Pusako bak Simalakama bagi Niniak Mamak di Minang

Arosuka, Sumbar - Perebutan harta pusako dan persoalan ekonomi yang sulit, serta merta telah merubah tatanan sosial di tengah masya­rakat Minangkabau. Hal ini terlihat dari per­geseran peran dan fungsi ninik mamak yang sebelumnya memiliki peran sentral dalam kultur masyarakat yang menganut sistem matrilineal ini.

“Mamak dengan santainya menaiki mobil berkeliling kebun sawit. Sementara kami jadi buruh sawit di tanah kami yang sudah tergadai. Saya juga melihat ada kondisi se­balik­nya juga dialami banyak ora­ng. Kemenakan sejahtera, ma­mak tidak,” ucap Yudi (26) tentang perilaku mamak yang dialaminya, Kamis (25/2).

Baginya, hal ini men­yakit­kan karena tidak hanya diri­nya yang akan menapaki ke­hi­dupan sulit, generasi ke depan juga akan mengalami hal yang sulit sama seperti dirinya. Yudi yang berada di kawasan daerah pesisir pantai ini tidak me­napik, perubahan tatanan sosial pada mamak dan ke­menakan yang buruk ini ban­yak dialami oleh ke­me­nakan lainnya yang memiliki pusako luas tapi tergadai. Jika tidak mamak yang me­ng­ga­dai, maka kemenakanlah yang meng­gadai. Ia juga tidak menapik, dari banyaknya perilaku buruk yang muncul ini, masih ada yang berlaku baik.

Di lain pihak, David (24) dari Solok menceritakan, dalam hubungan mamak dan ke­me­nakan yang dialami di ke­luarga­nya, hubungan ideal antara mamak dan ke­me­nakan ini berjalan dengan baik. Mamak membagi adil pusako secara merata kepada kemenakan perempuannya yang memiliki hak untuk mengelola.

“Bahkan ia juga secara tegas menyediakan sasuduik tanah bagi kemenakannya untuk kegunaan pandam pa­ku­buran. Tanah ini tidak boleh digunakan untuk ke­perluan lain,” ucap David.

Melihat hal ini, tokoh muda Nagari Cupak Ke­ca­ma­tan Gunung Talang Is­wahyudi, SSos kepada Haluan men­yebut, jika dulu kemenakan berada di pintu hutang, ma­mak berada di pintu bayar, namun sekarang semuanya terbalik. Ia melihat per­ge­seran ini, lebih dominan dipengaruhi oleh faktor eko­nomi lantaran, ninik mamak yang memegang sako (gelar adat) sejatinya memiliki pu­sako (pusaka) untuk men­jalan­kan sako dan mengurus anak kemenakan. Namun pada masa belakangan, pu­sako yang menjadi singgulung untuk menjujung beban tugas sebagai ninik mamak itu telah banyak yang tergadaikan atau dijual. Sementara di sisi lain, kebanyakan ninik mamak tidak memiliki pekerjaan tetap yang dapat menunjang perekonomian keluarganya.

Kondisi ini secara lang­sung telah berdampak kepada strata sosial masyarakat, ka­rena dengan kondisi ini ninik mamak yang sebelumnya disegani mulai dianggap an­gin lalu saja. Apalagi banyak kemenakan yang juga sudah mapan secara ekonomi men­jadi sandaran dari para ninik mamak.

“Banyak mamak yang ber­gantung secara ekonomi ke­pada kemenakannya. Kondisi ini membuat mereka segan untuk menegur kemenakan yang terkadang telah me­lang­gar tatanan adat,” bebernya.

Hal senada diungkapkan oleh salah seorang pemerhati adat dan budaya Minang­kabau Jasman Rizal. Me­nurut­nya, dekadensi fungsi niniak ma­mak di Minang­kabau memang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eko­nomi. Menurutnya, secara tradisional, diferensiasi peran yang berlaku dalam keluarga luas menempatkan laki-laki di Minangkabau ber­peran se­bagai pemimpin dalam ke­luarga luasnya (ke­luarga ibu­nya). Alokasi ke­kuasaan yang ber­laku meng­haruskan laki-laki mempunyai tanggung ja­wab untuk menjaga dan me­­lin­dungi semua saudara pe­rem­puannya dan anak dari saudara-saudara pe­rempuannya.

Alokasi ekonomi yang berlaku menurut pola ideal ini, kata Jasman telah me­nempatkan mamak sebagai penjaga dan pemelihara harta pusaka yang merupakan sum­ber kehidupan semua anggota keluarga luas. Alokasi so­lidaritas yang berlaku men­yebabkan seorang mamak menurut aturan adat lebih dipatuhi oleh seseorang dari­pada ayahnya sendiri.

“Tugas mamak, selain se­suai dengan alokasi ke­kuasaan yang berlaku, ter­hadap ke­menakan pe­rem­puan­nya ia berperan men­carikan jodoh yang baik bagi­nya. Seorang mamak akan merasa sangat malu apabila ada di antara kemenakan pe­rempuannya yang sudah cukup umur belum juga me­nikah. Saat ini, dalam ke­hi­dupan masyarakat Mi­nang­kabau, terlihat adanya gejala tata hubungan susunan ke­ke­lu­arga­an yang tidak lagi bermuara pada ibu sebagai titik sentral dalam keluarga inti, tetapi mulai beralih ke­pada ayah yang menjadi kepala keluarga,” jelas Man­tan Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Solok ini.

Tak Hanya Harta

Kemudian, Ketua Lem­baga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Su­m­bar Sayuti Dt Rajo Pangulu menilai munculnya fenomena ini, karena raso jo pareso yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat Minang­kabau telah memudar.

“Selain itu, komunikasi antara mamak dengan ke­mena­kan juga sudah sangat jarang. Dahulu terkait sako jo pusako, kemenakan selalu bicara dengan mamak, namun sekarang, seolah kemenakan tidak lagi meminta kepa ma­maknya,” jelasnya.

Ia juga melihat, be­geser­nya nilai-nilai adat juga telah me­ru­bah sitem struktural ko­mu­nikasi masyarakat Mi­nang­kabau. Keputasan orde baru yang merubah sistem pe­me­rintahan kenagarian yang ada di Minangkabau dengan sis­tem desa turut andil dalam bergesernya nilai-nilai adat yang ada di Ranah Minang.

“Selama 21 tahun, atau bisa disebut dengan istilah satu generasi, masyarakat Minangkabu terpisah dari sitem adatnya, tentu juga membuat hubungan ko­mu­nikasi antara mamak dengan kemenakannya juga ter­penga­ruh,” ungkap Sayuti.

Di sisi lain, faktor pen­didikan juga ikut mem­penga­ruhi renggangnya hubungan mamak dengan kemenakan, sebab rata-rata para mamak saat ini mayoritas ber­pen­didikan SD, SMP dan paling tinggi SMA berbanding ter­balik dengan para kemenakan yang rata-rata telah ber­pen­didikan S1 dan S2, se­hingga komunikasi tidak ber­jalan dengan baik bahkan tidak nyambung.

Ketua LKAAM tersebut, mengimbau kepada gerenasi muda Mianangkabau untuk menghormati mamaknya, se­bab kelak mereka juga akan menjadi mamak.

“Seperti apa pun mamak yang kita miliki, mereka te­tap­lah mamak kita, dan suatu hari, kita juga akan menjadi seorang mamak. Saya ber­harap, para generasi muda saat ini untuk dididik men­cer­daskan tiga emo­sional, yakni emosional karakter, emo­sio­nal spiritual dan emo­sional intelektual. Emosional karak­ter dibentuk melalui adat, emosional spri­tual di­ben­tuk dengan syarak se­dang­kan emo­­sional intelektual dibentuk melalui pendidikan formal,” pungkas Sayuti.

-

Arsip Blog

Recent Posts