Setelah KPK Minus Antasari

Oleh Henry Siahaan

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar telah ditetapkan kepolisian sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan berencana Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnain. Pasal 340 KUHP telah dijadikan kepolisian untuk mengirim Antasari ke balik jeruji besi. ?Sesuai pasal 32 angka 1 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, besar kemungkinan Antasari Ashar akan diberhentikan daripada sekadar diberhentikan sementara karena menjadi terdakwa dalam kasus tindak pidana kejahatan. Kedua, berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama lebih dari tiga bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya.

Kondisi itu mengakibatkan beberapa hal. Pertama, pimpinan KPK hanya akan dijalankan empat orang pimpinan yang merangkap anggota. Hal itu tentu berlawanan dengan pasal 21 ayat (1) huruf a yang menegaskan, pimpinan KPK harus terdiri atas lima orang.

Sesuatu yang berjalan di luar aturan merupakan situasi yang tidak dikehendaki. Itulah yang disebut force majeure. Padahal, korupsi merupakan extra-ordinary crime yang memerlukan penanganan khusus dan berjalan dalam bingkai aturan yang ada.

Kedua, akan ada banyak kasus korupsi yang menggantung atau tidak terselesaikan. Bukan meragukan komitmen dan kapasitas keempat pimpinan KPK yang tersisa. Tetapi, mekanisme pengambilan keputusan akan menghambat kinerja pimpinan KPK. Bagaimanapun harus disadari bahwa pimpinan KPK yang didesain berjumlah lima orang bukanlah tanpa dasar.

Mekanisme normal dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, termasuk dalam memutus suatu perkara, mulai tahap penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan, oleh para pimpinan KPK yang dikenal dengan sebutan ekspose perkara dilakukan dengan cara kolektif (pasal 21 poin 5 UU KPK). Artinya, kelima pimpinan melakukan musyawarah sampai voting bila terjadi deadlock. Namun, dengan berkurangnya satu pimpinan, sangat mungkin terjadi kedudukan berimbang dalam voting. Jika demikian yang terjadi, akan sangat sedikit perkara yang bisa diputus KPK dan itu sangat mungkin terjadi. Hal itulah yang dikhawatirkan banyak pihak.

Ketiga, kinerja KPK yang melambat atau berjalan pelan akan mematikan spirit dan antusiasme masyarakat untuk bahu-membahu melawan korupsi. Itu berbahaya dan semakin menjauhkan negeri ini dari mimpi kesejahteraan, reformasi birokrasi, dan sebagainya. Atau, ini merupakan bagian dari skenario para koruptor untuk mematikan KPK? Atau, pihak lain yang menghendaki Indonesia tetap menjadi bagian dari rantai kemiskinan? Siapa tahu?

Berpijak dari sana, semua pihak perlu menyadari bahwa apa yang dialami institusi KPK bukanlah masalah institusi itu sendiri. Itu masalah kita semua, masalah bangsa. Benar, Antasari akan berada di balik terali besi. Tetapi, itu tidak boleh membuat terlena bangsa ini dan memenjarakan pikiran kita semua. Sebab, pertama, apa yang dialami Antasari adalah pelajaran bagi para pimpinan KPK yang lain atau pejabat di negeri ini untuk menegakkan kode etik ataupun nama besar korps dengan tindakan positif.

Dalam konteks tersebut, misalnya, Antasari telah sekian lama melanggar kode etik KPK pasal 5 ayat (1), yakni tangguh dan tegar dalam menghadapi berbagai godaan yang dilaksanakan dalam bentuk sikap, tindakan/prilaku. Pertanyaannya, apakah semua institusi publik di negeri ini memiliki kode etik atau semangat positif korps?

Kedua, jika pada akhirnya Antasari diberhentikan (pasal 32 ayat 3 UU KPK), presiden patut mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR melalui mekanisme perekrutan pimpinan dengan tahapan dan prosedur layaknya merekrut pimpinan KPK yang baru pasca berakhirnya masa jabatan 4 tahun (pasal 34 UU KPK).

Undang-Undang KPK memang tidak mewajibkan presiden mengajukan calon pengganti kepada DPR. Namun, kita harus berasumsi bahwa dengan absennya satu unsur pimpinan KPK, mekanisme kolegial pimpinan KPK tidak akan berjalan maksimal dan akan menghambat laju pemberantasan korupsi.

Selain itu, pengalaman pimpinan yang bermasalah, seperti yang terjadi di Komisi Yudisial, Komite Pengawas Persaingan Usaha, atau Komisi Pemilihan Umum pasca dijebloskannya para anggota yang terlibat dalam kasus pidana, dapat memberikan justifikasi bagi presiden untuk tidak melakukan hal yang sama terhadap KPK.

Ketiga, keempat pimpinan KPK yang tersisa harus merumuskan ulang prosedur tata kerja dalam mengambil kesepakatan dan aturan main bersama yang baku dipraktikkan selama ini melalui keputusan KPK (pasal 25 angka 2). Kesepakatan dan aturan main yang baru itu sebagai bagian dari kondisi force majeure KPK.

Ada tiga model yang mungkin dapat menjadi tawaran. Pertama, secara bergiliran dan berkala salah seorang di antara empat pimpinan menjadi ketua. Dan, ketua diberi bobot penentu bila terjadi deadlock dalam pengambilan keputusan yang berakhir dengan voting. Kedua, keempat pimpinan secara bergiliran dan berkala menjadi ketua, tetapi memiliki bobot yang sama dalam mengambil keputusan. Untuk menghindari deadlock, tim penasihat diberi hak suara walau bobotnya tidak sama dengan pimpinan.

Mungkin ada pertanyaan, apa dasarnya tim penasihat diberi hak suara dalam pengambilan keputusan? Lagi-lagi ini force majeure dan pimpinan KPK dapat mempertanggungjawabkan kebijakannya karena keberanian untuk menerjemahkan pasal 21 ayat (6) bahwa KPK sebagai penanggung jawab tertinggi, jo pasal 23, jo pasal 25 ayat (1) huruf (a) dan ayat (2). Semua tindakan dan keberanian KPK tersebut harus dikaitkan dengan pasal 3 UU KPK ihwal independensi dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Semua itu demi institusi KPK dan demi bangsa ini.

Henry Siahaan, aktivis antikorupsi, bekerja di kemitraan/partnership, Jakarta

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 6 Mei 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts