Sumbawa Barat, NTB - Palompong, atau juga kerap disebut garompong, yakni alat musik tradisional yang biasa ditabuh saat menyambut musim panen di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat, keberadaannya kini disebutkan nyaris punah.
"Alat musih tabuh yang instrumen nadanya terbuat dari bilah kayu itu kini sudah cukup jarang dijumpai, apalagi harus ditabuh saat musim panen bagi para petani di sawah," kata Ketua Lembaga Kerukunan Masyarakat Sumbawa-Sumbawa Barat Pathi Yusuf, di Taliwang, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin.
Palompong yang nyaris menyerupai alat musik saron khas Sunda atau cungklik khas Bali, terdiri atas tiga hingga lima bilah kayu pipih sepanjang 40 cm lebar lima cm.
Bilah-bilah kayu dengan nadanya masing-masing, diletakkan di atas membran pemantul gema yang juga terbuat dari kayu. Cara menabuhnya, bilah-bilah tersebut dipukul menggunakan alat serupa palu yang juga terbuat dari kayu.
Alunan tabuh palompong biasanya dilengkapi dengan alat musik kendang, gong dan terompet, yang lagi-lagi terbuat dari kayu.
Pathi Yusuf mengatakan, palompong biasanya dibuat dalam dua unit untuk dimainkan dua orang penabuh.
Namun, kata dia, alat musih tersebut kini sudah semakin jarang dijumpai di masyarakat sehubungan bahan bakunya untuk membuat itu sudah sangat sulit ditemukan.
Palompong harus dibuat dengan bahan dasar kayu "kaleang" atau "elang", yang kini sudah tidak banyak lagi tumbuh di hutan atau di ladang milik warga.
Menurut dia, kayu "kaleang" memiliki keistimewaan tersendiri, yakni bersuara sangat nyaring bila disentuh benda keras tertentu.
"Sayang sekali, jenis kayu tersebut kini semakin sulit untuk dijumpai. Ini yang mengakibatkan palompong nyaris punah," ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Di masa lalu, lanjut dia, para petani menggunakan alat musik palompong saat mereka menghadapi atau seusai musim panen.
Alat musik palompong diperkirakan telah ada pada masa Kesultanan Sumbawa, atau saat Sumbawa dipimpin raja Dewan Awan Kuning pada abad ke-17.
Alat musih itu berkembang pada generasi pertama Kerajaan Sumbawa sebelum berubah menjadi kesultanan, karena masuknya pengaruh Islam.
Petani pada masa itu, kata dia, memainkan alat musik palompong dengan saling sahut menyahut sembari bertutur, hingga terdengar seperti alunan sajak, yang sekarang disebut seni bertutur.
Parompong kebanyakan dimainkan pada siang hari, utamanya ketika para petani mengisi waktu menjelang panen, atau saat melepas lelah usai memanen padi yang berlimpah.
"Banyak pesan yang indah di balik seni bertutur masyarakat kita waktu itu, sembari diiringi tabuhan palompong. Terkadang, mereka juga menuturkan tentang berkah alam dan anugerah Yang Maha Kuasa atas berlimpahnya bahan makanan dan hasil panen di bumi pertiwi," katanya.
Tidak hanya itu, dalam sajak dan tutur yang mereka kumandangkan juga kerap berisikan puja-puji dan rasa bangga atas kebesaran-Nya sebagai penguasa alam, ujar Pathi.
Meski sudah nyaris punah, namun Pathi mengaku masih bisa bersyukur bahwa palompong atau gerompong masih tampak dimainkan pada acara-acara tertentu, seperti pekan apresiasi budaya dan lain-lain.
"Setelah itu, jarang terdengar lagi," katanya seraya menambahkan bahwa pihaknya mendatang akan membuat program pengenalan musik khas Sumbawa melalui upaya kolaborasi dengan musik tradisional yang lain, misalnya "genang aer" atau "rebana bambu".
Pathi mengatakan, dewasa ini sebenarnya masih banyak perpaduan alat musik tradisonal lain yang bisa dikolaborasikan dengan alat musik palompong.
Alat musih tersebut antara lain "bagesong", sejenis kecapi. Alat musik ini mirip biola, badannya, terbuat dari batok kelapa dan tangkainya terbuat dari kayu. Sementara senarnya terbuat dari tali temali tipis dan alat penggeseknya terbuat dari bulu kuda.
Selain bagesong, palompang juga bisa dipadukan dengan "badiya", yakni seni suara bertutur yang mengisahkan tentang cerita "Lala Jinis" dan "Lalu Dia", suatu cerita cinta yang mengisahkan putri seorang "Datu", pejabat wakil pemerintahan raja di Tanah Seran (Seteluk), dengan seorang kesatria Tanah Seran.
"Berbagai alat musik tradisional itu digunakan masyarakat Sambawa sejak berabad abad lalu. Seharusnya, ini bisa terus dilestarikan, apalagi warisan budaya ini bisa bernilai tinggi dan merupakan aset yang tak ternilai. Sekarang, tinggal bagaimana keseriusan pemerintah untuk mau menjaga dan melestarikan aset budaya kita," kata Pathi Yusuf.
Sumber: http://oase.kompas.com