Kulon Progo, DIY – Indonesia memiliki berbagai suku bangsa, adat istiadat dan budaya yang menjadikan negara ini berbeda dengan negara lain di dunia. Salah satunya budaya Jawa yang mencoba ditampilkan ratusan warga Kriyanan, Wates dalam penyelenggaraan upacara Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke 70, Senin (17/8/2015).
Ratusan warga dari usia anak-anak, dewasa hingga para sesepuh desa tampak kompak berbalut busana Jawa gaya Mataraman Ngayogyakarta. Para laki-laki mengenakan busana beskap dan surjan, serta berbalut kain jarik lengkap dengan blangkon.
Para perempuan mengenakan kebaya, kain jarik dan bersanggul untuk yang tidak berhijab. Meski cuaca tidak terlalu terik, namun upacara detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tetap berjalan khidmat.
Barisan peserta upacara diatur sedemikian rupa berdasarkan keseragaman busana Jawa yang dikenakan. Komandan setiap pleton juga tak kalah unik dengan berbalut busana bregada prajurit rakyat. Upacara ini menggambarkan peringatan kemerdekaan di masa lampau. Di mana para pribumi masih berbalut busana adat masing-masing daerahnya.
“Melalui pakaian adat Jawa Mataraman Jogja, kami ingin menunjukkan identitas sebagai warga pribumi Jogja. Di mana masyarakatnya masih menghormati kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat,” ujar Ketua Panitia HUT RI ke 70, RW 06 Kriyanan.
Selain itu, upacara tersebut diperingati warga sebagai bukti konkret masih utuhnya persatuan dan kesatuan di desa tersebut. Upacara yang dilakukan para warga tersebut juga seakan menegaskan, peringatan HUT Kemerdekaan RI tidak hanya miliki pegawai negeri maupun kalangan birokrasi. Akan tetapi, acara tersebut juga milik rakyat dan peringatan ini mewujudkan kepedulian masyarakat terhadap cita-cita bangsa.
Kurang lebih ada 600 warga yang berpartisipasi dalam upacara peringatan HUT kemerdekaan RI ke 70. Dalduri juga menambahkan, melalui upacara berbusana adat Jawa ini harapan yang ingin disampaikan, yakni semangat persatuan antar warga, antar suku, antar agama dan antar budaya.
“Kami ingin kesatuan dan persatuan warga tetap terjalin. Jangan sampai kejadian yang terjadi di Tolikara, Papua, terjadi di dusun atau desa kami,” ungkap Dalduri.
Sekilas, upacara dengan mengenakan pakaian adat cukup tampak merepotkan. Warga harus mengeluarkan kocek untuk sekedar menyewa pakaian adat hingga berias diri. Namun, bagi Andika Shinta Elfarani, 19, warga setempat hal itu tidak merepotkan. Justru menurut gadis yang akrab disapa Shinta itu, momentum tersebuti sangat menarik untuk dilakukan.
“Karena saya bangga jadi orang Jawa, bangga jadi bangsa Indonesia. Jadi, ya, tidak repot, malah menyenangkan,” ujar Shinta.
Semangat 45 juga ditunjukan Sandiyo dan Hadiyanto, dua kakek yang berusia 65 tahun itu merasa bangga dapat mengikuti upacara dengan berbalut pakaian Jawa. Menurut Hadiyanto, hal ini sebagai salah satu upaya nguri-uri kabudayan jawa. Apalagi, kata dia, sebagai bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta, sudah sepatutnya budaya Jawa dijunjung dan dilestarikan.
“Ini upaya kami mendukung keistimewaan Jogja. Ke depan saya juga berharap, Indonesia dapat semakin maju lagi,” imbuh Hadiyanto.
Sumber: http://jogja.solopos.com