Oleh Muhaemin iskandar
Banyak bangsa beradab yang masih memanfaatkan tulisan gambar dalam tradisi tulis menulisnya. Bangsa Jepang yang maju industrinya masih memanfaatkan aksara kanjinya dalam tradisi komunikasi tertulisnya, demikian juga dengan Cina, Korea, negara-negara di Timur Tengah. Mengapa orang-orang Jawa bersikukuh dengan huruf latinnya, sementara mereka juga memiliki aksara Jawa? Kapan generasi muda dapat mem"feysen"kan aksara Jawa dalam pergaulannya seperti halnya terjadi negara-negara maju. Jepang begitu fashionable dengan kanji, Arab Saudi fashionable dengan huruf Arab, India yang maju industri filmnya juga fashionable dengan huruf Hindinya, dan sebagainya. Kalau saja aksara Jawa dapat digunakan seperti halnya aksara Hindi (India), mungkin kita telah maju selangkah lagi dalam pembudidayaan budaya lokal.
Bahasa Jawa memiliki unsur-unsur yang sangat kompleks, antara lain: gramatikal, aksara, kosa kata, peribahasa, dasa nama, tata krama bahasa. Masing-masing unsur memiliki bagian-bagian yang lebih lengkap lagi. Aksara Jawa terdiri dari 20 huruf: ha na ca ra ka; da ta sa wa la; pa da ja ya nya; ma ga ba tha nga dengan 20 pasangannya.
Aksara Jawa mengandung legenda di dalam penyusunannya, yang kurang lebih demikian: Konon tersebutlah dulu Aji Saka yang telah menjadi penguasa di sebuah kerajaan (disinyalir Medang Kamulan). Kemudian dia mengutus seorang yang dipercayainya untuk mengambil barangnya yang dia tinggal di tempat lain. Utusan itu (caraka) segera pergi menemui orang yang dimaksud. Akan tetapi utusan yang membawa barang tadi (penjaga) sepertinya tidak percaya kalau orang yang datang kepadanya itu juga caraka dari Aji Saka.
Keduanya saling beradu pendapat, saling ngotot mempertahankan keyakinan masing-masing: siapa yang berhak membawa barang milik Aji Saka, siapa yang lebih dipercaya sama tuannya. Keduanya tidak menemukan komunikasi yang efektif, yang ada hanya perang mulut berlanjut ke perang uji kesaktian. Keduanya terbukti sakti semuanya, tidak terkalahkan dan tidak terpisahkan. Akhirnya keduanya mati bagai bangkai. "Anjing rebutan tulang" itulah perumpamaannya. Begitu Aji Saka melihat kenyataan tersebut, maka tersusunlah huruf Jawa.
"Ha Na Ca Ra Ka, Da Ta Sa Wa La, Pa Da Ja Ya Nya, Ma Ga Ba Tha Nga".
Ada dua caraka, yang saling berselisih paham, sama-sama hebatnya, mati bersama
Untuk menghasilkan bunyi, aksara Jawa memiliki seperangkat pasangan dan sandhangan yang menyertai suatu huruf baik di bawah, atau di atasnya, atau samping kiri kanannya. Layar (/) di atas huruf akan menghasilkan huruf r mati. Bulatan besar di atas huruf berbunyi e seperti pada kata demam, renang, senang, tegang. Taling di depan huruf berbunyi e seperti pada kata-kata mete, merah. Taling tarung yang berada di samping kiri dan kanan huruf untuk membentuk suku kata bervokal o, contohnya pada moto, tomat, mohan, molto. Kalau dalam bahasa Indonesia ada huruf kapital maka di dalam bahasa Jawa ada aksara murda.
Harapannya di masa mendatang Aksara Jawa bernasib sama seperti halnya aksara kanji di Jepang, aksara Korea, aksara Hindi, aksara Arab di Timur Tengah. Jika film-film yang diimpor memakai aksara-aksara dalam bahasa mereka, maka, misalnya, seorang Hanung Bramantyo memproduksi sebuah film dengan penulisan nama kru-krunya dengan aksara Jawa. Indofood pun menuliskan label halal juga dengan aksara Jawa. Siapa lagi yang akan melestarikan aksara Jawa, kalau bukan generasi muda. Orang-orang Jepang tidak membuat mereka terasing dengan aksara Jepangnya. Sudah siapkah generasi muda Indonesia, khususnya di Jawa.
Dagadu, sebuah perusahaan di bidang industri kreatif garmen, telah menyisipkan sepenggal kata atau dua patah kata bertuliskan Jawa. Demikian juga dengan Jogja TV yang secara pelan tetapi pasti mengenalkan aksara Jawa dalam program yang mudah dipahami, karena berupa satu dua kata, kemudian dibaca, dan diberi makna. Banyak mula generasi muda yang memakai rok dengan coretan aksara Jawa.
Apa bedanya antara Javanese dengan Japanese, Java dengan Japan. Suatu kosa kata yang hampir sama bukan. Akan tetapi memang Japan telah maju ke depan. Kenapa tidak kita mulai dari generasi muda sekarang untuk merintis gerakan "Fashionable of Javanese Letters".
Sumber Tulisan: http://korden.multiply.com
Banyak bangsa beradab yang masih memanfaatkan tulisan gambar dalam tradisi tulis menulisnya. Bangsa Jepang yang maju industrinya masih memanfaatkan aksara kanjinya dalam tradisi komunikasi tertulisnya, demikian juga dengan Cina, Korea, negara-negara di Timur Tengah. Mengapa orang-orang Jawa bersikukuh dengan huruf latinnya, sementara mereka juga memiliki aksara Jawa? Kapan generasi muda dapat mem"feysen"kan aksara Jawa dalam pergaulannya seperti halnya terjadi negara-negara maju. Jepang begitu fashionable dengan kanji, Arab Saudi fashionable dengan huruf Arab, India yang maju industri filmnya juga fashionable dengan huruf Hindinya, dan sebagainya. Kalau saja aksara Jawa dapat digunakan seperti halnya aksara Hindi (India), mungkin kita telah maju selangkah lagi dalam pembudidayaan budaya lokal.
Bahasa Jawa memiliki unsur-unsur yang sangat kompleks, antara lain: gramatikal, aksara, kosa kata, peribahasa, dasa nama, tata krama bahasa. Masing-masing unsur memiliki bagian-bagian yang lebih lengkap lagi. Aksara Jawa terdiri dari 20 huruf: ha na ca ra ka; da ta sa wa la; pa da ja ya nya; ma ga ba tha nga dengan 20 pasangannya.
Aksara Jawa mengandung legenda di dalam penyusunannya, yang kurang lebih demikian: Konon tersebutlah dulu Aji Saka yang telah menjadi penguasa di sebuah kerajaan (disinyalir Medang Kamulan). Kemudian dia mengutus seorang yang dipercayainya untuk mengambil barangnya yang dia tinggal di tempat lain. Utusan itu (caraka) segera pergi menemui orang yang dimaksud. Akan tetapi utusan yang membawa barang tadi (penjaga) sepertinya tidak percaya kalau orang yang datang kepadanya itu juga caraka dari Aji Saka.
Keduanya saling beradu pendapat, saling ngotot mempertahankan keyakinan masing-masing: siapa yang berhak membawa barang milik Aji Saka, siapa yang lebih dipercaya sama tuannya. Keduanya tidak menemukan komunikasi yang efektif, yang ada hanya perang mulut berlanjut ke perang uji kesaktian. Keduanya terbukti sakti semuanya, tidak terkalahkan dan tidak terpisahkan. Akhirnya keduanya mati bagai bangkai. "Anjing rebutan tulang" itulah perumpamaannya. Begitu Aji Saka melihat kenyataan tersebut, maka tersusunlah huruf Jawa.
"Ha Na Ca Ra Ka, Da Ta Sa Wa La, Pa Da Ja Ya Nya, Ma Ga Ba Tha Nga".
Ada dua caraka, yang saling berselisih paham, sama-sama hebatnya, mati bersama
Untuk menghasilkan bunyi, aksara Jawa memiliki seperangkat pasangan dan sandhangan yang menyertai suatu huruf baik di bawah, atau di atasnya, atau samping kiri kanannya. Layar (/) di atas huruf akan menghasilkan huruf r mati. Bulatan besar di atas huruf berbunyi e seperti pada kata demam, renang, senang, tegang. Taling di depan huruf berbunyi e seperti pada kata-kata mete, merah. Taling tarung yang berada di samping kiri dan kanan huruf untuk membentuk suku kata bervokal o, contohnya pada moto, tomat, mohan, molto. Kalau dalam bahasa Indonesia ada huruf kapital maka di dalam bahasa Jawa ada aksara murda.
Harapannya di masa mendatang Aksara Jawa bernasib sama seperti halnya aksara kanji di Jepang, aksara Korea, aksara Hindi, aksara Arab di Timur Tengah. Jika film-film yang diimpor memakai aksara-aksara dalam bahasa mereka, maka, misalnya, seorang Hanung Bramantyo memproduksi sebuah film dengan penulisan nama kru-krunya dengan aksara Jawa. Indofood pun menuliskan label halal juga dengan aksara Jawa. Siapa lagi yang akan melestarikan aksara Jawa, kalau bukan generasi muda. Orang-orang Jepang tidak membuat mereka terasing dengan aksara Jepangnya. Sudah siapkah generasi muda Indonesia, khususnya di Jawa.
Dagadu, sebuah perusahaan di bidang industri kreatif garmen, telah menyisipkan sepenggal kata atau dua patah kata bertuliskan Jawa. Demikian juga dengan Jogja TV yang secara pelan tetapi pasti mengenalkan aksara Jawa dalam program yang mudah dipahami, karena berupa satu dua kata, kemudian dibaca, dan diberi makna. Banyak mula generasi muda yang memakai rok dengan coretan aksara Jawa.
Apa bedanya antara Javanese dengan Japanese, Java dengan Japan. Suatu kosa kata yang hampir sama bukan. Akan tetapi memang Japan telah maju ke depan. Kenapa tidak kita mulai dari generasi muda sekarang untuk merintis gerakan "Fashionable of Javanese Letters".
Sumber Tulisan: http://korden.multiply.com