Nasib Pengadilan Tipikor

Oleh Firmansyah Arifin

Di penghujung masa jabatan anggota DPR periode 2004-2009, sejumlah RUU masih menunggu untuk disahkan, termasuk RUU Pengadilan Tipikor.

Dari sisa waktu yang tersedia hingga September 2009, mungkinkah proses pembahasan dan pengesahan RUU dilakukan, mengingat konsentrasi anggota Dewan tidak lagi sepenuhnya pada tanggung jawab legislasi, tapi lebih mementingkan kepastian kursi dan penjajakan koalisi pascapemilu legislatif lalu? Bagaimana nasib RUU Pengadilan Tipikor yang semakin mendekati deadline putusan MK, bahwa pada 19 Desember 2009 UU Pengadilan Tipikor harus sudah disahkan?

Kondisi demikian memang tidak menguntungkan buat pembentukan UU Pengadilan Tipikor. Ada kemungkinan RUU Pengadilan Tipikor tidak sempat disahkan, dan melewati tenggat waktu yang telah ditentukan. Itu artinya Pengadilan Khusus Tipikor tamat riwayatnya, dan semua perkara korupsi harus diadili melalui pengadilan umum. Jika itu yang terjadi, tentunya merupakan langkah mundur bagi agenda pemberantasan korupsi.

Padahal keberadaan Pengadilan Tipikor masih sangat dibutuhkan untuk meningkatkan keefektifan penegakan hukum kasus-kasus korupsi. Bersama KPK, Pengadilan Tipikor merupakan mekanisme khusus yang digunakan untuk mengatasi penyakit korupsi yang sudah dinilai sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Keberadaan Pengadilan Tipikor juga ditujukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pengadilan, yang hingga kini masih berada pada titik yang sangat rendah.

Peranannya sejauh ini sudah terbukti ampuh dengan tidak pernah dibebaskannya terdakwa kasus korupsi. Lebih dari itu, prosesnya yang cepat dan transparan memudahkan publik untuk mengontrol sekaligus menutup celah kemungkinan masuknya “mafia peradilan” dalam proses pengadilan. Yang terpenting pula adalah, sebagai bagian dari peradilan umum di bawah MA, Pengadilan Tipikor ini dapat diandalkan untuk memulihkan citra pengadilan.

Prestasi itu tentunya harus dirawat dan terus diperkuat. Di sinilah urgensinya UU Pengadilan Tipikor. Selain menjadi dasar eksistensi Pengadilan Tipikor, urgensi dari UU Pengadilan Tipikor adalah meningkatkan peranan Pengadilan Tipikor yang dapat mengakhiri dualisme dan menjawab kompleksitas perkara korupsi di kemudian hari. Sejatinya pula Pengadilan Tipikor dijadikan benchmark yang dapat menginspirasi pemulihan atau perbaikan pengadilan lainnya.

Sekadar mengingatkan kembali, berdasarkan putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006 tentang pengujian UU KPK, keberadaan Pengadilan Tipikor yang semula diatur bersama dalam UU KPK, diminta untuk dibuat dalam UU tersendiri. Putusan MK tersebut bukan hanya hendak mengakhiri dualisme sistem peradilan tindak pidana korupsi, tetapi ada constitutional important yang dilihat, yaitu kebutuhan besar untuk mewujudkan masyarakat bebas korupsi. Putusan ini jelas memberi legitimasi konstitusional Pengadilan Tipikor, dan perlu diwujudkan dalam undang-undang yang dibuat dalam waktu tiga tahun sejak putusan dibacakan.

Rentang waktu tiga tahun cukup memadai bagi DPR bersama pemerintah untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor. Namun, pemerintah maupun DPR terkesan lamban, bahkan sepertinya buying time. Ini dapat dilihat ketika pemerintah baru mengajukan draf RUU Pengadilan Tipikor pada September tahun lalu. Pansus yang dibentuk DPR pun baru bekerja sebatas Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Jadi, hingga kini, sama sekali belum ada pembahasan soal materi, namun harus tertunda lagi karena pemilu.

Bukan tidak mungkin pula ada semangat yang tidak menghendaki keberadaan Pengadilan Tipikor sehingga menghambat proses pembahasan. Mengingat sisa waktu semakin terbatas, mungkinkah proses dilanjutkan pada jalur legislasi? Menurut penulis, proses pembahasan masih mungkin dilakukan. Dengan melihat pengalaman sebelumnya pascapemilu 2004, DPR masih bisa melakukan pembahasan dan pengesahan beberapa RUU, seperti RUU TNI, RUU Kepailitan, RUU Perikanan, dan RUU KKR.

Untuk itu, Pansus DPR harus melakukan langkah terobosan dengan mengintensifkan proses pembahasan dan memotong prosedur atau tahapan pembahasan. Selain itu, Pansus DPR melakukan prioritas atau pembatasan materi yang akan dibahas. Dalam hal ini, isu mengenai masalah kewenangan, komposisi majelis hakim, dan pembentukan Pengadilan Tipikor merupakan materi penting yang dapat diprioritaskan dan ditegaskan dalam RUU Pengadilan Tipikor.

Selain kedua hal di atas, perlu ada kontrol yang ketat dan efektif dari pimpinan DPR agar Pansus RUU Pengadilan Tipikor dapat bekerja maksimal. Sejauh ini kontrol dari Ketua DPR baru sebatas imbauan. Semestinya Pimpinan/Ketua DPR merombak atau mengganti keanggotaan Pansus apabila mereka dianggap lalai akan tanggung jawab konstitusionalnya.

Apabila proses legislasi tidak selesai, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) merupakan jalan keluarnya. Perppu merupakan langkah alternatif yang bisa digunakan untuk menyelamatkan Pengadilan Tipikor. Hanya saja, perppu tidak dikeluarkan sekarang karena tidak etis memotong proses legislasi yang masih berjalan. Apalagi draf RUU Pengadilan Tipikor itu merupakan usulan dari pemerintah. Selain itu, perppu yang memerlukan persetujuan dari DPR bisa dengan mudah ditolak karena dianggap menjadi “alat kampanye” Presiden menjelang pemilu presiden.

Sebaiknya perppu dikeluarkan oleh presiden yang baru terpilih hasil Pemilu Presiden 2009. Alasan “kegentingan memaksa” sebagai syarat dikeluarkannya perppu menjadi lebih tepat dan objektif. Yaitu proses legislasi yang tidak selesai, dan waktu yang sudah kian mendekati batas yang telah ditentukan. Inisiatif penyusunan perppu dapat dimulai dari sekarang sehingga bisa segera dikeluarkan oleh presiden setelah dilantik. Dengan demikian, kita tidak perlu terlalu cepat mengucapkan selamat tinggal kepada Pengadilan Tipikor.

Firmansyah Arifin, Ketua Badan Pengurus Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)

Sumber: Koran Jakarta, Jumat, 01 Mei 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts