Oleh Ulrich Kozok
Ulrich Kozok ahli filologi—ilmu tentang teks dan bahasa kuno yang menekuni studi bahasa Batak dan Melayu. Ia dilahirkan di Hildesheim, Jerman, Ulrich Kozok, 26 Mei 1959, menguasai bermacam bahasa Batak: Karo, Angkola, Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Toba.
Uli--begitu panggilannya--kaya akan pengalaman akademis: tujuh tahun mengajar di Universitas Auckland, Selandia Baru; setahun di Universitas Sumatera Utara; dan kini menjadi dosen di Universitas Hawaii, Amerika Serikat. Ia pernah hadir dalam peluncuran Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Berikut petikan wawancara wartawan Tempo, Andari Karina Anom, dengan Uli.
Apa yang dibuktikan oleh penemuan naskah Melayu tertua ini?
Selama ini belum pernah ditemukan naskah Melayu pra-Islam. Naskah-Naskah yang berhasil ditemukan berasal dari zaman setelah masuknya Islam di Indonesia (sekitar abad ke-15 dan 16) sehingga banyak dipengaruhi bahasa Arab dan Persia. Bahasa Melayu bahkan kerap diidentikkan dengan Islam.
Penemuan naskah Tanjung Tanah ini membuktikan bahwa bahasa Melayu sudah ada jauh sebelum
Islam masuk ke Indonesia. Artinya, semua teori tentang sejarah aksara di Melayu perlu ditinjau kembali.
Berdasarkan literatur, masih ada kemungkinan ditemukan naskah sejenis yang lebih tua?
Kalau dalam waktu dekat, saya kira sulit karena ini adalah penemuan yang besar dan langka. Tapi tentu ada kemungkinan di kemudian hari muncul naskah yang lebih tua. Ini adalah sesuatu yang relatif, tidak absolut.
Sejauh pengetahuan kita hingga sekarang, ini memang yang tertua. Tapi bisa saja suatu ketika ditemukan naskah yang lebih tua, misalnya di sebuah rumah di Sumatera.
Dalam komunike bersama Indonesia, Malaysia, Brunei yang ditandatangani di Jakarta, pekan lalu, bahasa Melayu diusulkan sebagai salah satu bahasa utama dunia karena penggunaannya yang luas. Menurut Anda?
Bahasa Melayu memang termasuk salah satu dari sepuluh terbesar bahasa yang terbanyak digunakan di dunia. Tapi itu pun tergantung cara penghitungannya. Ada yang menghitung berdasarkan penutur asli. Tapi kadang-kadang ini pun rancu. Misalnya, apakah orang Jawa dikelompokkan sebagai penutur Melayu atau bukan.
Apa pandangan Anda tentang Malaysia yang kini tengah berupaya menjadi pusat kebudayaan Melayu, termasuk dengan mengangkut naskah-naskah kuno dari Indonesia?
Indonesia dan Malaysia pada hakikatnya merupakan negara-negara hasil bentukan para penjajah. Tak ada yang membedakan penduduk di Sumatera dan di Semenanjung Malaya kecuali pembagian wilayah berdasarkan perjanjian pihak penjajah Belanda dan Inggris. Jadi, boleh dikata pembentukan kedua negara itu sangat artifisial dan tidak punya landasan sejarah. Walaupun dalam pendidikan sejarah di Indonesia sering disebutkan bahwa Indonesia sudah ada sejak zaman Majapahit, namun itu tidak didukung fakta sejarah.
Kini penggunaan istilah Melayu menjadi sangat luas dan politis. Misalnya, dalam sebuah konferensi di Malaysia, ada sebuah naskah Melayu yang ditolak karena bukan berasal dari Malaysia. Padahal, satu hal yang tidak bisa disangkal adalah bahwa Kerajaan Melayu dulu berpusat di wilayah Indonesia, bukan Malaysia.
Memang ada teori yang menyatakan bahwa pusat Kerajaan Melayu sempat pindah ke Melaka. Namun, teori ini tidak didukung data yang akurat. Pembahasan soal pusat kebudayaan Melayu bisa jadi isu sejarah, bisa pula isu politik.
Bagaimana Anda melihat kemauan orang Indonesia melestarikan naskah kuno?
Kemauan sebenarnya ada. Namun yang terpenting adalah memberi pengetahuan kepada rakyat tentang konservasi naskah. Kadang-kadang mereka ingin berbuat yang terbaik, tapi malah sebaliknya. Di Kerinci, ada orang yang melindungi naskah kuno dengan cara dibungkus plastik supaya awet. Padahal itulah cara terbaik untuk menghancurkan naskah karena jadi mudah berjamur dan berlumut.
Apakah pemerintah Indonesia berperan dalam pelestarian naskah-naskah Melayu kuno?
Tekadnya ada. Setiap bicara, mereka selalu bilang bahwa ini penting dan harus dilakukan. Tapi pelaksanaannya tak ada.
Referensi
(http://www.korantempo.com)
Sumber tulisan: http://rafflesia.wwf.or.id
Ulrich Kozok ahli filologi—ilmu tentang teks dan bahasa kuno yang menekuni studi bahasa Batak dan Melayu. Ia dilahirkan di Hildesheim, Jerman, Ulrich Kozok, 26 Mei 1959, menguasai bermacam bahasa Batak: Karo, Angkola, Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Toba.
Uli--begitu panggilannya--kaya akan pengalaman akademis: tujuh tahun mengajar di Universitas Auckland, Selandia Baru; setahun di Universitas Sumatera Utara; dan kini menjadi dosen di Universitas Hawaii, Amerika Serikat. Ia pernah hadir dalam peluncuran Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Berikut petikan wawancara wartawan Tempo, Andari Karina Anom, dengan Uli.
Apa yang dibuktikan oleh penemuan naskah Melayu tertua ini?
Selama ini belum pernah ditemukan naskah Melayu pra-Islam. Naskah-Naskah yang berhasil ditemukan berasal dari zaman setelah masuknya Islam di Indonesia (sekitar abad ke-15 dan 16) sehingga banyak dipengaruhi bahasa Arab dan Persia. Bahasa Melayu bahkan kerap diidentikkan dengan Islam.
Penemuan naskah Tanjung Tanah ini membuktikan bahwa bahasa Melayu sudah ada jauh sebelum
Islam masuk ke Indonesia. Artinya, semua teori tentang sejarah aksara di Melayu perlu ditinjau kembali.
Berdasarkan literatur, masih ada kemungkinan ditemukan naskah sejenis yang lebih tua?
Kalau dalam waktu dekat, saya kira sulit karena ini adalah penemuan yang besar dan langka. Tapi tentu ada kemungkinan di kemudian hari muncul naskah yang lebih tua. Ini adalah sesuatu yang relatif, tidak absolut.
Sejauh pengetahuan kita hingga sekarang, ini memang yang tertua. Tapi bisa saja suatu ketika ditemukan naskah yang lebih tua, misalnya di sebuah rumah di Sumatera.
Dalam komunike bersama Indonesia, Malaysia, Brunei yang ditandatangani di Jakarta, pekan lalu, bahasa Melayu diusulkan sebagai salah satu bahasa utama dunia karena penggunaannya yang luas. Menurut Anda?
Bahasa Melayu memang termasuk salah satu dari sepuluh terbesar bahasa yang terbanyak digunakan di dunia. Tapi itu pun tergantung cara penghitungannya. Ada yang menghitung berdasarkan penutur asli. Tapi kadang-kadang ini pun rancu. Misalnya, apakah orang Jawa dikelompokkan sebagai penutur Melayu atau bukan.
Apa pandangan Anda tentang Malaysia yang kini tengah berupaya menjadi pusat kebudayaan Melayu, termasuk dengan mengangkut naskah-naskah kuno dari Indonesia?
Indonesia dan Malaysia pada hakikatnya merupakan negara-negara hasil bentukan para penjajah. Tak ada yang membedakan penduduk di Sumatera dan di Semenanjung Malaya kecuali pembagian wilayah berdasarkan perjanjian pihak penjajah Belanda dan Inggris. Jadi, boleh dikata pembentukan kedua negara itu sangat artifisial dan tidak punya landasan sejarah. Walaupun dalam pendidikan sejarah di Indonesia sering disebutkan bahwa Indonesia sudah ada sejak zaman Majapahit, namun itu tidak didukung fakta sejarah.
Kini penggunaan istilah Melayu menjadi sangat luas dan politis. Misalnya, dalam sebuah konferensi di Malaysia, ada sebuah naskah Melayu yang ditolak karena bukan berasal dari Malaysia. Padahal, satu hal yang tidak bisa disangkal adalah bahwa Kerajaan Melayu dulu berpusat di wilayah Indonesia, bukan Malaysia.
Memang ada teori yang menyatakan bahwa pusat Kerajaan Melayu sempat pindah ke Melaka. Namun, teori ini tidak didukung data yang akurat. Pembahasan soal pusat kebudayaan Melayu bisa jadi isu sejarah, bisa pula isu politik.
Bagaimana Anda melihat kemauan orang Indonesia melestarikan naskah kuno?
Kemauan sebenarnya ada. Namun yang terpenting adalah memberi pengetahuan kepada rakyat tentang konservasi naskah. Kadang-kadang mereka ingin berbuat yang terbaik, tapi malah sebaliknya. Di Kerinci, ada orang yang melindungi naskah kuno dengan cara dibungkus plastik supaya awet. Padahal itulah cara terbaik untuk menghancurkan naskah karena jadi mudah berjamur dan berlumut.
Apakah pemerintah Indonesia berperan dalam pelestarian naskah-naskah Melayu kuno?
Tekadnya ada. Setiap bicara, mereka selalu bilang bahwa ini penting dan harus dilakukan. Tapi pelaksanaannya tak ada.
Referensi
(http://www.korantempo.com)
Sumber tulisan: http://rafflesia.wwf.or.id