Oleh Dhoni Setiawan
Danau kecil atau oleh penduduk lokal disebut dengan situ menjadi sebuah pembuka saat para pelancong menapakkan kakinya di Situ Cangkuang. Bentangan danau yang ditumbuhi ratusan bunga teratai liar memagari pulau seberang seolah membawa pelancong memasuki gerbang surga keindahan alam yang diciptakan oleh Tuhan, surga yang langsung bisa dinikmati oleh mata telanjang manusia. Belum lagi udara pagi dengan lapisan kabut tipisnya menyapu bibir kawasan tersebut seolah mengerti apa yang dicari oleh pelancong.
Situ Cangkuang terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Berada di sebuah kawasan perbukitan kecil yang memiliki ketinggian 695-706 meter dpl serta berdiri di lembah seluas 16,5 ha yang berhawa sejuk. Situ yang di kelilingi gugusan gunung di empat penjuru mata anginnya seperti Gunung Mandalawangi, Gunung Kaledong, Gunung Halimun, Gunung Batara Guru, Gunung Guntur dan Gunung Cikuray menjadikan situ Cangkuang sebagai pemikat alam yang menawarkan keindahan yang luar biasa.
Mengunjungi Situ Cangkuang tidak hanya sekadar menikmati sajian alam yang menawan. Namun romantisme Hindu dan Islam yang pernah tergali dari situs candi yang ditemukan di tengah Situ Cangkuang. Candi bercorak Hindu ini ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka Candrasasmita berdasarkan atas laporan yang ditulis Vorderman dalam buku notulen Bataviaasch Genootshap (terbit tahun 1893). Dalam tulisan tersebut disinggung tentang temuan sebuah arca (Hindu) di sekitar situ dan sebuah makam keramat yang yakini sebagai Embah Dalem Arif Muhammad yang sangat dihormati oleh penduduk setempat.
Candi Cangkuang seperti yang terlihat sekarang ini, sebetulnya adalah hasil rekayasa rekonstruksi yang diresmikan pada tahun 1978. Sebab bangunan aslinya hanya tinggal 35 persenan, sedangkan bentuk bangunan Candi Cangkuang yang asli sebenarnya belum diketahui. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa dimana candi tersebut ditemukan. Sedangkan desa Cangkuang sendiri berasal dari nama pohon yang tumbuh subur di sekitar makam Embah Dalem Arif Muhammad, namanya pohon Cangkuang. Termasuk tanaman jenis pandan (Pandanus Furcatus), dahulu kala daunnya dapat dipergunakan untuk membuat tikar maupun untuk pembungkus gula aren.
Konon ceritanya Embah Dalem Arif Muhammad merupakan panglima perang dari kerajaan Mataram. Bersama prajuritnya mereka mencoba menyerang tentara VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur di Batavia sekarang Jakarta. Namun mengalami kekalahan, oleh karenanya Embah Dalem Arif Muhammad bersama pengikutnya merasa malu untuk pulang ke kerajaan Mataram. Dalam perlariannya mereka akhirnya memutuskan untuk menetap di kawasan Cangkuang yang waktu itu penuh dengan pemeluk kepercayaan animisme dan Hindu.
Bersama pengikutnya, Embah Dalem Arif Muhammad kemudian menyebarkan agama Islam dengan arif dan bijaksana. Embah Dalem Arif Muhammad kemudian menikahi seorang puteri cantik jelita yang tinggal di kawasan tersebut, namun puteri tersebut meminta satu syarat yang harus dipenuhi oleh sang calon suaminya. Membuatkan sebuah danau yang mengelilingi desanya. Dengan kekuatan yang dimiliki Embah Dalem Arif Muhammad akhirnya bisa mewujudkan. Mereka kemudian menikah dan dikaruniai enam anak perempuan. Keenam anaknya inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya kampung adat Pulo. Pemukiman warga yang hanya terdiri dari enam rumah dan berada tepat di belakang Candi Cangkuang.
Untuk mencapai ke situs Cangkuang, para pelancong akan segera disambut dengan rakit-rakit bambu yang siap mengantarkan hingga ke pulau seberang. Dengan membayar Rp 3.000, para pelancong akan merasakan sensasi gelombang air danau sepanjang 500 meter. Kalau beruntung para pelancong bisa melihat aktivitas warga yang menjaring ikan. Dengan keahliannya, mereka hilir mudik di atas rakit sambil menebar jala. Sekitar 10 menitan Anda sudah mencapai pulau tersebut. Dengan membayar Rp 2000 untuk restribusi masuk ke situs Candi Cangkuang dan Kampung adat Pulo. Anda bisa menelusuri kembali romantisme yang dulu terbangun antara Islam-Hindu.
Desa Cangkuang terletak disebelah utara Kabupaten Garut masuk Kecamatan Leles, tepatnya 16 km dari Garut atau 54 km dari Bandung. Untuk mencapai situs Cangkuang dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat. Dari Jalan Raya Bandung - Tasikmalaya, lebih kurang 9 km meninggalkan Bandung, tidak jauh dari turunan Nagrek akan menemukan persimpangan menuju Kabupaten Garut atau jantung kota Garut.
Setibanya di alun-alun Kecamatan Leles, ada sebuah papan petunjuk yang jelas dan mengarahkan para pelancong ke lokasi situs Cangkuang. Masuk ke dalam sejauh kurang lebih 3 km, kendaraan roda empat atau angkutan umum masih bisa melewati jalan ini. Para pelancong juga bisa memilih angkutan ojek, delman (angkutan tradisional yang ditarik dengan kuda) atau berjalan selama 30 menit sembari menikmati jajaran gunung Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur yang menjulang tinggi. Tidak lama kemudian pelancong segera disambut dengan gapura yang tidak terlalu besar yang menandakan Selamat Datang di situ Cangkuang.
Nah tidak ada salahnya bagi para pelancong untuk menyisipkan kegiatan liburan kali ini dengan mencoba menerobos keindahan Garut, dengan mengunjungi situ Cangkuang yang eksotis serta melihat tinggalan sejarah yang unik dengan menelusuri kembali romantisme Hindu-Islam di Candi Cangkuang serta kampung adat Pulo yang hanya memiliki enam rumah.
Sumber: http://travel.kompas.com
Danau kecil atau oleh penduduk lokal disebut dengan situ menjadi sebuah pembuka saat para pelancong menapakkan kakinya di Situ Cangkuang. Bentangan danau yang ditumbuhi ratusan bunga teratai liar memagari pulau seberang seolah membawa pelancong memasuki gerbang surga keindahan alam yang diciptakan oleh Tuhan, surga yang langsung bisa dinikmati oleh mata telanjang manusia. Belum lagi udara pagi dengan lapisan kabut tipisnya menyapu bibir kawasan tersebut seolah mengerti apa yang dicari oleh pelancong.
Situ Cangkuang terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Berada di sebuah kawasan perbukitan kecil yang memiliki ketinggian 695-706 meter dpl serta berdiri di lembah seluas 16,5 ha yang berhawa sejuk. Situ yang di kelilingi gugusan gunung di empat penjuru mata anginnya seperti Gunung Mandalawangi, Gunung Kaledong, Gunung Halimun, Gunung Batara Guru, Gunung Guntur dan Gunung Cikuray menjadikan situ Cangkuang sebagai pemikat alam yang menawarkan keindahan yang luar biasa.
Mengunjungi Situ Cangkuang tidak hanya sekadar menikmati sajian alam yang menawan. Namun romantisme Hindu dan Islam yang pernah tergali dari situs candi yang ditemukan di tengah Situ Cangkuang. Candi bercorak Hindu ini ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka Candrasasmita berdasarkan atas laporan yang ditulis Vorderman dalam buku notulen Bataviaasch Genootshap (terbit tahun 1893). Dalam tulisan tersebut disinggung tentang temuan sebuah arca (Hindu) di sekitar situ dan sebuah makam keramat yang yakini sebagai Embah Dalem Arif Muhammad yang sangat dihormati oleh penduduk setempat.
Candi Cangkuang seperti yang terlihat sekarang ini, sebetulnya adalah hasil rekayasa rekonstruksi yang diresmikan pada tahun 1978. Sebab bangunan aslinya hanya tinggal 35 persenan, sedangkan bentuk bangunan Candi Cangkuang yang asli sebenarnya belum diketahui. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa dimana candi tersebut ditemukan. Sedangkan desa Cangkuang sendiri berasal dari nama pohon yang tumbuh subur di sekitar makam Embah Dalem Arif Muhammad, namanya pohon Cangkuang. Termasuk tanaman jenis pandan (Pandanus Furcatus), dahulu kala daunnya dapat dipergunakan untuk membuat tikar maupun untuk pembungkus gula aren.
Konon ceritanya Embah Dalem Arif Muhammad merupakan panglima perang dari kerajaan Mataram. Bersama prajuritnya mereka mencoba menyerang tentara VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur di Batavia sekarang Jakarta. Namun mengalami kekalahan, oleh karenanya Embah Dalem Arif Muhammad bersama pengikutnya merasa malu untuk pulang ke kerajaan Mataram. Dalam perlariannya mereka akhirnya memutuskan untuk menetap di kawasan Cangkuang yang waktu itu penuh dengan pemeluk kepercayaan animisme dan Hindu.
Bersama pengikutnya, Embah Dalem Arif Muhammad kemudian menyebarkan agama Islam dengan arif dan bijaksana. Embah Dalem Arif Muhammad kemudian menikahi seorang puteri cantik jelita yang tinggal di kawasan tersebut, namun puteri tersebut meminta satu syarat yang harus dipenuhi oleh sang calon suaminya. Membuatkan sebuah danau yang mengelilingi desanya. Dengan kekuatan yang dimiliki Embah Dalem Arif Muhammad akhirnya bisa mewujudkan. Mereka kemudian menikah dan dikaruniai enam anak perempuan. Keenam anaknya inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya kampung adat Pulo. Pemukiman warga yang hanya terdiri dari enam rumah dan berada tepat di belakang Candi Cangkuang.
Untuk mencapai ke situs Cangkuang, para pelancong akan segera disambut dengan rakit-rakit bambu yang siap mengantarkan hingga ke pulau seberang. Dengan membayar Rp 3.000, para pelancong akan merasakan sensasi gelombang air danau sepanjang 500 meter. Kalau beruntung para pelancong bisa melihat aktivitas warga yang menjaring ikan. Dengan keahliannya, mereka hilir mudik di atas rakit sambil menebar jala. Sekitar 10 menitan Anda sudah mencapai pulau tersebut. Dengan membayar Rp 2000 untuk restribusi masuk ke situs Candi Cangkuang dan Kampung adat Pulo. Anda bisa menelusuri kembali romantisme yang dulu terbangun antara Islam-Hindu.
Desa Cangkuang terletak disebelah utara Kabupaten Garut masuk Kecamatan Leles, tepatnya 16 km dari Garut atau 54 km dari Bandung. Untuk mencapai situs Cangkuang dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat. Dari Jalan Raya Bandung - Tasikmalaya, lebih kurang 9 km meninggalkan Bandung, tidak jauh dari turunan Nagrek akan menemukan persimpangan menuju Kabupaten Garut atau jantung kota Garut.
Setibanya di alun-alun Kecamatan Leles, ada sebuah papan petunjuk yang jelas dan mengarahkan para pelancong ke lokasi situs Cangkuang. Masuk ke dalam sejauh kurang lebih 3 km, kendaraan roda empat atau angkutan umum masih bisa melewati jalan ini. Para pelancong juga bisa memilih angkutan ojek, delman (angkutan tradisional yang ditarik dengan kuda) atau berjalan selama 30 menit sembari menikmati jajaran gunung Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur yang menjulang tinggi. Tidak lama kemudian pelancong segera disambut dengan gapura yang tidak terlalu besar yang menandakan Selamat Datang di situ Cangkuang.
Nah tidak ada salahnya bagi para pelancong untuk menyisipkan kegiatan liburan kali ini dengan mencoba menerobos keindahan Garut, dengan mengunjungi situ Cangkuang yang eksotis serta melihat tinggalan sejarah yang unik dengan menelusuri kembali romantisme Hindu-Islam di Candi Cangkuang serta kampung adat Pulo yang hanya memiliki enam rumah.
Sumber: http://travel.kompas.com