Oleh: J. Kristiadi
Semakin mendekati bulan April 2009, semakin nyaring suara rakyat yang menyatakan ketidakpedulian terhadap pemilu. Pemilu yang awalnya disambut dengan penuh gairah dan harapan perubahan dikhawatirkan hanya penuh tebaran retorika ikrar politik para elite. Sikap sinikal dan skeptik masyarakat terhadap pemilu tersebut tidak muncul tiba-tiba. Gairah masyarakat menyambut pemilu dapat disaksikan pada Pemilu 1999. Pemilu pertama yang demokratis sejak runtuhnya Orde Baru disambut rakyat dengan bergelora dan antusias. Ekspektasi terjadinya perbaikan nasib sedemikian besar sehingga masyarakat bersedia membiayai kampanye parpol dengan membuat kaus sendiri, mendirikan posko, membeli bensin, dan lainnya.
Akan tetapi, sayangnya, pemilu berikutnya, tahun 2004 serta ratusan pemilihan kepala daerah langsung yang dimulai sejak juni 2005, memunculkan perubahan dramatis. Politik uang menggantikan politik cita-cita. Gelombang korupsi politik semakin besar, sejalan dengan semakin banyaknya frekuensi kontestasi politik di tingkat lokal.
Para elite politik berlomba- lomba mengumpulkan dana politik yang tidak dapat dikontrol. Kekuasaan yang diperolehnya dengan janji-janji muluk dikonversi menjadi kekayaan pribadi dan kelompok untuk biaya mempertahankan dan mengukuhkan kekuasaan.
Penyalahgunaan wewenang menjadi berkelanjutan. Pada tataran masyarakat, gelombang korupsi kekuasaan telah menggulung dan meluluhlantakkan harapan dan impian rakyat untuk hidup lebih baik. Akibatnya, rakyat menjadi frustrasi, kecewa, dan merasa dibohongi.
Kepercayaan yang diberikan kepada para elite politik dengan harapan memberikan perbaikan hidup ternyata hanya menjadi mimpi buruk.
Luka batin tidak mudah disembuhkan atau dinetralisasi hanya dengan memberikan penjelasan bahwa demokrasi perlu kesabaran, mengingat yang dibangun bukan hanya struktur politik, melainkan juga peradaban baru. Lebih-lebih masyarakat setiap hari dihadapkan pada kebutuhan mendesak. Rakyat juga melihat bagaimana para penguasa menghamburkan uang negara. Angka ”golput” yang tinggi mencerminkan kekecewaan mereka.
Gelombang balik
Sikap skeptis masyarakat berbanding terbalik dengan nafsu para caleg yang ”menjajakan” dirinya melalui berbagai poster dan spanduk yang penuh percaya diri. Namun, di balik sikap yang penuh percaya diri itu, kita juga perlu tahu bahwa para caleg tersebut sangat kecewa atas perilaku masyarakat yang sangat berorientasi pada uang.
Setiap upaya untuk mendekati calon pemilih potensial selalu dibarengi dengan tuntutan penyediaan dana, termasuk perjanjian sekelompok orang yang bersedia menggalang wilayah tertentu dengan budget puluhan hingga ratusan juta rupiah. Kalau transaksi politik tersebut ditolak, tawaran akan disampaikan kepada caleg lain. Intinya, semua harus serba duit.
Para caleg merasa seperti menjadi ”anjungan tunai mandiri” (ATM). Bahkan, sebagian caleg merasakan tuntutan konstituen sebagai teror yang menakutkan sehingga mereka enggan sering berkunjung ke daerah pemilihannya. Mereka bahkan menganggap sikap sebagian masyarakat sudah keterlaluan dan kehilangan rasa kepatutan.
Perilaku masyarakat yang dianggap terlalu berorientasi kepada uang itu ditengarai sebagai gelombang balik korupsi politik yang telah dilakukan secara blakblakan oleh para elite politik. Sikap itu bisa jadi merupakan resultante perilaku koruptif para pemegang kekuasaan yang telah melupakan sumber kekuasaan itu sendiri, yaitu rakyat.
Rendahnya tingkat kredibilitas parpol dan lembaga perwakilan rakyat menunjukkan bahwa politisi bukan orang yang mulia, tetapi juga sosok yang lebih banyak mementingkan dirinya atau kelompoknya.
Gelombang korupsi politik tidak hanya akan melanda para penguasa, tetapi ia juga dapat menenggelamkan bangunan demokrasi tatanan politik yang beradab. Keganasannya telah terbukti meruntuhkan kredibilitas tidak saja lembaga-lembaga politik, tetapi juga lembaga penegak hukum dan peradilan.
Kalau dibiarkan, dikhawatirkan politik Indonesia akan dikuasai mereka yang mempunyai dana besar. Hitungan kasar akan menemukan angka sekitar Rp 3,5 triliun apabila harga setiap anggota parlemen memerlukan dana Rp 5 miliar-Rp 10 miliar.
Konstatasi dramatis dan kekhawatiran di atas bukan sikap yang pesimistis. Ulasan di atas lebih didorong oleh semangat agar Pemilu 2009 lebih bermakna. Perjuangan melawan korupsi politik harus menjadi komitmen bersama, terutama bagi para calon wakil rakyat periode 2009-2014.
Jangan biarkan rakyat bertambah kecewa terus-menerus. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah segera melakukan kontrol ketat terhadap keuangan parpol, terutama dana kampanye mereka. Parpol juga dapat memperdebatkan dana kampanye lawan politik mereka, khususnya budget yang dipergunakan untuk iklan politik yang diyakini bakal sangat besar.
Sumber: Kompas, Selasa, 16 Desember 2008