Jakarta - Sebagian besar khazanah naskah kuno Nusantara belum terpelihara secara baik serta belum digali kandungan isinya secara optimal, sehingga upaya penelitian dan pengkajian serta bedah naskah kuno dimaksud perlu ditingkatkan.
"Sebagian besar khazanah naskah kuno belum terpelihara secara baik, padahal dalam tradisi bangsa apapun, naskah kuno menyimpan rekaman sejarah kebudayaan masyarakat yang menghasilkannya," kata ahli Filologi Manuskrip-manuskrip Islam, Prof Dr Oman Fathurahman kepada pers di Jakarta, Selasa.
Menurut Oman, dalam konteks Indonesia, naskah-naskah kuno berupa tulisan tangan yang ada merupakan bukti bahwa tingkat literasi nenek moyang bangsa Indonesia sudah "melek aksara" sejak ratusan tahun lalu.
Bagi Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, sebuah bangsa yang maju adalah bukan bangsa yang mencampakkan masa lalunya, melainkan mereka yang merawat dan merevitalisasi peninggalan bangsanya yang bernilai tinggi untuk keperluan masa kini dan masa depan.
"Jadi, upaya-upaya pelestarian, pengkajian, dan penyebarluasan isi naskah-naskah kuno melalui berbagai sarana dan media harus terus digalakkan," ujar pria kelahiran Kuningan pada 8 Agustus 1969 itu.
Ia juga menjelaskan, berdasarkan penelitian di lapangan, ragam bahasa yang digunakan oleh masyarakat Nusantara untuk menulis naskah itu berjumlah tidak kurang dari 20 kelompok bahasa.
Kelompok bahasa dimaksud adalah bahasa Aceh, Arab, Bali, Batak, Belanda, Bugis-Makassar-Mandar, Jawa dan Jawa Kuno, Madura, Melayu, Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda dan Sunda Kuno, Ternate, dan Wolio.
"Ini belum termasuk bahasa-bahasa minoritas yang dijumpai di bagian Indonesia Timur, Kalimantan, dan Sumatera Selatan," kata Oman yang pernah mendapat beasiswa dari Ecole Francaise dExtreme-Orient (EFEO), lembaga donatur asal Prancis yang peduli pada penelitian benda purbakala.
Ratusan ribu naskah dengan ragam bahasa dan aksara tersebut diwarisi atas nama satu wadah negara-bangsa, yaitu Indonesia. Naskah-naskah itu menegaskan bahwa jati diri bangsa Indonesia sejatinya adalah bangsa yang multietnis, multibahasa, dan multiagama.
Oleh karena itu, lanjut Oman, menolak keragaman dan kebhinekaan, baik dalam hal etnis, budaya, maupun paham keagamaan merupakan sikap yang ahistoris dan bukan jati diri bangsa Nusantara.
Jakarta - Sebagian besar khazanah naskah kuno Nusantara belum terpelihara secara baik serta belum digali kandungan isinya secara optimal, sehingga upaya penelitian dan pengkajian serta bedah naskah kuno dimaksud perlu ditingkatkan.
"Sebagian besar khazanah naskah kuno belum terpelihara secara baik, padahal dalam tradisi bangsa apapun, naskah kuno menyimpan rekaman sejarah kebudayaan masyarakat yang menghasilkannya," kata ahli Filologi Manuskrip-manuskrip Islam, Prof Dr Oman Fathurahman kepada pers di Jakarta, Selasa.
Menurut Oman, dalam konteks Indonesia, naskah-naskah kuno berupa tulisan tangan yang ada merupakan bukti bahwa tingkat literasi nenek moyang bangsa Indonesia sudah "melek aksara" sejak ratusan tahun lalu.
Bagi Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, sebuah bangsa yang maju adalah bukan bangsa yang mencampakkan masa lalunya, melainkan mereka yang merawat dan merevitalisasi peninggalan bangsanya yang bernilai tinggi untuk keperluan masa kini dan masa depan.
"Jadi, upaya-upaya pelestarian, pengkajian, dan penyebarluasan isi naskah-naskah kuno melalui berbagai sarana dan media harus terus digalakkan," ujar pria kelahiran Kuningan pada 8 Agustus 1969 itu.
Ia juga menjelaskan, berdasarkan penelitian di lapangan, ragam bahasa yang digunakan oleh masyarakat Nusantara untuk menulis naskah itu berjumlah tidak kurang dari 20 kelompok bahasa.
Kelompok bahasa dimaksud adalah bahasa Aceh, Arab, Bali, Batak, Belanda, Bugis-Makassar-Mandar, Jawa dan Jawa Kuno, Madura, Melayu, Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda dan Sunda Kuno, Ternate, dan Wolio.
"Ini belum termasuk bahasa-bahasa minoritas yang dijumpai di bagian Indonesia Timur, Kalimantan, dan Sumatera Selatan," kata Oman yang pernah mendapat beasiswa dari Ecole Francaise dExtreme-Orient (EFEO), lembaga donatur asal Prancis yang peduli pada penelitian benda purbakala.
Ratusan ribu naskah dengan ragam bahasa dan aksara tersebut diwarisi atas nama satu wadah negara-bangsa, yaitu Indonesia. Naskah-naskah itu menegaskan bahwa jati diri bangsa Indonesia sejatinya adalah bangsa yang multietnis, multibahasa, dan multiagama.
Oleh karena itu, lanjut Oman, menolak keragaman dan kebhinekaan, baik dalam hal etnis, budaya, maupun paham keagamaan merupakan sikap yang ahistoris dan bukan jati diri bangsa Nusantara.