Jakarta - Adalah Padusi, perempuan kota dengan busana ala kota, gelisah mencari akar budayanya sebagai keturunan orang Minang. Setelah bercerai dari suaminya, tanpa dikaruniai anak, Padusi merasa bahwa ini saat yang tepat baginya untuk menjelajahi tanah kelahiran nenek moyangnya.
Maka Padusi, akhirnya menemukan sebuah 'kitab legenda' yang berisi tiga kisah mengenai perempuan. Cerita pertama adalah seorang bidadari bernama Puti Bungsu yang terpaksa menjadi manusia biasa dan menikah di bumi.
Dilanjutkan dengan kisah kedua, Siti Jamilan, cerminan seorang perempuan yang kecewa kepada suaminya yang telah menikah lagi dengan wanita lain, sehingga ia memutuskan untuk membunuh anak dan dirinya sendiri.
Kisah terakhir yang diangkat yaitu tentang seorang perempuan bernama Sabai nan Aluih yang menuntut keadilan karena akan dipersunting secara paksa dengan seorang datuk tua bangka, Rajo nan Panjang.
Setelah tokoh Padusi yang diperankan Marissa Anita membuka perkisahan, maka di panggung tergelar pemandangan elok. Dalam bayang temaram, tujuh bidadari mandi di bawah air terjun dengan lengkung pelangi dan gunung menghias di latar belakang.
Para bidadari itu menari seperti kupu-kupu, sebelum akhirnya, seperti dalam kisah Nawang Wulan dan Jaka Tarub dalam tradisi Jawa, salah satu bidadari bernama Puti Bungsu kehilangan sandangannya, yang membuatnya tak bisa pulang bersama kawan-kawannya ke kayangan.
Jadilah dia ikut Malin Deman, lelaki yang telah mencuri pakaian milik si Puti. Mereka pun menikah dan beroleh putera. Genap setahun, Puti Bungsu menemukan sayapnya yang disembunyikan Malin Deman di lumbung padi.
Kisah berikut, tokoh Siti Jamilan muncul. Ia dalam kondisi hamil. Ia berpesan kepada suaminya agar selalu menjaga kesetiaannya. Ternyata yg ditakutkan terjadi. Suaminya ingkar janji. "Karena suamiku tak menetapi janji, maka akulah yg menetapi janji," turur Siti Jamilan yang mati bunuh diri. Itu cerita kedua.
Cerita ketiga adalah Sabai nan Alui, perempuan perkasa yang menuntut balas terhadap seorang datuk tua bernama Rajo nan Panjang, yang telah membunuh ayah Sabai lantaran menolak lamaran datuk tua itu terhada puterinya.
Menyaksikan "Padusi" seperti menikmati sebuah medley bertema perempuan yang berisi penggalan-penggalan peristiwa yang beda waktu dan latar belakang namun disulam menjadi satu jalinan kisah. Barangkali, lantaran seperti "medley" itulah, perkisahan jadi tidak ada yang sempurna matang dan mencapai klimaks. Adegan demi adegan dibuat laiknya sketsa dan para pemain pun dibatasi oleh waktu untuk menyelesaikan permainannya di panggung.
Padahal, jika penulis cerita (Nia Dinata) hanya menampilkan kisah "Siti Jamilan", boleh jadi malah lebih menggetarkan. Selain kisah Siti Jamilan yang kontroversial, para pemain pun bisa leluasa mengembangkan akting dan emosinya dengan baik.
Tom Ibnur sebagai koreografer di pertunjukan ini, sayangnya juga terasa belum tuntas menggarap gerak pemain, terutama para pemeran seperti Didi Hasyim (ayah Sabai nan Alui), tokoh Puti Bungsu, Siti Jamilan, Sabai nan Alui (Sha Ine Febriyanti), Jajang C. Noer sebagai Mandeh Rubiah, Niniek L. Karim sebagai Ibunda Sabai, Arswendy Nasution sebagai Rajo Nan Panjang, Rian Viranico sebagai Malin Deman, Andi Jagger sebagai Lareh Simawang.
Pertunjukan yang diselenggarakan oleh Daya Lima bersama Yayasan Bunda didukung oleh Djarum Apresiasi Budaya akan berlangsung pada 11-12 Mei 2013 di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Sumber: http://oase.kompas.com