Setelah KPK tanpa Ketua

Oleh Asmar Oemar Saleh

Sudah tersudut, ditekan pula. Inilah yang dialami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini. Tak hanya sorotan tajam publik yang harus dihadapi KPK setelah ketuanya resmi jadi tersangka kasus pembunuhan. Tapi, ia juga mesti menangkis manuver anggota dewan yang menganggap putusan-putusan KPK menjadi tidak sah sebab tanpa ketua.

Manuver ini mengemuka dalam rapat Komisi III DPR dengan empat unsur pimpinan KPK: Chandra Hamzah, Bibit Samad Rianto, Haryono Umar, dan M Jasin, Kamis (7/5) lalu. Rapat itu mempertanyakan kewenangan pimpinan KPK setelah Antasari Azhar diberhentikan sementara oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari jabatan ketua KPK. Seperti diketahui, Antasari Azhar menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, di Tangerang, Banten, 14 Maret lalu.

Dalam rapat itu, sejumlah anggota Komisi III DPR berpandangan bahwa tanpa ketua; penyidikan, penangkapan, dan penuntutan yang dilakukan KPK jadi tidak sah. Sehingga, untuk sementara, KPK tak perlu lakukan apa-apa. Bisakah argumen ini dibenarkan? Apakah kosongnya kursi ketua berpengaruh terhadap sah dan tidaknya putusan yang diambil KPK?

Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan bahwa pimpinan KPK itu lima orang. Lalu, disebutkan dalam ayat 5 bahwa pimpinan KPK bekerja secara kolektif. Inilah yang mendasari argumen ketakabsahan keputusan KPK yang hanya diambil empat orang minus Antasari. Kolektif disalahartikan sebagai harus lima orang: tak kurang dan tak lebih. Padahal, Pasal 32 dan 33 UU KPK telah mengatur pemberhentian ketua KPK.

Dengan demikian, antisipasi kekosongan ketua sesungguhnya telah dibuat dalam UU KPK dengan menyebut kepemimpinannya bersifat kolektif. Artinya, ia tak bergantung pada ada atau tidak adanya ketua. Akan tetapi, keputusan itu diambil secara bersama-sama oleh para pimpinannya. Oleh karena itu, jika ketua berhalangan, KPK tetap bisa menjalankan tugas-tugasnya.

Dari perspektif keorganisasian, pendapat para anggota dewan tersebut makin janggal. Dalam sebuah organisasi, tiadanya pimpinan tidak membuat organisasi tersebut lantas stagnan dan tak bisa jalan. Lazimnya sebuah organisasi, ketika ketua berhenti di tengah jalan, rantai kepemimpinan organisasi untuk sementara digantikan oleh wakilnya sampai ada pengangkatan resmi ketua baru. Ini mekanisme dasar yang hampir pasti dimiliki setiap organisasi yang telah mapan. Sederhana saja. Bila presiden sebuah negara berhalangan, apakah lantas negara jadi macet tak berjalan?

Mengikuti cara pikir sejumlah anggota Komisi III DPR itu memang bisa tersesat. Sebab, argumen mereka tak dibangun untuk memberi fondasi kuat bagi tampilnya KPK menjalankan tugasnya membasmi korupsi. Bahkan, ditengarai bahwa DPR tak begitu senang dengan kiprah KPK yang telah berhasil menjebloskan sejumlah anggota dewan ke penjara karena terlibat sejumlah kasus korupsi, seperti kasus alih fungsi hutan di Sumatra Selatan dan Bintan, kasus pengadaan kapal patroli, dan mobil pemadam kebakaran, serta kasus aliran dana BI ke anggota Komisi IX DPR.

Padahal, sebagai sesama lembaga tinggi negara, selayaknya DPR membesarkan hati KPK dan mendukung lembaga ini untuk meneruskan tugas-tugasnya meski ditinggal ketuanya sampai dipilihnya ketua yang baru. Sikap tak simpati anggota dewan itu justru bermasalah. Pertama, sikap itu tak mencerminkan sikap seorang negarawan yang bekerja dan berbuat demi bangsa dan negara. Mereka masih memperlihatkan motif-motif kepentingan pribadi, korps, dan partai yang begitu kental. Mereka lupa bahwa ketika memulai tugas negara, kepentingan diri dan kelompok seharusnya berakhir.

Kedua, sikap anggota dewan yang menginginkan KPK menghentikan sementara tugas-tugasnya jelas bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Padahal, pemberantasan korupsi adalah amanat rakyat yang menjadi sebab mengapa KPK dibentuk. Dengan demikian, sikap anggota DPR itu kontraproduktif dengan aspirasi rakyat. Masih pantaskah mereka disebut wakil rakyat?

Terlepas dari manuver anggota Komisi DPR itu, KPK memang tak boleh surut. Justru, inilah saatnya KPK unjuk gigi bahwa kebijakannya tak bergantung pada adanya ketua. KPK bukanlah lembaga tinggi negara yang kepemimpinannya bersifat sentralistis. Sebagaimana diisyaratkan UU KPK, kepemimpinannya adalah kolektif. KPK harus membuktikan diri bahwa ia adalah lembaga tinggi negara yang secara keorganisasian mandiri: KPK tetap bisa jalan meski ditinggal ketuanya.

Selain itu, kinerja KPK tak boleh susut. Meski tanpa ketua, KPK harus menunjukkan bahwa tugas-tugasnya tetap terlaksana. Profesionalisme tetap terjaga. Keutuhan kerja dan kekompakan tim tetap terpelihara. Dengan cara-cara seperti inilah, publik bisa percaya terhadap kemandirian dan profesionalisme KPK. Semoga.

Asmar Oemar Saleh, Advokat

Sumber: Republika, Kamis, 14 Mei 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts