Oleh Zainal Arifin Mochtar
Beberapa tahun belakangan, perkara korupsi yang terungkap mengalami inflasi. Perkara korupsi yang terungkap tidak lagi hanya terpusat di daerah, tapi juga mengalami divergensi ke daerah-daerah. Fakta ini tentunya bukan sekadar untuk mengatakan bahwa penguatan otonomi daerah telah memperlebar kemungkinan tindakan-tindakan koruptif, melainkan juga menjadi gambaran semakin lebarnya efek pemberantasan korupsi hingga ke berbagai daerah. Beberapa tahun belakangan, perkara korupsi yang terungkap mengalami inflasi. Perkara korupsi yang terungkap tidak lagi hanya terpusat di daerah, tapi juga mengalami divergensi ke daerah-daerah. Fakta ini tentunya bukan sekadar untuk mengatakan bahwa penguatan otonomi daerah telah memperlebar kemungkinan tindakan-tindakan koruptif, melainkan juga menjadi gambaran semakin lebarnya efek pemberantasan korupsi hingga ke berbagai daerah.
Hampir semua daerah di Indonesia tengah terbelit perkara korupsi. Data yang dilansir Kompas ("Pemerintah dari Aceh sampai Papua Terjerat", 21 Juli 2008) menunjukkan peta persebaran korupsi yang sangat merata di seluruh Indonesia. Dalam catatan Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hingga Oktober 2008, jumlah korupsi di daerah terus mengalami peningkatan dengan dua modus terbanyak, yakni markup anggaran dan penyalahgunaan anggaran.
Penanganan
Pemberantasan korupsi di daerah sering kali masuk ke jalur lambat atau bahkan berhenti sama sekali. Dalam catatan triwulan ketiga tahun 2008 yang disusun PuKAT Korupsi, dilakukan pemantauan terhadap 43 perkara korupsi yang sedang dan telah memasuki proses peradilan (Juli-September 2008), baik di pusat maupun daerah. Penanganan perkara korupsi di daerah (dan beberapa di pusat) dilakukan oleh kejaksaan yang berujung pada pengadilan negeri. Sedangkan di pusat (dan beberapa kasus di daerah) dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berujung pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hasilnya, ternyata menunjukkan disparitas penanganan perkara korupsi di daerah.
Dari sejumlah perkara tersebut, kolaborasi antara kejaksaan dan pengadilan negeri menjatuhkan vonis yang rendah, hanya rata-rata 12 bulan (1 tahun), bahkan ada yang dengan putusan bebas. Sedangkan perkara-perkara yang ditangani KPK dengan vonis dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi rata-rata 5 tahun 8 bulan, tanpa satu pun putusan bebas. Disparitas putusan tersebut menunjukkan semangat pemberantasan korupsi di daerah yang ditangani kejaksaan dan pengadilan negeri sangat lemah. Dengan jumlah perkara korupsi yang semakin meningkat di daerah, tentunya hal ini mengkhawatirkan. Dengan model penyelesaian perkara korupsi yang sangat lemah, sulit untuk berharap adanya model pemberantasan korupsi yang baik. Andai mau meniru kiprah KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, ada kebutuhan mutlak untuk menularkan kolaborasi KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ke daerah-daerah. Semacam mendesentralisasi kolaborasi KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ke daerah-daerah.
Tindak Pidana Korupsi
Dari hal ini, pentingnya keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi semakin menemukan relevansinya. Dengan kiprah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang sangat baik, kita wajib bersedih pada fakta terancamnya eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi masih menjadi penghias meja anggota Dewan Perwakilan Rakyat, belum terbahas. Padahal, jika tidak kunjung terbahas hingga akhir 2009, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjadi inkonstitusional dan karenanya harus dihilangkan.
Memang, merujuk pada jangka waktu akhir 2009, masih menunjukkan waktu yang cukup lama. Namun, mengingat ketatnya agenda politik nasional pada 2009, nasib Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sesungguhnya telah berada di "ujung tanduk". Padahal, tanpa UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, mustahil untuk lebih leluasa mendirikan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di dalam ruang lingkup pengadilan negeri di daerah-daerah.
Bukan hanya batas waktu yang menjadi masalah bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, melainkan juga besarnya kemungkinan terbajak secara substantif. Meski DPR "berbaik hati" menyelesaikan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tetap ada kebutuhan mutlak untuk mengawal RUU ini agar substansinya tidak menjadi cacat.
Dari draf terakhir yang disodorkan pemerintah kepada DPR, ada dua hal substantif yang berpotensi mengganggu daya gedor Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, dengan komposisi hakim yang tidak ditentukan perbandingannya secara limitatif, pengadilan ini akan sangat berpeluang tersandera. Apalagi menyerahkan penetapannya kepada ketua pengadilan negeri. Bayangkan, jika kemudian bersidang dengan lima hakim, namun minim hakim ad hoc dan lebih banyak hakim karier. Harus diingat, semangat mendirikan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah akibat rendahnya kepercayaan terhadap pengadilan umum. Jika kemudian komposisi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tetap dikuasai oleh para hakim karier, sangat berpeluang untuk jatuh ke dalam lubang yang sama.
Kedua, mengenai pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Pembentukannya dilakukan secara bertahap. Ini memang menarik. Namun, membiarkannya tanpa perintah langsung pembentukan secara bertahap dengan menentukan secara langsung daerah yang ditunjuk pertama kali adalah hal yang keliru. Bayangkan, jika peraturan presiden yang akan membentuk pengadilan di suatu daerah belum dikeluarkan, akan disidangkan di mana.
KPK daerah?
Hal lain yang menarik untuk diperbincangkan adalah kemungkinan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi di daerah. Pada Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 tercantum kemungkinan membentuk perwakilan KPK di daerah. Andai ada perwakilan KPK di daerah, mestinya ada efek prevensi dan represi yang lebih kuat terhadap korupsi daerah.
Hanya, ide membuat perwakilan KPK di daerah ini masih memerlukan pengayaan wacana. Pertanyaan terpentingnya adalah sebatas mana dan dengan kewenangan apa saja yang dapat dipegang oleh perwakilan KPK di daerah? Isu ini harus bisa terjawab. Sebab, yang paling ditakutkan adalah dengan mendesentralisasikan KPK, ternyata malah mendegradasi "sakralisasi" KPK. Atau malah hanya menumbuhsuburkan mafia peradilan baru di daerah-daerah. Tanpa keberanian serius melakukan desentralisasi pemberantasan korupsi, daerah akan semakin menjadi ladang subur para koruptor.
Zainal Arifin Mochtar, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sumber: Koran Tempo, Selasa, 16 Desember 2008