Oleh Akhmad Zaini
Apa makna terpenting tertangkapnya politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Abdul Hadi Djamal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Salah satunya, semakin terkuaknya misteri yang ada di gedung perwakilan rakyat. Yakni, misteri bagaimana mereka yang masuk ke gedung itu sering bisa mendadak berubah dalam sekejap.
Bagi mayoritas rakyat di negeri ini, perubahan itu memang sering amat sulit dipahami sehingga layak disebut misteri. Misalnya, seorang aktivis partai yang semula lontang-lantung tanpa pekerjaan yang jelas mendadak berubah menjadi orang kaya raya dengan jumlah aset yang menyilaukan. Selain daftar kekayaannya bertambah secara fantastis, orang tersebut juga mendadak berubah menjadi “dermawan”. Banyak kegiatan di masyarakat yang pendanaannya ditanggung yang bersangkutan.
Begitu juga ketika musim pemilu tiba seperti saat ini, sang legislator yang kembali mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg) juga menunjukkan “kehebatan” yang luar biasa. Baliho-baliho besar dirinya memenuhi sejumlah kota. Event-event besar pun dia biayai dengan entengnya.
Memang, rakyat tahu bahwa anggota dewan -dengan posisinya sebagai pejabat negara- memiliki gaji yang tinggi. Tapi, sering kalkulator gagal menghitungnya. Ada ketidakseimbangan antara pasak dan tiang. Antara gaji resmi yang telah diketahui umum dan “gaya hidup” yang dipertontonkan seorang anggota dewan.
Singkat kata, semua itu bak misteri yang sulit dipecahkan. Dan kini, misteri itu sedikit terungkap ketika Komisaris PT Kurniadjaja Wirabhakti Hontjo Kurniawan yang memberikan uang kepada Hadi mengatakan bahwa uang miliaran yang dia serahkan itu untuk membantu dana kampanye Hadi pada pencalegan Pemilu 2009 ini. Kompensasinya, Hadi akan memperjuangkan proyek-proyek infrastruktur Departemen Perhubungan (Dephub) yang diincar Hontjo (Jawa Pos, 11/03/09).
Memang, informasi itu masih pengakuan sepihak. Kebenarannya masih perlu dibuktikan di pengadilan. Namun, setidaknya, pengakuan itu menjadi salah satu indikasi atas misteri yang selama ini meliputi gedung dewan. Apalagi, kasus-kasus yang hampir mirip juga sudah berkali-kali terjadi, seperti kasus yang membelit politikus PPP Al Amin Nasution yang kini mendekam di penjara.
Tentu patut diyakini bahwa tidak semua anggota legislatif yang kini mencalonkan diri lagi dalam Pemilu 2009 menggunakan cara seperti kasus di atas. Pasti ada beberapa orang yang mengumpulkan dana kampanye secara benar. Dari membongkar deposito, pinjam ke bank, ke sanak famili, hingga menjual tanah warisan.
Hanya, masih sulit dipastikan seberapa besar persentase yang menggunakan jalur lurus itu. Karena kalau dilihat secara kasat mata, dana kampanye yang harus dikeluarkan seorang calon legislatif sangatlah besar. Untuk dewan pusat, pasti tidak cukup kalau hanya ratusan juta rupiah.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa penentuan anggota dewan berdasarkan suara terbanyak memang mengharuskan semua caleg memperkenalkan diri sendiri secara habis-habisan. Konsekuensinya, dana miliaran rupiah pun bisa tersedot karenanya.
Kalau seorang caleg mempunyai ambisi superkuat untuk jadi lagi, sementara dana plus imannya cekak, maka jalur pintas pun bisa ditempuh. Jabatan sebagai anggota dewan yang sekarang dipegang serta yang sedang diperebutkannya digadaikan ke para cukong.
Dengan menyinggung putusan MK itu, tentu penulis tidak bermaksud menggiring ke suatu kesimpulan bahwa putusan MK tersebut telah memicu terjadinya korupsi. Memang, putusan itu mendorong seorang caleg bekerja ekstra keras dan membutuhkan dana superjumbo. Tapi, itu bukan berarti bahwa korupsi merupakan salah satu jalan keluarnya.
Ke depan, putusan MK tersebut akan membuat logika keterwakilan semakin baik. Mereka yang duduk di gedung dewan akan tertuntut menjadi figur yang memiliki kedekatan dengan rakyat dan memiliki track record sebagai orang yang berkomitmen kepada rakyat. Sebab, kalau tidak begitu, sulit bagi orang itu untuk mendapatkan dukungan langsung dari rakyat.
Bila itu terjadi, tentu, ke depan akan membawa kebaikan bagi kita semua sebagai bangsa. Memang, rasanya, hal tersebut sulit terjadi pada hasil Pemilu 2009 ini. Sebab, masih banyak prakondisi yang tidak menunjang. Dari putusan MK yang begitu mendadak hingga sejumlah masalah yang masih membelit mayoritas rakyat di negeri ini. Misalnya, masalah keterbatasan ekonomi, informasi, serta pendidikan.
Yang perlu dicamkan dari perubahan “revolusioner” itu, ke depan, mereka yang akan terjun ke kancah politik dan tidak akan mengotori dirinya dengan perilaku yang tidak benar harus memiliki modal yang sangat besar.
Modal di sini tentu tidak harus dimaknai sebagai modal uang. Tapi, bisa lebih luas daripada sekadar uang. Bisa modal kejujuran, pengabdian, dan kiprahnya di tengah-tengah masyarakat, hingga track record yang tidak cacat.
Semua itu tentu harus dibangun dalam waktu lama dan dengan pengorbanan yang besar. Namun, bila modal-modal sosial seperti itu dimiliki, tentu modal yang berupa uang tidaklah segala-galanya. Dan jika itu terjadi, korupsi atau kongkalikong dengan para cukong bukanlah cara yang layak dipertimbangkan.
Tentu, hal tersebut bukanlah jawaban atas semua praktik korupsi yang terjadi di negeri ini, khususnya yang melibatkan anggota dewan. Jawaban terpenting tetaplah berada di dada masing-masing penduduk di negeri ini. Yakni, apakah masih punya iman atau moral yang kuat untuk tidak korupsi meski kesempatan ada di depan mata?
Akhmad Zaini, wartawan Jawa Pos (e-mail: zen@jawapos.co.id)
Sumber: Jawa Pos, Kamis, 12 Maret 2009