsa membuat seni tradisi ini ikut tiarap.
Awalnya ada lima kelompok wayang gantung di Singkawang, tapi kini hanya Sin Thian Chai yang bertahan. “Anak-anak muda tidak berminat (meneruskan) karena ini bukan usaha (mata pencarian),” keluhnya.
Biasanya, lakon wayang gantung mengangkat berbagai kisah yang diturunkan secara turun-temurun oleh orang-orang tua melalui tradisi tutur. Satu lakon bisa berlangsung selama dua jam. Tapi di Bentara Budaya Jakarta kala itu, wayang gantung hanya tampil sekitar 15 menit. Setidaknya, anak kecil yang menonton tahu bahwa Indonesia punya wayang gantung. TITO SIANIPAR
Sumber : http://www.tempo.co