Banda Aceh, NAD - Secara tidak sadar tari tradisional, seperti Ranup Lampuan, mengalami perubahan yang mengarah ke arah yang menyimpang dari nilai-nilai tarian itu sendiri. Kuat dugaan hal itu--seperti tarian-tarian tradisi di Aceh lainnya-- disebabkan karena tidak adanya patron khusus sebagai alat ukur.
Ketua Program Studi Seni Drama Tari dan Musik Universitas Syiah Kuala, Cut Zuriana SPd MPd mengutarakan, penyimpangan yang terjadi di lapangan juga disebabkan ketidakpahaman sebagian pengajar tarian tersebut akan makna tradisi.
“Apa ada itu tradisional, nah hal tersebut yang tidak dipahami. Tidak ada sawer-saweran dalam tarian Ranup Lampuan. Dan tidak pakek kaset musik pengiringnya, tapi serunee kale dan rapa’i, ” kata dia dalam Seminar Kebudayaan bertema “Cagar Tradisi Aceh”, yang diselenggarakan oleh Gemasastrin FKIP Unsyiah, bekerja sama dengan Komunitas Tikar Pandan dan Kemendikbud RI di Auditorium Gedung FKIP Baru Unsyiah, Rabu (5/2/2014).
“Kita harus bangga pada budaya kita sendiri. Beda tradisi dengan moderen dan kreasi.”
Muatan lokal dalam kurikulum
Sejarawan Drs Nurdin AR MHum mengatakan tarian tradisional Aceh sudah semestinya dimasukkan dalam kurikulum sekolah, yaitu dalam muatan lokal.
“Seni tradisional ini harus diajarkan dari SD sampai SMA,” katanya.
Dia juga menyinggung sedikit tentang persepsi masyarakat Aceh yang menganggap seni dekat dengan maksiat. Padahal kata dia, di balik kesenian yang tumbuh di Aceh semuanya memiliki nilai filosfis.
“Syeh itu berasal dari tradisi Sufi, dan Seudati berasal dari dua kalimat syahadat. Upaya rasionalisasi sangat perlu dilakukan untuk menghilangkan persepsi tersebut terhadap berbagai kesenian di Aceh,” ungkapnya.
Ada lima pembicara dalam seminar tersebut, yakni Agus Nur Amal dari Komunitas Tikar Pandan, Drs Nurdin AR Mhum Sejarawan, Syeh Lah Geunta Maestro Tari Seudati, Irini Dewi Wanti SS MSP kepala BPNB Aceh-Sumut, dan Cut Zuriana SPd MPd Ketua Prodi Sendratasik FKIP Unsyiah.
Sumber: http://theglobejournal.com