Oleh Asmar Oemar Saleh
Lambat-laun makin kentara: komitmen para anggota legislatif dalam pemberantasan korupsi memang hanya sebatas “hangat-hangat kuku”, kalau bukan setengah hati. Apa indikasinya? Mereka, agaknya, sengaja membuat nasib Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terkatung-katung. Padahal untuk UU lain, UU Pornografi, misalnya, mereka bekerja bak dikejar setoran. Tapi, entahlah, untuk RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hasrat menggebu untuk membahas dan segera mengesahkannya nyaris tak dijumpai.
Fakta ini makin menegaskan dugaan adanya, tak hanya ketidakseriusan, tapi juga sikap tidak senang dan antipati anggota Dewan Perwakilan Rakyat atas keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Padahal RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini akan menjadi fondasi konstitusional bagi keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang kini sudah berjalan. Jika RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini tak kunjung disahkan pada 19 Desember mendatang, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dilikuidasi. Imbasnya, KPK akan menjadi “macan ompong”: tak punya pengadilan yang akan menjadi muara untuk kasus-kasus yang ditanganinya. Ini sama saja dengan membonsai peran dan keberadaan KPK.
Persoalan bermula dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi pada 19 Desember 2006, yang membatalkan pasal mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Hakim konstitusi yang dipimpin Jimly Asshiddiqie meminta agar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam UU tersendiri, bukan sebagai bagian dari UU KPK.
Putusan tersebut dibuat untuk menjawab gugatan uji materiil UU KPK yang diajukan dua terdakwa kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum, Mulyana W, Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin, serta gugatan yang diajukan Tarcisius Walla, terpidana korupsi pengadaan tanah pembangunan Pelabuhan Danar di Tual, Maluku Tenggara. Pembatalan itu memang tidak secara otomatis membuat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bubar. Mahkamah Konstitusi memberi waktu tiga tahun untuk masa transisi, yaitu hingga 19 Desember 2009. Pada masa peralihan itu, Presiden dan DPR diharapkan sudah menghasilkan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Tapi, faktanya, hingga hari ini DPR belum juga menuntaskan pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Mengingat pendeknya waktu menjelang Pemilihan Umum 9 April mendatang, cukup beralasan jika banyak pihak menyangsikan RUU tersebut akan selesai sebelum Pemilu. Apalagi banyak anggota DPR kini sibuk karena kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPR, terutama dengan turun langsung ke daerah-daerah pemilihannya setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan penentuan calon legislator terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Prestasi KPK
Mengapa DPR setengah hati menggarap RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi? Dasar dugaan ketidakseriusan anggota DPR menyelesaikan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memang cukup kuat: KPK dinilai banyak pihak berhasil menjalankan tugasnya memberantas korupsi.
Prestasi KPK cukup mengancam mereka yang tak suka melihat negeri ini bersih dari korupsi. Dari segi kuantitas, mulai 2004 hingga 2008, jumlah kasus yang ditangani KPK memang hanya 110 kasus. Angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan data dari Kejaksaan Agung yang jumlahnya lebih dari 3.000 kasus.
Tapi, dari segi kualitas, KPK justru membuat publik berlega hati: tak ada satu pun kasus yang sudah masuk tahap penyidikan KPK tidak berhasil dibawa ke pengadilan. Bahkan terdakwa dalam keseluruhan kasus yang disidangkan dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bersalah, dari anggota DPR, mantan menteri, para petinggi Bank Indonesia, sampai besan presiden yang kini berkuasa, Aulia Pohan, dapat dijadikan tersangka.
Ini sangat berbeda dengan penanganan korupsi di pengadilan umum, yang tak jarang tersangkanya divonis bebas atau ringan. Akibatnya, tingkat kepercayaan terhadap pengadilan umum dalam menangani korupsi sangat diragukan. Tengoklah hasil pantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch pada 2005-2008: dari 1.421 terdakwa perkara korupsi, sedikitnya ada 659 terdakwa korupsi divonis bebas oleh pengadilan umum. Sedangkan rata-rata vonis yang diberikan kepada para tersangka hanya 5,8 bulan penjara untuk semua tingkat peradilan seluruh Indonesia.
Sementara itu, untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, selama 2008, dari 31 kasus korupsi yang ditanganinya, tak ada satu orang pun yang divonis bebas. Vonis yang dijatuhkan para hakim Tindak Pidana Korupsi pun rata-rata 4 tahun 2 bulan penjara. Yang membuat anggota DPR ketar-ketir, sebagian pelaku korupsi yang diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah teman mereka sesama anggota wakil rakyat. Bak senjata makan tuan, KPK yang mereka bentuk justru menyerang lembaga dan teman mereka sendiri. Tak aneh jika resistensi terhadap KPK pun diam-diam membatu dan membuahkan skenario pemandulan KPK dengan mengulur-ulur RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hingga berakhirnya batas yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi.
Tentu para anggota DPR tak ingin disebut “pengkhianat” amanat rakyat untuk memberantas korupsi. DPR periode 2004-2009 juga pastinya tak ingin dikenang dalam sejarah sebagai musuh pemberantasan korupsi di Indonesia.
Untuk itu, tak hanya dibutuhkan sangkalan lisan dan silat lidah bahwa tak benar mereka membuat nasib RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi “termehek-mehek” dalam ketidakpastian. Sebaliknya yang dinantikan adalah kesigapan bertindak: segera mengagendakan, membahas, dan akhirnya mengesahkan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Jika sampai 19 Desember 2009 RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tak kunjung disahkan, tak hanya menjadi jelas bagaimana komitmen wakil rakyat kita dalam pemberantasan korupsi, tapi juga makin terang-benderanglah siapa sesungguhnya yang tengah duduk di kursi gedung DPR Senayan itu.
Asmar Oemar Saleh, Advokat, mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Menteri Negara Hukum dan HAM RI
Sumber: Koran Tempo, Selasa, 3 Maret 2009