Melalui Literasi Sejarah Melahirkan Generasi Pembelajar

Palmerah, Jakarta - Sekretaris Jenderal Gerakan Indonesia Pintar Alpha Amirrachman PhD mengatakan bahwa setiap manusia melewati masa kecil dan remaja ketika kita menokohkan orang-orang atau figur-figur yang dikagumi, maka alangkah baiknya jika tokoh-tokoh itu bukanklah sekedar tokoh komik imajiner atau tokoh dari Barat, tapi tokoh dari bangsa Indonesia sendiri.

“Penokohan dalam lintas sejarah pembentukan bangsa yang disajikan secara visual Insya Allah akan melahirkan generasi pembelajar,” katanya di Jakarta, Senin (13/7/2015).

Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, PhD dalam sambutannya menyebutkan, “Lintas sejarah pembentukan bangsa menunjukkan bahwa Keindonesiaan dibangun lewat pendidikan. Gerakan kebangsaan dimulai dari pendidikan," katanya.

Dengan mempelajari tokoh-tokoh pergerakan bangsa, merawat, dan membesarkan kebhinnekaan, kata Anies, menjadi tanggung jawab kita. "Kebhinnekaan adalah fakta dan sesuatu yang harus dirawat dan dikembangkan," katanya.

Sementara itu, Ketua Forum Anak Daerah Jawa Barat, Syahna Rahma Falihah menyatakan, dia menampilkan bahan presentasi, yang diolah dari hasil diskusi. "Diskusi dengan teman-teman sebaya mengenai betapa menyenangkannya mempelajari sejarah. Kami banyak mengabiskan waktu di sekolah. Revolusi karakter melalui literasi sejarah kami butuhkan di sekolah,” ujarnya.

Syahna menyampaikan harapan terkait perbaikan metode dan materi ajar Sejarah, khususnya di kelas peminatan IPA.

Sebelumnya, Gerakan Indonesia Pintar (GIP) telah menggelar Diskusi Panel dengan judul, Revolusi Karakter Bangsa Melalui Literasi Sejarah Lahirkan Generasi Pembelajar di Gedung A Lantai Dua, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Acara itu menghadirkan sejumlah narasumber Prof Dr dr Fasli Jalal (Ketua Pembina Gerakan Indonesia Pintar), Prof Dr Soedijarto (pakar kurikulum) Hilmar Farid, PhD (sejarawan), Dr. Ratna Hapsari (Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia) dan Syahna Rahmah Falihah (Ketua Forum Anak Daerah Jawa Barat).

Sementara itu, Soedijarto menunjukkan fakta sejarah bahwa kearifan lokal yang didengung-dengungkan tertutup oleh kenyataan perang saudara, pertumpahan darah dan perebutan kekuasaan. "Baru setelah tokoh-tokoh pergerakan muncul dari kaum terpelajar, perjuangan kemerdekaan sebagai negara bangsa dimulai. Para pendiri negeri ini menyatakan salah satu tujuan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya.

Sementara itu, Himar Farid menyampaian tentang pentingnya kesadaran sejarah sebagai landasan revolusi karakter bangsa. “Kita perlu mengasah historical empathy. Contohnya membayangkan bagaimana kira-kira kehidupan seperti Kartini. Melalui historical empathy guru mengasah kemampuan empati peserta didik. Ini bisa membangun toleransi,” katanya.

Hilmar menekankan pentingnya menghadirkan sejarah hari ini dan membuatnya relevan dengan mengulang-ulang ingatan dalam berbagai bentuk kisah para tokoh pergerakan bangsa. Ia memberikan contoh peristiwa wafatnya Bung Karno yang menggerakkan pematung Edy Sunarso untuk menghentikan pekerjaanya dan turun dari ketinggian patung yang sedang dibuatnya lalu pergi mengendarai jip untuk menghadiri pemakaman di Blitar, ilustrasi yang sangat mengesankan dan menggugah kebangsaan.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Dr. Ratna Hapsari berpendapat, waktu yang diberikan untuk mata pelajaran sejarah masih minim.

"Pada KTSP, guru sejarah hanya punya waktu tatap muka 1x45 menit selama seminggu di kelas IPA. Padahal, materi yang harus dibahas sangat panjang mulai dari proklamasi kemerdekaan Indonesia hingga zaman reformasi," katanya.

Ratna menyatakan pada Kurikulum 2013 jam pelajaran sejarah mendapatkan lebih lama yaitu 2x45 menit. Untuk peminatan khusus seperti jurusan ilmu pengetahuan sosial (IPS) disediakan waktu ada 4x45 menit dalam seminggu. Namun Ratna menyayangkan penerapan K-2013 yang masih maju-mundur.

Sementara itu, Ketua Pembina GIP, Prof. Dr. dr. Hasli Jalal berkeyakinan bahwa literasi sejarah dapat mencerahkan. “Karena itu kita perlu mengembangkan kebiasaan-kebiasaan untuk menjadi bangsa yang cerdas. Hanya bangsa yang cerdas yang akan kompetitif dan bisa membawa kesejahteraan bagi rakyatnya," katanya.

Sedangkan Ketua Umum GIP, Yanti Sriyulianti menggarisbawahi peran orangtua yang juga diharap dapat memberikan materi pengetahuan berupa bacaan edukatif dan memberi contoh baik. Demikian pula masyarakat luas diharap mampu menjadi pendukung dalam mengukuhkan nilai bersama yang merupakan karakter bangsa. Beberapa nilai yang dapat memperkuat karakter bangsa dapat dipahami dan dilaksanakan dengan berkaca kepada para bapak dan ibu bangsa yang telah ikut mendirikan negara dengan berbagai bentuk perjuangan di berbagai ranah.

Menurut Yanti, melalui literasi sejarah, kita dapat memaparkan berbagai karakter para pemimpin bangsa Indonesia yang dapat dijadikan sebagai tokoh panutan yang perlu dicontoh dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar hal itulah, maka dibutuhkan sebuah kegiatan yang dapat menghimpun komitmen bersama dan memastikan visi yang telah dicanangkan dapat dicapai dalam bentuk diskusi multi pihak.

-

Arsip Blog

Recent Posts