Oleh Dr. BUDYA PRADIPTA (KRT Dr. B. Pradiptonagoro)
I. PENDAHULUAN
1. Naskah Kuno Sebagai Sumber Pencerahan dalam Krisis Multi Dimensi
Seminar ini yang diselenggarakan oleh PNRI (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia) mempunyai peran ganda. Peran pertama PNRI, mengangkat tema "Naskah Kuno sebagai Perekat NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)" tepat, justru dalam situasi dan kondisi bangsa Indonesia yang masih carut-marut. Dengan tema ini masyarakat dan pemerintah tentu berharap, sejauh mana sebuah naskah sebut saja misalnya Serat Pararaton mampu memberi inspirasi dan menggugah kesadaran sejarah untuk melanjutkan perjalanan NKRI. Tidak usah diperpanjang bahwa kini waktunya bagi semua orang dan pihak untuk memberikan sumbangsih pemikiran bagi kokohnya NKRI.
Situasi global, di mana batas-batas geografis sudah menjadi semu oleh sistem komunikasi dan informasi yang semakin canggih, menjadikan Indonesia berada dalam pelbagai macam ketegangan, antara lain sanggup dan mampukah pemerintah dan Negara Republik Indonesia mengantisipasi dan mengelola jaringan-jaringan dan konspirasi internasional yang pada akhirnya Indonesia menjadi sasaran makanan bagi bangsa dan negara asing. Bahwa Indonesia dijadikan bancakan bagi kepentingan-kepentingan asing sebenarnya sudah lama terasa lewat, misalnya penyebar luasan narkoba, VCD porno, masuknya produk-produk iptek baru, pemikiran-pemikiran baru, campur tangan asing terhadap rekayasa kepemimpinan Indonesia yang kalau tidak bisa dibenahi, Indonesia menempatkan diri atau ditempatkan oleh pihak asing sebagai bangsa yang berada dalam kebergantungan dalam semua hal. Apalah artinya kekayaan alam yang melimpah ruah, kalau dalam sekejap bisa habis binasa dibom? Apalah artinya SDM (sumbar daya manusia) yang berjumlah banyak kalau tidak diberdayakan untuk meluhurkan NKRI, niscaya tinggal sedikit dan terbanyak mati sia-sia terkena ledakan-ledakan bom atau terkena dampak narkoba dan VCD porno.
Hanya dengan kekuatan Ketuhanan Yang Maha Esa yang bersemayam pada manusia-manusia Indonesia yang mengerti, Indonesia akan terhindar dari calon giliran sasaran tembak kekuatan-kekuatan asing yang berbahaya itu. Dalam rangka mencari pencerahan inilah kita perlu merenung melalui naskah-naskah kuno yang mampu menjadi perekat atau semen bagi bangsa-bangsa di Nusantara.
Di zaman Majapahit perekat bangsa-bangsa di Nusantara sudah ada, yaitu berupa Sumpah Palapa, sebuah sumpah yang diucapkan oleh Gajah Mada ketika ia mendapatkan kehormatan diwisuda menjadi Patih Amangkubhumi, tahun 1336 Masehi (Slamet Mulyana, 1965 : 188). Sumpah Palapa intinya adalah mengusahakan kesatuan dan persatuan Nusantara. Bahasa sekarang: NKRI.
Menghayati proyeksi seperti tersebut di atas, maka peran kedua dari PNRI dalam pembangunan NKRI adalah sungguh sangat strategis dan sangat penting. Ia tidak hanya berperan sebagai lembaga penyimpan naskah-naskah kuno saja, akan tetapi lebih dari itu yaitu sebagai aset bangsa wajib dan harus mengkaji dan menyebarluaskan nilai-nilai luhur Nusantara dan sejarah Nusantara/Indonesia yang banyak bolong-bolong dan
banyak pula mata rantai yang hilang (missing link) untuk disumbangkan bagi keluhuran dan kejayaan NKRI.
2. Pararaton dan Nagarakretagama
Seminar dengan tema "Naskah Kuno sebagai Perekat NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)", menempatkan kitab Pararaton –ditulis dalam tahun 1613M (Padmapuspita, 1966 : 91)--dan Nagarakretagama –ditulis dalam tahun 1365 M (Slamet Mulyana 1979 : 9)--ke posisi sentral yang terhormat dan mulia, sebab naskah Pararaton menyebut di dalamnya Sumpah Palapa yang terkenal itu, sedangkan Nagarakretagama memuat wilayah negeri yang masuk dalam kekuasaan dan wibawa Majapahit.
Sumpah Palapa yang dicanangkan oleh Gajah Mada dilakukan ketika Gajah Mada dilantik sebagai Patih Amangkubhumi kerajaan besar Majapahit, pada tahun Saka 1258, atau tahun Masehi 1336 (Slamet Mulyana, 1965 : 188).
Jadi penting Pararaton dibicarakan disini, karena ia memuat Sumpah Palapa. Sedang pentingnya Sumpah Palapa karena di dalamnya terdapat pernyataan suci yang diucapkan oleh Gajah Mada yang berisi ungkapan “lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa” (kalau telah menguasai Nusantara, saya melepaskan puasa/tirakatnya).
II. MAKNA SUMPAH PALAPA
1. Bunyi Sumpah Palapa
Naskah Nusantara yang mendukung cita-cita tersebut di atas adalah Serat Pararaton. Kitab tersebut memunyai peran yang strategis, karena di dalamnya terdapat teks Sumpah Palapa. Kata "sumpah" itu sendiri tidak terdapat di dalam kitab Pararaton, hanya secara tradisional dan konvensional para ahli Jawa Kuno menyebutnya sebagai Sumpah Palapa. Bunyi selengkapnya teks Sumpah Palapa menurut Pararaton edisi Brandes (1897 : 36) adalah sebagai berikut :
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa."
Terjemahannya adalah:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa (nya). Beliau Gajah Mada: “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru) melepaskan puasa, jika (berhasil) mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru) melepaskan puasa (saya).”
2. Pemahaman Intertekstual
Kalau kita membaca kutipan Serat Pararaton sebagaimana tersebut di atas, timbul pertanyaan: Kalau begitu, apakah wilayah-wilayah yang dipersatukan oleh Sumpah Palapa Gajah Mada hanya meliputi sepuluh negeri? Tidak sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Kalau kita menggunakan metode intertekstual, yaitu dengan bantuan menggunakan kitab Nagarakretagama sebagai penunjang, maka kita akan tahu wilayah-wilayah mana yang sesungguhnya berada di dalam naungan Majapahit. Pupuh XIII, XIV, dan XV dari kitab Nagarakretagama (Slamet Mulyana, 1979 : 279 – 280) menginformasikan secara teperinci wilayah-wilayah yang menjadi negara bawahan Majapahit, yaitu meliputi:
-- Kawasan Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya, Kandis, Kahwa, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Temihang, Perlak, Padang, Lwas, Samodra, Lamuri, Batan, Lampung, Barus.
-- Kawasan Kalimantan meliputi: Tanjung Negara, Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landa Samadang, Tirem, Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei, Malano, Tanjung Pura.
-- Kawasan Hujung Medini meliputi: Pahang, Langkasuka, Saimwang, Kelantan, Trengganu, Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah, Jerai, Kanjapiniran.
-- Kawasan timur Jawa meliputi: Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwang, Pulau Sapi, Dompo, Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali, Pulau Gurun (Lombok Merah), Sasak, Bantayan (Kota Luwuk), Udamakatraya, dan pulau-pulau lainnya.
-- Kawasan timur lainnya meliputi: Makassar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Selayar, Sumba, Solot, Muar, Wanda (n), Ambon, Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa pulau-pulau lainnya.
Catatan:
Tentang Pulau Madura, tidak dipandang negara asing, karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu. Konon sejak tahun Saka lautan menantang bumi, saat itu Jawa dan Madura terpisah meski pun tidak sangat jauh.
Di samping itu, Nagarakretagama menginformasikan pula persahabatan Majapahit dengan Siam, Ayudyapura, Darma nagari, Marutma, Rajapura, Singanagari, Campa, Kamboja, dan Yawana (pupuh XV, bait 1).
3. Kajian Komunikatif
Sebuah ungkapan apalagi sebuah sumpah kalau dikaji benar-benar menawarkan bentuk, isi, nilai, ideologi, dan enerji.
Dari sisi bentuk Sumpah Palapa adalah prosa, sedangkan isinya mengandung pernyataan suci kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diucapkan oleh Gajah Mada di hadapan ratu Majapahit Tribuwana Tunggadewi dengan disaksikan oleh para menteri dan pejabat-pejabat lainnya, yang substansinya: Gajah Mada baru mau melepaskan (menghentikan) puasanya apabila telah terkuasai Nusantara. Sayangnya tidak diterangkan di dalam teks tersebut tentang jenis puasa dan berapa lama pelaksanaan puasanya itu (keterangan tentang terjemahan amukti palapa, lihat Budya Pradipta, 2003).
Dari sisi nilai, Sumpah Palapa mengandung pelbagai nilai: nilai kesatuan dan persatuan wilayah Nusantara, nilai historis, nilai keberanian, nilai percaya diri, nilai rasa memiliki kerajaan Majapahit yang besar dan berwibawa, nilai geopolitik, nilai sosial budaya, nilai filsafat, dsb.
Dari sisi ideologi, Sumpah Palapa yang juga dikenal sebagai Sumpah Gajah Mada atau Sumpah Nusantara, memiliki ideologi ke-bhineka-tunggal-ika-an. Artinya: menuju pada ketunggalan keyakinan, ketunggalan ide, ketunggalan senasib dan sepenanggungan, dan ketunggalan ideologi akan tetapi tetap diberi ruang gerak kemerdekaan budaya bagi wilayah-wilayah negeri se-Nusantara dalam mengembangkan kebahagiaan dan kesejahteraannya masing-masing.
Dari sisi enerji Sumpah Palapa dianugerahi enerji Ketuhanan Yang Maha Dasyat karena tanpa enerji tersebut tak mungkin Gajah Mada berani mencanangkan sumpah tersebut. Sumpah Palapa akan menjadi sangat menarik lagi apabila dikaji dengan pendekatan komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan seperti: kepada siapa Sumpah Palapa diucapkan, dalam lingkungan apa (situasi, kondisi, iklim, dan suasana) Sumpah Palapa dicanangkan, dengan sasaran apa dan siapa Sumpah Palapa dideklarasikan, mengapa atau apa perlunya Gajah Mada mengumumkan Sumpah Palapa, dan manfaat apa yang mau dicapai adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab secara seksama.
Betapa pun Sumpah Gajah Mada itu kontekstual. Tidak semua pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab di sini, namun pertanyaan manfaat apa yang mau dicapai, kiranya perlu dijawab sekarang dengan lebih cermat. Menurut pemahaman saya, Gajah Mada memunyai kesadaran penuh tentang kenegaraan dan batas-batas wilayah kerajaan Majapahit, mengingat Nusantara berada sebagai negara kepulauan yang diapit oleh dua samudra besar yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, di samping diapit-apit oleh lautan Cina Selatan dan Lautan Indonesia (Segoro Kidul). Dari kesadaran yang tinggi terhadap keberadaan Nusantara, Gajah Mada meletakkan dasar-dasar negara yang kokoh, sebagaimana terungkap dalam perundang-undangan Majapahit (Slamet Mulyana, 1965 : 56 - 70; 1979 : 182 – 213).
Uraian singkat tersebut dimaksudkan untuk memberi gambaran bahwa kerajaan Majapahit khususnya ketika berada dalam penguasaan Gajah Mada telah berorientasi jauh ke depan, kalau istilah sekarang mempersiapkan diri sebagai negara yang modern, kuat, dan tangguh.
4. Wilayah Nusantara Raya
Yang menarik dipertanyakan adalah bagaimana cara menafsirkan wilayah-wilayah negeri yang disebut dalam Serat Pararaton dan Nagarakretagama. Pertanyaan ini muncul karena wilayah-wilayah yang disebut oleh Sumpah Palapa (dalam Serat Pararaton) hanya berjumlah 10 (sepuluh) sedangkan yang disebut dalam Nagarakretagama sangat banyak sampai berjumlah 90 (terdiri dari kawasan Melayu: 23, kawasan Kalimantan: 22, kawasan Hujung Medini: 14, kawasan timur Jawa: 16, dan kawasan timur lainnya: 15; ini belum termasuk kawasan yang terdiri dari pulau-pulau lainnya).
Ada dua negeri, yaitu Gurun dan Sunda, disebut dalam Serat Pararaton tetapi tidak disebut di dalam Nagarakretagama yang memuat 90 wilayah negeri itu. Sebaliknya, banyak wilayah-wilayah negeri yang disebut di dalam Nagarakretagama yang berjumlah 90 negeri itu, tetapi tidak disebut di dalam Sumpah Palapa. Bagaimana menafsirkan kenyataan teks ini?
Serat Pararaton ditulis sesudah Nagarakretagama, yaitu tahun 1613 M. dalam arti semua wilayah Nusantara telah berada di dalam naungan dan wibawa Majapahit, namun tinggal hanya 10 (sepuluh) wilayah negeri saja yang belum masuk ke dalam naungan dan wibawa Majapahit. Kalau begitu mungkinkah dapat diatafsirkan bahwa wilayah negeri yang 10 (sepuluh) itu, merupakan negeri-negeri yang masih harus dipersatukan ke dalam Nusantara raya ? Artinya ke semua wilayah negeri sudah masuk ke dalam Nusantara sedang wilayah negeri yang berjumlah 10 (sepuluh) itu memang perlu dinyatakan secara eksplisit dalam Sumpah Palapa, sebagai wilayah negeri yang masih harus diperjuangkan supaya masuk ke Nusantara di bawah naungan dan wibawa Majapahit.
Dari sini dapat ditafsirkan bahwa masyarakat pembaca sudah mengetahui wilayah-wilayah negeri Nusantara, namun bagi Gajah Mada belum puas rasanya kalau ke 10 (sepuluh) negeri tersebut belum masuk secara integratif ke dalam wilayah Nusantara Raya. Oleh sebab itu Gajah Mada perlu mengeksplisitkan ke 10 (sepuluh) wilayah negeri tersebut ke dalam sumpahnya yang terkenal itu. Dengan kata lain, terjadinya Sumpah Palapa disebabkan karena ke 10 (sepuluh) wilayah negeri tersebut dipandang masih belum sepenuhnya masuk berintegrasi ke dalam wilayah kawasan Nusantara Raya.
Tafsir lain adalah bahwa wilayah-wilayah negeri seperti Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik adalah sekadar contoh saja (sample) dalam Sumpah Palapa untuk mewakili wilayah negeri Nusantara. Tidak seluruh wilayah negeri Nusantara disebut, mengingat terlampau banyak, sehingga terlampau panjang kalau diformat ke dalam sebuah sumpah seperti Palapa.
Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ketika Sumpah Palapa dicanangkan oleh Patih Gajah Mada ketika itu, Majapahit telah memiliki wilayah negeri Nusantara yang luas, yaitu berjumlah 90 negeri, akan tetapi tinggal 10 (sepuluh) wilayah negeri yang belum masuk ke dalam naungan wibawa Majapahit. Oleh sebab itu wajar apabila Patih Amangkubhumi Gajah Mada mendeklarasikan Sumpah Palapanya yang intinya ia tidak akan berbuka puasa, apabila ke 10 (sepuluh) wilayah negeri tersebut belum masuk secara integratif ke dalam Nusantara Raya.
Jangan dikira bahwa ketika Sumpah Palapa dicanangkan tidak ada tantangan dari orang-orang sekitarnya. Perhatikan kalimat berikutnya, seperti dikutip dari teks Serat Pararaton (Brandes, 1897 : 36, dst.):
Sira sang mantri samalungguh ring panangkilan pepek. Sira Kembar apameleh, ring sira Gajah mada, anuli ingumanuman, sira Banyak kang amuluhi milu apameleh, sira Jabung Terewes, sira Lembu Peteng gumuyu. Tumurun sira Gajah mada matur ing talampakan bhatara ring Koripan, runtik sira katadahan kabuluhan denira arya Tadah. Akweh dosanira Kembar, sira Warak ingilangaken, tan ucapen sira Kembar, sami mati.
Terjemahannya adalah:
Mereka para menteri duduk di paseban lengkap. Ia (bernama) Kembar mengemukakan hal-hal tidak baik kepada Gajah Mada, kemudian ia (Gajah Mada) dimaki-maki, Banyak yang menjadi penengah (malah ikut) menyampaikan hal-hal yang tidak baik, Jabung Tarewes mengomel, sedang Lembu Peteng tertawa. Turunlah Gajah Mada dan menghaturkan kata-kata di telapak Bathara Koripan (Kahuripan), marah dia mendapatkan celaan dari Arya Tadah. Banyak dosa Kembar, Warak dilenyapkan, demikian pula Kembar, mereka semua mati.
Kutipan tersebut di atas, menengarai bahwa perjuangan mulai Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara Raya mengalami tantangan, gangguan, dan hambatan, tidak berbeda dengan perjuangan Bung Karno untuk mempersatukan bangsa Indonesia, ternyata mendapatkan rintangan dari DI/TII, Kartosoewiryo, dan gerakan PRRI dan Permesta Qahhar Mudzakkar.
III. HIKMAH SUMPAH PALAPA
1. Apakah Sumpah?
Arti kata sumpah menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) halaman 973 (diambil seperlunya) adalah: 1. Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dsb.); 2 pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar; 3 janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu).
Ketiga pengertian tersebut di atas, baik secara sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan dapat dipakai dalam konteks pengertian Sumpah Palapa. Pengertian tersebut berdimensi spiritual artinya tidak main-main. Oleh sebab itu, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Sumpah Palapa itu sakral.
Dalam perspektif sejarah Indonesia perjalanan Sumpah Palapa hingga sekarang boleh dikatakan tidak mulus. Sesudah Majapahit tidak berfungsi secara optimal perjalanan sejarah berikutnya sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dipernuhi dengan periode-periode sejarah yang tidak terpuji, seperti periode-periode Demak, Pajang, Mataram, dan pecahnya Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, di mana dalam periode-periode tersebut disibuki oleh konfrontasi budaya antara kaum tradisionalis yang diwakili oleh sisa-sisa kekuatan Majapahit dengan kaum pembaharu yang diwakili oleh kalangan Demak yang bernafaskan Islam, sementara itu dipercundangi oleh masuknya kekuatan VOC yang kemudian berubah menjadi penjajah. Tidak hanya itu, di kalangan intern Yogya dan Solo terjadi peperangan yang kompleks, berupa perebutan kekuasaan di antara intern kalangan keraton ditambah dengan campur tangannya Belanda untuk memecah belah dengan politik devide et impera-nya.
Tidak ayal lagi kalangan kerajaan-kerajaan Jawa tidak memiliki waktu yang baik untuk mengaktualisasikan Sumpah Palapa Gajah Mada. Kalau dari kalangan bangsa Jawa sendiri tidak sempat memelihara Sumpah Palapa apalagi kalangan di luar Jawa (seberang Jawa)?
Pada waktu Proklamasi 17 Agustus 1945 didengungkan oleh Soekarno-Hatta, baru kebutuhan akan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia tampil mengemuka. Sejak waktu itu, lebih-lebih sekarang di mana terjadi salah penafsiran terhadap demokrasi beserta kebebasannya, Sumpah Palapa dirasakan eksistensi dan perannya untuk menjaga kesinambungan sejarah bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Seandainya tidak ada Sumpah Palapa, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) akan dikoyak-koyak sendiri oleh suku-suku bangsa Nusantara yang merasa dirinya bisa memisahkan diri dengan pemahaman federalisme dan otonomi daerah yang berlebihan. Gagasan-gagasan memisahkan diri sungguh merupakan gagasan dari orang-orang yang tidak tahu diri dan tidak mengerti sejarah bangsanya, bahkan tidak tahu tentang “jantraning alam” (putaran jaman) Indonesia.
2. Hikmah Penjajahan
Ketika VOC pertama kali menginjakkan kakinya ke Batavia (Jayakarta) dalam tahun 1602, maka sejak itu praktis Belanda dianggap telah menjajah Indonesia. Pada waktu itu bangsa Nusantara, khususnya bangsa-bangsa yang tinggal di Jawa, tidak sanggup dan tidak mampu untuk mengusir sang penjajah. Secara teoritis, hal tersebut disebabkan karena tidak ada kesatuan dan persatuan di antara bangsa-bangsa di Nusantara, terutama sejak Majapahit sudah tidak berkibar lagi.
Betapa pun alasannya bangsa-bangsa di Nusantara tidak berdaya, lemah, sakit, atau apa pun istilahnya, yang penting Belanda menjadi mudah melakukan kolonisasinya. Akibat dari penjajahan Belanda, bangsa-bangsa di Nusantara berada di telapak kakinya sang penjajah, yang mengakibatkan kekayaan alam Nusantara, seperti rempah-rempah (lada, cengkeh, pala, kapulogo, kemukus, ketumbar, cabai, lempuyang, dll.) dikuras habis oleh Belanda, diusung dan dijual ke Eropa. Belanda menjadi kaya. Kekayaan ini belum terhitung dengan hasil budi-daya tanaman tebu, teh, kopi, coklat, karet, kelapa, dll. yang banyak mendatangkan gulden. Tentang hasil tambang dan kekayaan lain seperti emas, sayangnya tidak ada catatan yang akurat berapa banyak yang diangkut ke Belanda. Dari deretan hasil bumi yang diangkut ke Belanda, jangan lupa banyak sekali kekayaan rohaniah berupa naskah-naskah kuno yang diangkut ke negeri Belanda. Khusus tentang naskah-naskah kuno, untungnya di sana dipelihara rapi, sehingga tidak rusak.
Waktu berputar, nasib berjalan seperti “cokro manggilingan”. Bangsa Indonesia yang tadinya berada di bawah karena ditindas oleh Belanda, berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan naik ke atas, yang berhasil mencapai puncaknya setelah ada seorang pahlawan pemberani bernama Bung Karno yang diberkahi Tuhan untuk membebaskan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka pada 17 Agustus 1945. Sesuatu yang mengejutkan dan di luar dugaan! Dari kehirukpikukan, berhasil penjajah tersebut dijungkirbalikkan bertekuk lutut di bawah kesatuan dan persatuan rakyat Indonesia, yang akhirnya dalam tempo yang singkat yang waktunya bersamaan dengan masuknya Jepang menguasai Indonesia selama tiga setengah tahun, Belanda berhasil diusir dan hengkang dari bumi Indonesia.
Hikmah yang dipetik dari revolusi rakyat Indonesia adalah bahwa seluruh jajahan Belanda, yang biasa disebut dengan istilah Hindia Belanda (Nederlands oost Indie) langsung menjadi milik resmi bangsa Indonesia. Irian Barat yang semula dikukuhkan sebagai tanah jajahan Belanda, pada akhirnya lepas kembali masuk ke pangkuan Ibu Pertiwi, walaupun melalui diplomasi dan perang yang cukup seru.
Di sinilah letaknya hikmah penjajahan Belanda atas Nusantara. Seandainya Nusantara dipecah-pecah menjadi jajahan bangsa-bangsa Eropa–sebut saja misalnya Belanda, Inggris, Portugal, Jerman, Perancis, dan lain-lain–maka bisa dibayangkan: Nusantara tidak akan penuh diterima seperti sekarang ini, tetapi masih akan terbelah-belah atau terpecah-pecah menjadi wilayah-wilayah jajahan dari bangsa-bangsa Eropa tersebut.
Jika dilihat dari Sumpah Palapa, wilayah Nusantara yang dikuasai oleh rakyat dan bangsa Indonesia sudah mendekati luasnya dengan wilayah negeri Nusantara yang disebut oleh Sumpah Palapa. Masih ada kurangnya, seperti Malaysia, Singapur, dan Brunei, hal mana disebabkan wilayah-wilayah tersebut sudah pernah menjadi jajahan Inggris. Demikian juga wilayah Timor Timur yang tempo hari menjadi jajahan Portugis, yang sejak tahun 1976 berhasil berintegrasi dengan Indonesia, tetapi kemudian dalam tahun 1999, kita dibengongkan oleh kebijakan yang keliru dari Presiden B.J. Habibie yang kurang waspada menyerahkan begitu saja Timor Timur kepada konspirasi internasional (yang sesungguhnya merupakan persekutuan Amerika Serikat, Australia, dll.). Dengan berlindung di bawah panji-panji PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), Timor Timur diberikan Indonesia dengan mudahnya kepada Presiden Timor Timur Xanana Gusmao dengan atas nama kemerdekaan. Siapa di belakang Xanana Gusmao, semua orang tahu.
3. Hikmah Sumpah Palapa
Sekarang makin terasa bahwa Sumpah Palapa yang dideklarasikan oleh Gajah Mada sungguh sangat sakti, suci, dan membawa berkah bagi kita rakyat dan bangsa Indonesia. Sakti, karena secara gaib nama Nusantara masih bisa dipakai sebagai tali pengikat di antara bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara. Padahal, arti Nusantara yang sesungguhnya adalah pulau-pulau lain di luar Jawa (nusa berarti pulau, antara berarti lainnya). Suci dalam arti sumpah tersebut benar-benar diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa, artinya sumpah tersebut diberi kekuatan oleh Tuhan, berupa kekuatan persatuan dan kesatuan. Secara spiritual Nusantara harus diterima sebagai karunia Tuhan, yang walau pun di antara pulau-pulau terpisah satu sama lainnya oleh lautan, namun rasa kesatuan dan persatuan tetap terbentuk secara utuh menyeluruh.
Oleh sebab itu, Nusantara harus dipandang sebagai kumpulan kepulauan yang utuh menyeluruh, yang secara gaib dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia-manusia yang berketuhanan YME walau pun berbeda-beda suku, agama, dan kepercayaannya. Ia membawa berkah bermakna: tidak ada seorang pun yang rela kalau Nusantara dirobek-robek oleh penghuninya sendiri, kecuali oleh orang-orang yang tidak mengerti, yaitu orang-orang yang tidak berketuhanan.
4. Masa depan Sumpah Palapa
Bagaimana masa depan Sumpah Palapa? Bagi orang yang mengerti, Sumpah Palapa itu tidak hanya sakti, suci, dan membawa berkah, tetapi juga–dan ini justru yang teramat penting--mengandung amanat bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia untuk memelihara, mengembangkan, dan melestarikannya. Bukankah kalau direnungkan secara Ketuhanan, masing-masing bangsa membawa misi hidupnya ?
India misalnya, yang umumnya dianggap sebagai ibu budaya, adalah bangsa yang menerima misi Tuhan untuk menyadarkan manusia-manusia di dunia agar tahu tentang hakikat hidup dan tugas manusia hidup di dunia nyata dan di dunia akhir. Hidup di dunia nyata dianggapnya merupakan katarsis (penyucian diri) sebagai bekal untuk meningkatkan diri dalam hidup berikutnya, supaya tidak terbawa oleh putaran reinkarnasi (hidup kembali), dalam dunia nyata. Orang-orang Barat, seperti Eropa dan Amerika Serikat diberi misi untuk mencerdaskan pikiran (rasio), berupa misalnya kemampuan menciptakan produk-produk iptek, seperti mesin-mesin pembuatan kapal-kapal (darat, udara dan lautan), mobil, telefon, komputer, HP, dsb. Cina misalnya bangsa yang dianugerahi misi untuk mengembangkan perdagangan. Contoh-contoh lain tentang misi sesuatu bangsa bisa diperbanyak, asal kita cermat mengamatinya.
Bagaimana halnya dengan misi Nusantara? Secara umum bangsa Indonesia yang majemuk itu sesungguhnya memiliki misi yang sama, karena bangsa-bangsa Nusantara hidup di atas platform (landasan dasar) yang sama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Wujudnya mereka hidup menggunakan jalan agama dan/atau jalan kebudayaan atau kedua-duanya, yang bersumber dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena Tuhan Yang Maha Esa itu memunyai sifat hanya satu, yaitu yang baik-baik maka barang siapa memiliki sifat satu, ia di dalam dirinya bersemayam sifat Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebaliknya, akibat seseorang di dalam rohaninya tidak bersemayam Ketuhanan Yang Maha Esa, seseorang akan mengeluh, marah, ngrasani (membicarakah keburukan orang), menghujat, merampok, merampas, mengebom, membunuh, dsb.
Oleh karena rakyat dan bangsa Indonesia sudah dikaruniai fitrah yang sangat luhur, kenapa fitrah seperti itu tidak diaktualisasikan dan dikembangkan sebagai misi hidup manusia Indonesia? Sacara rasional, spiritual, dan imajinatif misi hidup orang, komunitas, masyarakat, rakyat, dan bangsa Indonesia sesungguhnya sudah ada, terungkap dari dalam jati diri dan kepribadiannya masing-masing yang kalau dirumuskan secara plastis, berbunyi sebagai berikut: “memayu hayuning bawono” (mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia).
Jadi setiap orang Indonesia bahkan juga setiap orang di dunia wajib merealisasikan misi tersebut. Pendek kata, bukan orang namanya kalau ia tidak memiliki kebiasaan untuk memberi, menyumbangkan, dan/atau melayani keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia.
Dalam proyeksi Sumpah Palapa posisi memayu hayuning bawono sangat strategis, karena tanpa diberi enerji Ketuhanan Yang Maha Esa dan memayu hayuning bawono niscaya Sumpah Palapa tidak sakti, suci, dan membawa berkah, yang gejalanya dapat dirasakan beberapa waktu yang lalu dengan munculnya aspirasi-aspirasi yang ingin membelot ataupun memisahkan diri dari NKRI. Mereka yang tidak mengerti sesungguhnya hanya tiru-tiru situasi luar negeri, ingin berdiri sendiri seperti Uni Soviet, dan Yugoslavia yang terpecah-pecah ke negara-negara kecil. Atau NKRI akan dirongrong oleh sejumlah orang yang ingin menyalurkan ambisi memisahkan diri, sesuatu yang rendah dan sempit itu? Mudah-mudahan kita sebagai sesama orang Indonesia yang menjunjung tinggi Sumpah Palapa akan semakin sadar dalam kerukunan, solidaritas, serta kesatuan dan persatuan NKRI yang bersumber dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
* Makalah ini disajikan untuk “Seminar Naskah Kuno Nusantara dengan tema Nsakah Kuno sebagai perekat NKRI”, diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada Hari Selasa 12 Okotber 2004 di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya 18, Jakarta Pusat.
Sumber tulisan: http://digilib.pnri.go.id
I. PENDAHULUAN
1. Naskah Kuno Sebagai Sumber Pencerahan dalam Krisis Multi Dimensi
Seminar ini yang diselenggarakan oleh PNRI (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia) mempunyai peran ganda. Peran pertama PNRI, mengangkat tema "Naskah Kuno sebagai Perekat NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)" tepat, justru dalam situasi dan kondisi bangsa Indonesia yang masih carut-marut. Dengan tema ini masyarakat dan pemerintah tentu berharap, sejauh mana sebuah naskah sebut saja misalnya Serat Pararaton mampu memberi inspirasi dan menggugah kesadaran sejarah untuk melanjutkan perjalanan NKRI. Tidak usah diperpanjang bahwa kini waktunya bagi semua orang dan pihak untuk memberikan sumbangsih pemikiran bagi kokohnya NKRI.
Situasi global, di mana batas-batas geografis sudah menjadi semu oleh sistem komunikasi dan informasi yang semakin canggih, menjadikan Indonesia berada dalam pelbagai macam ketegangan, antara lain sanggup dan mampukah pemerintah dan Negara Republik Indonesia mengantisipasi dan mengelola jaringan-jaringan dan konspirasi internasional yang pada akhirnya Indonesia menjadi sasaran makanan bagi bangsa dan negara asing. Bahwa Indonesia dijadikan bancakan bagi kepentingan-kepentingan asing sebenarnya sudah lama terasa lewat, misalnya penyebar luasan narkoba, VCD porno, masuknya produk-produk iptek baru, pemikiran-pemikiran baru, campur tangan asing terhadap rekayasa kepemimpinan Indonesia yang kalau tidak bisa dibenahi, Indonesia menempatkan diri atau ditempatkan oleh pihak asing sebagai bangsa yang berada dalam kebergantungan dalam semua hal. Apalah artinya kekayaan alam yang melimpah ruah, kalau dalam sekejap bisa habis binasa dibom? Apalah artinya SDM (sumbar daya manusia) yang berjumlah banyak kalau tidak diberdayakan untuk meluhurkan NKRI, niscaya tinggal sedikit dan terbanyak mati sia-sia terkena ledakan-ledakan bom atau terkena dampak narkoba dan VCD porno.
Hanya dengan kekuatan Ketuhanan Yang Maha Esa yang bersemayam pada manusia-manusia Indonesia yang mengerti, Indonesia akan terhindar dari calon giliran sasaran tembak kekuatan-kekuatan asing yang berbahaya itu. Dalam rangka mencari pencerahan inilah kita perlu merenung melalui naskah-naskah kuno yang mampu menjadi perekat atau semen bagi bangsa-bangsa di Nusantara.
Di zaman Majapahit perekat bangsa-bangsa di Nusantara sudah ada, yaitu berupa Sumpah Palapa, sebuah sumpah yang diucapkan oleh Gajah Mada ketika ia mendapatkan kehormatan diwisuda menjadi Patih Amangkubhumi, tahun 1336 Masehi (Slamet Mulyana, 1965 : 188). Sumpah Palapa intinya adalah mengusahakan kesatuan dan persatuan Nusantara. Bahasa sekarang: NKRI.
Menghayati proyeksi seperti tersebut di atas, maka peran kedua dari PNRI dalam pembangunan NKRI adalah sungguh sangat strategis dan sangat penting. Ia tidak hanya berperan sebagai lembaga penyimpan naskah-naskah kuno saja, akan tetapi lebih dari itu yaitu sebagai aset bangsa wajib dan harus mengkaji dan menyebarluaskan nilai-nilai luhur Nusantara dan sejarah Nusantara/Indonesia yang banyak bolong-bolong dan
banyak pula mata rantai yang hilang (missing link) untuk disumbangkan bagi keluhuran dan kejayaan NKRI.
2. Pararaton dan Nagarakretagama
Seminar dengan tema "Naskah Kuno sebagai Perekat NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)", menempatkan kitab Pararaton –ditulis dalam tahun 1613M (Padmapuspita, 1966 : 91)--dan Nagarakretagama –ditulis dalam tahun 1365 M (Slamet Mulyana 1979 : 9)--ke posisi sentral yang terhormat dan mulia, sebab naskah Pararaton menyebut di dalamnya Sumpah Palapa yang terkenal itu, sedangkan Nagarakretagama memuat wilayah negeri yang masuk dalam kekuasaan dan wibawa Majapahit.
Sumpah Palapa yang dicanangkan oleh Gajah Mada dilakukan ketika Gajah Mada dilantik sebagai Patih Amangkubhumi kerajaan besar Majapahit, pada tahun Saka 1258, atau tahun Masehi 1336 (Slamet Mulyana, 1965 : 188).
Jadi penting Pararaton dibicarakan disini, karena ia memuat Sumpah Palapa. Sedang pentingnya Sumpah Palapa karena di dalamnya terdapat pernyataan suci yang diucapkan oleh Gajah Mada yang berisi ungkapan “lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa” (kalau telah menguasai Nusantara, saya melepaskan puasa/tirakatnya).
II. MAKNA SUMPAH PALAPA
1. Bunyi Sumpah Palapa
Naskah Nusantara yang mendukung cita-cita tersebut di atas adalah Serat Pararaton. Kitab tersebut memunyai peran yang strategis, karena di dalamnya terdapat teks Sumpah Palapa. Kata "sumpah" itu sendiri tidak terdapat di dalam kitab Pararaton, hanya secara tradisional dan konvensional para ahli Jawa Kuno menyebutnya sebagai Sumpah Palapa. Bunyi selengkapnya teks Sumpah Palapa menurut Pararaton edisi Brandes (1897 : 36) adalah sebagai berikut :
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa."
Terjemahannya adalah:
Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa (nya). Beliau Gajah Mada: “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru) melepaskan puasa, jika (berhasil) mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru) melepaskan puasa (saya).”
2. Pemahaman Intertekstual
Kalau kita membaca kutipan Serat Pararaton sebagaimana tersebut di atas, timbul pertanyaan: Kalau begitu, apakah wilayah-wilayah yang dipersatukan oleh Sumpah Palapa Gajah Mada hanya meliputi sepuluh negeri? Tidak sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Kalau kita menggunakan metode intertekstual, yaitu dengan bantuan menggunakan kitab Nagarakretagama sebagai penunjang, maka kita akan tahu wilayah-wilayah mana yang sesungguhnya berada di dalam naungan Majapahit. Pupuh XIII, XIV, dan XV dari kitab Nagarakretagama (Slamet Mulyana, 1979 : 279 – 280) menginformasikan secara teperinci wilayah-wilayah yang menjadi negara bawahan Majapahit, yaitu meliputi:
-- Kawasan Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya, Kandis, Kahwa, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Temihang, Perlak, Padang, Lwas, Samodra, Lamuri, Batan, Lampung, Barus.
-- Kawasan Kalimantan meliputi: Tanjung Negara, Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landa Samadang, Tirem, Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei, Malano, Tanjung Pura.
-- Kawasan Hujung Medini meliputi: Pahang, Langkasuka, Saimwang, Kelantan, Trengganu, Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah, Jerai, Kanjapiniran.
-- Kawasan timur Jawa meliputi: Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwang, Pulau Sapi, Dompo, Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali, Pulau Gurun (Lombok Merah), Sasak, Bantayan (Kota Luwuk), Udamakatraya, dan pulau-pulau lainnya.
-- Kawasan timur lainnya meliputi: Makassar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Selayar, Sumba, Solot, Muar, Wanda (n), Ambon, Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa pulau-pulau lainnya.
Catatan:
Tentang Pulau Madura, tidak dipandang negara asing, karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu. Konon sejak tahun Saka lautan menantang bumi, saat itu Jawa dan Madura terpisah meski pun tidak sangat jauh.
Di samping itu, Nagarakretagama menginformasikan pula persahabatan Majapahit dengan Siam, Ayudyapura, Darma nagari, Marutma, Rajapura, Singanagari, Campa, Kamboja, dan Yawana (pupuh XV, bait 1).
3. Kajian Komunikatif
Sebuah ungkapan apalagi sebuah sumpah kalau dikaji benar-benar menawarkan bentuk, isi, nilai, ideologi, dan enerji.
Dari sisi bentuk Sumpah Palapa adalah prosa, sedangkan isinya mengandung pernyataan suci kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diucapkan oleh Gajah Mada di hadapan ratu Majapahit Tribuwana Tunggadewi dengan disaksikan oleh para menteri dan pejabat-pejabat lainnya, yang substansinya: Gajah Mada baru mau melepaskan (menghentikan) puasanya apabila telah terkuasai Nusantara. Sayangnya tidak diterangkan di dalam teks tersebut tentang jenis puasa dan berapa lama pelaksanaan puasanya itu (keterangan tentang terjemahan amukti palapa, lihat Budya Pradipta, 2003).
Dari sisi nilai, Sumpah Palapa mengandung pelbagai nilai: nilai kesatuan dan persatuan wilayah Nusantara, nilai historis, nilai keberanian, nilai percaya diri, nilai rasa memiliki kerajaan Majapahit yang besar dan berwibawa, nilai geopolitik, nilai sosial budaya, nilai filsafat, dsb.
Dari sisi ideologi, Sumpah Palapa yang juga dikenal sebagai Sumpah Gajah Mada atau Sumpah Nusantara, memiliki ideologi ke-bhineka-tunggal-ika-an. Artinya: menuju pada ketunggalan keyakinan, ketunggalan ide, ketunggalan senasib dan sepenanggungan, dan ketunggalan ideologi akan tetapi tetap diberi ruang gerak kemerdekaan budaya bagi wilayah-wilayah negeri se-Nusantara dalam mengembangkan kebahagiaan dan kesejahteraannya masing-masing.
Dari sisi enerji Sumpah Palapa dianugerahi enerji Ketuhanan Yang Maha Dasyat karena tanpa enerji tersebut tak mungkin Gajah Mada berani mencanangkan sumpah tersebut. Sumpah Palapa akan menjadi sangat menarik lagi apabila dikaji dengan pendekatan komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan seperti: kepada siapa Sumpah Palapa diucapkan, dalam lingkungan apa (situasi, kondisi, iklim, dan suasana) Sumpah Palapa dicanangkan, dengan sasaran apa dan siapa Sumpah Palapa dideklarasikan, mengapa atau apa perlunya Gajah Mada mengumumkan Sumpah Palapa, dan manfaat apa yang mau dicapai adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab secara seksama.
Betapa pun Sumpah Gajah Mada itu kontekstual. Tidak semua pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab di sini, namun pertanyaan manfaat apa yang mau dicapai, kiranya perlu dijawab sekarang dengan lebih cermat. Menurut pemahaman saya, Gajah Mada memunyai kesadaran penuh tentang kenegaraan dan batas-batas wilayah kerajaan Majapahit, mengingat Nusantara berada sebagai negara kepulauan yang diapit oleh dua samudra besar yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, di samping diapit-apit oleh lautan Cina Selatan dan Lautan Indonesia (Segoro Kidul). Dari kesadaran yang tinggi terhadap keberadaan Nusantara, Gajah Mada meletakkan dasar-dasar negara yang kokoh, sebagaimana terungkap dalam perundang-undangan Majapahit (Slamet Mulyana, 1965 : 56 - 70; 1979 : 182 – 213).
Uraian singkat tersebut dimaksudkan untuk memberi gambaran bahwa kerajaan Majapahit khususnya ketika berada dalam penguasaan Gajah Mada telah berorientasi jauh ke depan, kalau istilah sekarang mempersiapkan diri sebagai negara yang modern, kuat, dan tangguh.
4. Wilayah Nusantara Raya
Yang menarik dipertanyakan adalah bagaimana cara menafsirkan wilayah-wilayah negeri yang disebut dalam Serat Pararaton dan Nagarakretagama. Pertanyaan ini muncul karena wilayah-wilayah yang disebut oleh Sumpah Palapa (dalam Serat Pararaton) hanya berjumlah 10 (sepuluh) sedangkan yang disebut dalam Nagarakretagama sangat banyak sampai berjumlah 90 (terdiri dari kawasan Melayu: 23, kawasan Kalimantan: 22, kawasan Hujung Medini: 14, kawasan timur Jawa: 16, dan kawasan timur lainnya: 15; ini belum termasuk kawasan yang terdiri dari pulau-pulau lainnya).
Ada dua negeri, yaitu Gurun dan Sunda, disebut dalam Serat Pararaton tetapi tidak disebut di dalam Nagarakretagama yang memuat 90 wilayah negeri itu. Sebaliknya, banyak wilayah-wilayah negeri yang disebut di dalam Nagarakretagama yang berjumlah 90 negeri itu, tetapi tidak disebut di dalam Sumpah Palapa. Bagaimana menafsirkan kenyataan teks ini?
Serat Pararaton ditulis sesudah Nagarakretagama, yaitu tahun 1613 M. dalam arti semua wilayah Nusantara telah berada di dalam naungan dan wibawa Majapahit, namun tinggal hanya 10 (sepuluh) wilayah negeri saja yang belum masuk ke dalam naungan dan wibawa Majapahit. Kalau begitu mungkinkah dapat diatafsirkan bahwa wilayah negeri yang 10 (sepuluh) itu, merupakan negeri-negeri yang masih harus dipersatukan ke dalam Nusantara raya ? Artinya ke semua wilayah negeri sudah masuk ke dalam Nusantara sedang wilayah negeri yang berjumlah 10 (sepuluh) itu memang perlu dinyatakan secara eksplisit dalam Sumpah Palapa, sebagai wilayah negeri yang masih harus diperjuangkan supaya masuk ke Nusantara di bawah naungan dan wibawa Majapahit.
Dari sini dapat ditafsirkan bahwa masyarakat pembaca sudah mengetahui wilayah-wilayah negeri Nusantara, namun bagi Gajah Mada belum puas rasanya kalau ke 10 (sepuluh) negeri tersebut belum masuk secara integratif ke dalam wilayah Nusantara Raya. Oleh sebab itu Gajah Mada perlu mengeksplisitkan ke 10 (sepuluh) wilayah negeri tersebut ke dalam sumpahnya yang terkenal itu. Dengan kata lain, terjadinya Sumpah Palapa disebabkan karena ke 10 (sepuluh) wilayah negeri tersebut dipandang masih belum sepenuhnya masuk berintegrasi ke dalam wilayah kawasan Nusantara Raya.
Tafsir lain adalah bahwa wilayah-wilayah negeri seperti Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik adalah sekadar contoh saja (sample) dalam Sumpah Palapa untuk mewakili wilayah negeri Nusantara. Tidak seluruh wilayah negeri Nusantara disebut, mengingat terlampau banyak, sehingga terlampau panjang kalau diformat ke dalam sebuah sumpah seperti Palapa.
Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ketika Sumpah Palapa dicanangkan oleh Patih Gajah Mada ketika itu, Majapahit telah memiliki wilayah negeri Nusantara yang luas, yaitu berjumlah 90 negeri, akan tetapi tinggal 10 (sepuluh) wilayah negeri yang belum masuk ke dalam naungan wibawa Majapahit. Oleh sebab itu wajar apabila Patih Amangkubhumi Gajah Mada mendeklarasikan Sumpah Palapanya yang intinya ia tidak akan berbuka puasa, apabila ke 10 (sepuluh) wilayah negeri tersebut belum masuk secara integratif ke dalam Nusantara Raya.
Jangan dikira bahwa ketika Sumpah Palapa dicanangkan tidak ada tantangan dari orang-orang sekitarnya. Perhatikan kalimat berikutnya, seperti dikutip dari teks Serat Pararaton (Brandes, 1897 : 36, dst.):
Sira sang mantri samalungguh ring panangkilan pepek. Sira Kembar apameleh, ring sira Gajah mada, anuli ingumanuman, sira Banyak kang amuluhi milu apameleh, sira Jabung Terewes, sira Lembu Peteng gumuyu. Tumurun sira Gajah mada matur ing talampakan bhatara ring Koripan, runtik sira katadahan kabuluhan denira arya Tadah. Akweh dosanira Kembar, sira Warak ingilangaken, tan ucapen sira Kembar, sami mati.
Terjemahannya adalah:
Mereka para menteri duduk di paseban lengkap. Ia (bernama) Kembar mengemukakan hal-hal tidak baik kepada Gajah Mada, kemudian ia (Gajah Mada) dimaki-maki, Banyak yang menjadi penengah (malah ikut) menyampaikan hal-hal yang tidak baik, Jabung Tarewes mengomel, sedang Lembu Peteng tertawa. Turunlah Gajah Mada dan menghaturkan kata-kata di telapak Bathara Koripan (Kahuripan), marah dia mendapatkan celaan dari Arya Tadah. Banyak dosa Kembar, Warak dilenyapkan, demikian pula Kembar, mereka semua mati.
Kutipan tersebut di atas, menengarai bahwa perjuangan mulai Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara Raya mengalami tantangan, gangguan, dan hambatan, tidak berbeda dengan perjuangan Bung Karno untuk mempersatukan bangsa Indonesia, ternyata mendapatkan rintangan dari DI/TII, Kartosoewiryo, dan gerakan PRRI dan Permesta Qahhar Mudzakkar.
III. HIKMAH SUMPAH PALAPA
1. Apakah Sumpah?
Arti kata sumpah menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) halaman 973 (diambil seperlunya) adalah: 1. Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dsb.); 2 pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar; 3 janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu).
Ketiga pengertian tersebut di atas, baik secara sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan dapat dipakai dalam konteks pengertian Sumpah Palapa. Pengertian tersebut berdimensi spiritual artinya tidak main-main. Oleh sebab itu, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Sumpah Palapa itu sakral.
Dalam perspektif sejarah Indonesia perjalanan Sumpah Palapa hingga sekarang boleh dikatakan tidak mulus. Sesudah Majapahit tidak berfungsi secara optimal perjalanan sejarah berikutnya sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dipernuhi dengan periode-periode sejarah yang tidak terpuji, seperti periode-periode Demak, Pajang, Mataram, dan pecahnya Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta, di mana dalam periode-periode tersebut disibuki oleh konfrontasi budaya antara kaum tradisionalis yang diwakili oleh sisa-sisa kekuatan Majapahit dengan kaum pembaharu yang diwakili oleh kalangan Demak yang bernafaskan Islam, sementara itu dipercundangi oleh masuknya kekuatan VOC yang kemudian berubah menjadi penjajah. Tidak hanya itu, di kalangan intern Yogya dan Solo terjadi peperangan yang kompleks, berupa perebutan kekuasaan di antara intern kalangan keraton ditambah dengan campur tangannya Belanda untuk memecah belah dengan politik devide et impera-nya.
Tidak ayal lagi kalangan kerajaan-kerajaan Jawa tidak memiliki waktu yang baik untuk mengaktualisasikan Sumpah Palapa Gajah Mada. Kalau dari kalangan bangsa Jawa sendiri tidak sempat memelihara Sumpah Palapa apalagi kalangan di luar Jawa (seberang Jawa)?
Pada waktu Proklamasi 17 Agustus 1945 didengungkan oleh Soekarno-Hatta, baru kebutuhan akan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia tampil mengemuka. Sejak waktu itu, lebih-lebih sekarang di mana terjadi salah penafsiran terhadap demokrasi beserta kebebasannya, Sumpah Palapa dirasakan eksistensi dan perannya untuk menjaga kesinambungan sejarah bangsa Indonesia yang utuh dan menyeluruh. Seandainya tidak ada Sumpah Palapa, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) akan dikoyak-koyak sendiri oleh suku-suku bangsa Nusantara yang merasa dirinya bisa memisahkan diri dengan pemahaman federalisme dan otonomi daerah yang berlebihan. Gagasan-gagasan memisahkan diri sungguh merupakan gagasan dari orang-orang yang tidak tahu diri dan tidak mengerti sejarah bangsanya, bahkan tidak tahu tentang “jantraning alam” (putaran jaman) Indonesia.
2. Hikmah Penjajahan
Ketika VOC pertama kali menginjakkan kakinya ke Batavia (Jayakarta) dalam tahun 1602, maka sejak itu praktis Belanda dianggap telah menjajah Indonesia. Pada waktu itu bangsa Nusantara, khususnya bangsa-bangsa yang tinggal di Jawa, tidak sanggup dan tidak mampu untuk mengusir sang penjajah. Secara teoritis, hal tersebut disebabkan karena tidak ada kesatuan dan persatuan di antara bangsa-bangsa di Nusantara, terutama sejak Majapahit sudah tidak berkibar lagi.
Betapa pun alasannya bangsa-bangsa di Nusantara tidak berdaya, lemah, sakit, atau apa pun istilahnya, yang penting Belanda menjadi mudah melakukan kolonisasinya. Akibat dari penjajahan Belanda, bangsa-bangsa di Nusantara berada di telapak kakinya sang penjajah, yang mengakibatkan kekayaan alam Nusantara, seperti rempah-rempah (lada, cengkeh, pala, kapulogo, kemukus, ketumbar, cabai, lempuyang, dll.) dikuras habis oleh Belanda, diusung dan dijual ke Eropa. Belanda menjadi kaya. Kekayaan ini belum terhitung dengan hasil budi-daya tanaman tebu, teh, kopi, coklat, karet, kelapa, dll. yang banyak mendatangkan gulden. Tentang hasil tambang dan kekayaan lain seperti emas, sayangnya tidak ada catatan yang akurat berapa banyak yang diangkut ke Belanda. Dari deretan hasil bumi yang diangkut ke Belanda, jangan lupa banyak sekali kekayaan rohaniah berupa naskah-naskah kuno yang diangkut ke negeri Belanda. Khusus tentang naskah-naskah kuno, untungnya di sana dipelihara rapi, sehingga tidak rusak.
Waktu berputar, nasib berjalan seperti “cokro manggilingan”. Bangsa Indonesia yang tadinya berada di bawah karena ditindas oleh Belanda, berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan naik ke atas, yang berhasil mencapai puncaknya setelah ada seorang pahlawan pemberani bernama Bung Karno yang diberkahi Tuhan untuk membebaskan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka pada 17 Agustus 1945. Sesuatu yang mengejutkan dan di luar dugaan! Dari kehirukpikukan, berhasil penjajah tersebut dijungkirbalikkan bertekuk lutut di bawah kesatuan dan persatuan rakyat Indonesia, yang akhirnya dalam tempo yang singkat yang waktunya bersamaan dengan masuknya Jepang menguasai Indonesia selama tiga setengah tahun, Belanda berhasil diusir dan hengkang dari bumi Indonesia.
Hikmah yang dipetik dari revolusi rakyat Indonesia adalah bahwa seluruh jajahan Belanda, yang biasa disebut dengan istilah Hindia Belanda (Nederlands oost Indie) langsung menjadi milik resmi bangsa Indonesia. Irian Barat yang semula dikukuhkan sebagai tanah jajahan Belanda, pada akhirnya lepas kembali masuk ke pangkuan Ibu Pertiwi, walaupun melalui diplomasi dan perang yang cukup seru.
Di sinilah letaknya hikmah penjajahan Belanda atas Nusantara. Seandainya Nusantara dipecah-pecah menjadi jajahan bangsa-bangsa Eropa–sebut saja misalnya Belanda, Inggris, Portugal, Jerman, Perancis, dan lain-lain–maka bisa dibayangkan: Nusantara tidak akan penuh diterima seperti sekarang ini, tetapi masih akan terbelah-belah atau terpecah-pecah menjadi wilayah-wilayah jajahan dari bangsa-bangsa Eropa tersebut.
Jika dilihat dari Sumpah Palapa, wilayah Nusantara yang dikuasai oleh rakyat dan bangsa Indonesia sudah mendekati luasnya dengan wilayah negeri Nusantara yang disebut oleh Sumpah Palapa. Masih ada kurangnya, seperti Malaysia, Singapur, dan Brunei, hal mana disebabkan wilayah-wilayah tersebut sudah pernah menjadi jajahan Inggris. Demikian juga wilayah Timor Timur yang tempo hari menjadi jajahan Portugis, yang sejak tahun 1976 berhasil berintegrasi dengan Indonesia, tetapi kemudian dalam tahun 1999, kita dibengongkan oleh kebijakan yang keliru dari Presiden B.J. Habibie yang kurang waspada menyerahkan begitu saja Timor Timur kepada konspirasi internasional (yang sesungguhnya merupakan persekutuan Amerika Serikat, Australia, dll.). Dengan berlindung di bawah panji-panji PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), Timor Timur diberikan Indonesia dengan mudahnya kepada Presiden Timor Timur Xanana Gusmao dengan atas nama kemerdekaan. Siapa di belakang Xanana Gusmao, semua orang tahu.
3. Hikmah Sumpah Palapa
Sekarang makin terasa bahwa Sumpah Palapa yang dideklarasikan oleh Gajah Mada sungguh sangat sakti, suci, dan membawa berkah bagi kita rakyat dan bangsa Indonesia. Sakti, karena secara gaib nama Nusantara masih bisa dipakai sebagai tali pengikat di antara bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara. Padahal, arti Nusantara yang sesungguhnya adalah pulau-pulau lain di luar Jawa (nusa berarti pulau, antara berarti lainnya). Suci dalam arti sumpah tersebut benar-benar diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa, artinya sumpah tersebut diberi kekuatan oleh Tuhan, berupa kekuatan persatuan dan kesatuan. Secara spiritual Nusantara harus diterima sebagai karunia Tuhan, yang walau pun di antara pulau-pulau terpisah satu sama lainnya oleh lautan, namun rasa kesatuan dan persatuan tetap terbentuk secara utuh menyeluruh.
Oleh sebab itu, Nusantara harus dipandang sebagai kumpulan kepulauan yang utuh menyeluruh, yang secara gaib dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia-manusia yang berketuhanan YME walau pun berbeda-beda suku, agama, dan kepercayaannya. Ia membawa berkah bermakna: tidak ada seorang pun yang rela kalau Nusantara dirobek-robek oleh penghuninya sendiri, kecuali oleh orang-orang yang tidak mengerti, yaitu orang-orang yang tidak berketuhanan.
4. Masa depan Sumpah Palapa
Bagaimana masa depan Sumpah Palapa? Bagi orang yang mengerti, Sumpah Palapa itu tidak hanya sakti, suci, dan membawa berkah, tetapi juga–dan ini justru yang teramat penting--mengandung amanat bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia untuk memelihara, mengembangkan, dan melestarikannya. Bukankah kalau direnungkan secara Ketuhanan, masing-masing bangsa membawa misi hidupnya ?
India misalnya, yang umumnya dianggap sebagai ibu budaya, adalah bangsa yang menerima misi Tuhan untuk menyadarkan manusia-manusia di dunia agar tahu tentang hakikat hidup dan tugas manusia hidup di dunia nyata dan di dunia akhir. Hidup di dunia nyata dianggapnya merupakan katarsis (penyucian diri) sebagai bekal untuk meningkatkan diri dalam hidup berikutnya, supaya tidak terbawa oleh putaran reinkarnasi (hidup kembali), dalam dunia nyata. Orang-orang Barat, seperti Eropa dan Amerika Serikat diberi misi untuk mencerdaskan pikiran (rasio), berupa misalnya kemampuan menciptakan produk-produk iptek, seperti mesin-mesin pembuatan kapal-kapal (darat, udara dan lautan), mobil, telefon, komputer, HP, dsb. Cina misalnya bangsa yang dianugerahi misi untuk mengembangkan perdagangan. Contoh-contoh lain tentang misi sesuatu bangsa bisa diperbanyak, asal kita cermat mengamatinya.
Bagaimana halnya dengan misi Nusantara? Secara umum bangsa Indonesia yang majemuk itu sesungguhnya memiliki misi yang sama, karena bangsa-bangsa Nusantara hidup di atas platform (landasan dasar) yang sama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Wujudnya mereka hidup menggunakan jalan agama dan/atau jalan kebudayaan atau kedua-duanya, yang bersumber dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena Tuhan Yang Maha Esa itu memunyai sifat hanya satu, yaitu yang baik-baik maka barang siapa memiliki sifat satu, ia di dalam dirinya bersemayam sifat Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebaliknya, akibat seseorang di dalam rohaninya tidak bersemayam Ketuhanan Yang Maha Esa, seseorang akan mengeluh, marah, ngrasani (membicarakah keburukan orang), menghujat, merampok, merampas, mengebom, membunuh, dsb.
Oleh karena rakyat dan bangsa Indonesia sudah dikaruniai fitrah yang sangat luhur, kenapa fitrah seperti itu tidak diaktualisasikan dan dikembangkan sebagai misi hidup manusia Indonesia? Sacara rasional, spiritual, dan imajinatif misi hidup orang, komunitas, masyarakat, rakyat, dan bangsa Indonesia sesungguhnya sudah ada, terungkap dari dalam jati diri dan kepribadiannya masing-masing yang kalau dirumuskan secara plastis, berbunyi sebagai berikut: “memayu hayuning bawono” (mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia).
Jadi setiap orang Indonesia bahkan juga setiap orang di dunia wajib merealisasikan misi tersebut. Pendek kata, bukan orang namanya kalau ia tidak memiliki kebiasaan untuk memberi, menyumbangkan, dan/atau melayani keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia.
Dalam proyeksi Sumpah Palapa posisi memayu hayuning bawono sangat strategis, karena tanpa diberi enerji Ketuhanan Yang Maha Esa dan memayu hayuning bawono niscaya Sumpah Palapa tidak sakti, suci, dan membawa berkah, yang gejalanya dapat dirasakan beberapa waktu yang lalu dengan munculnya aspirasi-aspirasi yang ingin membelot ataupun memisahkan diri dari NKRI. Mereka yang tidak mengerti sesungguhnya hanya tiru-tiru situasi luar negeri, ingin berdiri sendiri seperti Uni Soviet, dan Yugoslavia yang terpecah-pecah ke negara-negara kecil. Atau NKRI akan dirongrong oleh sejumlah orang yang ingin menyalurkan ambisi memisahkan diri, sesuatu yang rendah dan sempit itu? Mudah-mudahan kita sebagai sesama orang Indonesia yang menjunjung tinggi Sumpah Palapa akan semakin sadar dalam kerukunan, solidaritas, serta kesatuan dan persatuan NKRI yang bersumber dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
* Makalah ini disajikan untuk “Seminar Naskah Kuno Nusantara dengan tema Nsakah Kuno sebagai perekat NKRI”, diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada Hari Selasa 12 Okotber 2004 di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jl. Salemba Raya 18, Jakarta Pusat.
Sumber tulisan: http://digilib.pnri.go.id