Yogyakarta - Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai raja Kraton Yogyakarta dan Sri Paduka Paku Alam XI sebagai adipati kadipaten Pura Pakualaman berfungsi sebagai penjaga warisan dan pengembang kebudayaan kedua lembaga warisan leluhur tersebut.
Berdasarkan Pasal 11 huruf d UU Nomor 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki hak konstitusional mendapatkan protokoler dan keuangan alias honor dalam kapasitas penguasa tradisional tersebut. Hak konstitusional tersebut menjadi masalah dari sudut pandang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga pengageng Kesultanan dan Pakualaman menolak untuk menggunakan haknya. Keduanya pun mengembalian honor sebagai raja dan adipati.
Iktikad anti korupsi Sultan dan Paku Alam diperlihatkan pada akhir tahun 2013, keduanya menanyakan kepada KPK apakah sebagai raja dan adipati boleh menerima honor dari dana keistimewaan.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan DI Yogyakarta Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat KPK merespon pertanyaan Sri Sultan dengan mengirim surat rekomendasi ke Sekretariat Daerah Pemerintah Daerah DI Yogyakarta akhir Januari 2014.
Berdasarkan kajian terhadap Undang-Undang Nomor 13/2012 tentang Keistimewaan DI Yogyakarta, KPK menemukan indikasi bahwa ketentuan tentang hak protokoler dan keuangan terhadap raja yang di dalamnya juga melekat jabatan gubernur dan adipati yang menyandang tugas wakil gubernur tidak sejalan dengan Pasal 38 UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 109/200 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut telah diatur hak protokol dan keuangan gubernur dan wakil gubernur. Meskipun tidak mengatur jabatan penguasa tradisional, undang-undang tentang kepala daerah dan peraturan pemerintah yang harus dijadikan pegangan Sri Sultan dan Paku Alam dalam hak keuangan.
Berdasarkan usulan DPRD dan pemerintah DI Yogyakarta raja dan adipati, keluarga dan abdi dalem Kraton Yogyakarta dan Pura mendapat honor. Raja mendapat Rp3,8 juta per bulan, permaisuri Rp3,4 juta per bulan. Jatah permaisuri setara dengan honor adipati Puro Pakualaman.
Honor dari dana keistimewaan diberikan juga kepada keluarga, misalnya KGPH Hadiwinoto menerima Rp 3,2 juta per bulan, limka putri raja masing-masing mendapat honor iRp 3,02 juta per bulan.
KPK "menghalalkan" honor yang diberikan kepada anak dan keluarga raja serta prajurit, sebaliknya KPK mengharamkan raja dan adipati menerima honor dana keistimewaan. Pertimbangan KPK menghalalkan keluarga menerima honor dana keistimewaan karena mereka masuk kategori abdi dalem dan bukan pejabat negara. Yang sedikit berbeda perlakuan permaisuri raja, GKR Hemas, yang berstatus pejabat negara (anggota Dewan Perwakilan Daeah), tetap "dihalalkan" menerima honor dana keistimewaan.
Honor bagi raja, keluarga dan abdi dalem dilaksakan rutin. Sebagai pemohon dan pengguna anggaran adalah DPRD dan pemerintah daerah DI Yogyakarta. Usulan dana didasarkan hasil rapat anggaran di parlemen.
Berdasarkan pernyataan Kepala Bappeda DI Yogyakarta Tavip Agus Rayanto, dana keistimewaaj 2014 sekitar Rp 600 miliar lebih, akan naik menjadi Rp 1,2 triliun pada 2015. Ini bermakna bahwa penjagaan warisan budaya berlangsung secara berkesinambungan dari tahun ke tahun.
Selama KPK melarang, dana itu tidak akan dinikmati oleh raja dan adipati yang notabene sebagai simbol penguasa tertinggi yang mengoordinasikan para pelaksana penjaga warisan budaya. Raja dan adipati dalam konteks hak pendaan seperti tercekat oleh inkonsistensi konstitusi, akibatnya mereka boleh mengabdi tetapi tidak boleh menikmati manisnya pengabdian.
Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com