Oleh Febri Diansyah
Jangka waktu membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang di-deadline Mahkamah Konstitusi (MK) makin sempit. Berdasar putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, MK meminta pemerintah dan DPR segera memperkuat basis konstitusional pemberantasan korupsi melalui pembentukan UU Pengadilan Tipikor sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi.
Bagian yang harus dipahami secara afirmatif, MK sebenarnya menegaskan, pengadilan khusus korupsi sangat dibutuhkan dan konstitusional jika dibentuk dengan UU tersendiri. Bukan sebaliknya.
Karena itu, semangat untuk membubarkan Pengadilan Tipikor dan mengembalikan proses pada pengadilan umum bertentangan dengan putusan MK. Karena MK adalah lembaga negara pengawal dan penafsir konstitusi dan putusan merupakan penjelasan serta penegasan lebih dalam dari konstitusi, ketidakpatuhan terhadap putusan MK sekaligus merupakan bentuk perlawanan terhadap konstitusi/UUD 1945.
Harapan masyarakat terhadap Pengadilan Tipikor tidak lepas dari kekecewaan pada pengadilan umum. Tingkat putusan bebas/lepas dari tahun ke tahun sangat tinggi. Bahkan, rata-rata vonis yang dijatuhkan relatif rendah. Mulai 2005-2008, terdakwa kasus korupsi yang terpantau berjumlah 1.421. Lebih dari 600 di antaranya divonis bebas/lepas. Bahkan, sekitar 300 terdakwa hanya dijatuhi vonis di bawah dua tahun.
Fenomena itu tentu mengakibatkan rendahnya deterrence effect (efek jera) pemberantasan korupsi. Dalam jangka panjang, hal tersebut akan menegaskan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, khususnya pengadilan umum. Dalam konteks pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa dan sudah merasuki hampir semua sendi kehidupan bangsa, upaya khusus dan luar biasa merupakan hal mutlak yang harus dilakukan.
Keberhasilan KPK menyelesaikan kasus-kasus korupsi dan memberikan vonis yang lebih punya efek jera melalui Pengadilan Tipikor sudah cukup baik menjadi dasar argumentasi bahwa Indonesia membutuhkan pengadilan khusus korupsi.
Komitmen Parpol
Belum tuntasnya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor tidak semata disebabkan persoalan tidak adanya komitmen DPR. Secara lebih luas, kondisi itu terkait dengan parpol di DPR. Komitmen sejumlah parpol diragukan dalam pemberantasan korupsi, khususnya menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor.
Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari masing-masing pimpinan parpol bahwa mereka mendukung keberadaaan Pengadilan Tipikor. Publik juga tidak mengetahui ada atau tidaknya instruksi dari parpol untuk mempercepat pembahasan UU.
Hanya, pimpinan parpol terkesan membiarkan dan lepas tanggung jawab pembahasan yang tanpa kepastian itu. Bahkan lebih jauh, sadar ataupun tidak, tindakan “diam” tersebut cenderung bisa dipahami sebagai bagian upaya pembubaran Pengadilan Tipikor.
Sejumlah fungsionaris partai politik di DPR sebenarnya telah menyatakan akan berkomitmen menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor sebelum pemilu legislatif. Ketua DPR sendiri yang berasal dari Fraksi Golkar menyampaikan janji tersebut secara terbuka. Anggota DPR dari Fraksi PDIP pun demikian. PKS juga selalu mengklaim diri bersih dan antikorupsi.
Karena Presiden SBY berasal dari Partai Demokrat, seharusnya komitmen dan iklan pemberantasan korupsi yang setiap hari ditayangkan memperlihatkan konsistensinya. Jangan sampai iklan tersebut menjadi kebohongan publik. Misalnya, di satu sisi menyatakan berkomitmen dengan pemberantasan korupsi, di sisi lain tidak serius atau bahkan menghambat pembentukan UU Pengadilan Tipikor.
Di sinilah komitmen, kejujuran, dan konsistensi partai politik diuji. Jika tiga partai di atas saja sudah berkomitmen utuh, tentu seharusnya UU Pengadilan Tipikor bisa selesai. Kursi Golkar 127, PDIP 109, Demokrat 56, dan PKS 45. Totalnya, ada 337 kursi. Atau, lebih dari separo anggota DPR yang total berjumlah 550 orang.
Tentu partai lain juga pernah menyatakan bahwa mereka bagian dari pemberantasan korupsi. Tapi, mengapa pembahasan RUU masih molor dengan agenda yang tidak jelas sehingga sulit dipercaya bisa selesai efektif sebelum pemilu?
Apakah ada pembajakan dan inkonsistensi? Jika ya, perlu ada kampanye untuk mengimbau masyarakat agar pada Pemilu 2009 tidak memilih parpol yang tidak konsisten mendukung pembentukan Pengadilan Tipikor. Sebab, itu berarti mereka tidak mendukung pemberantasan korupsi, hendak melindungi diri dari jerat penegakan hukum, sehingga bebas melakukan perbuatan korup.
Darurat Korupsi
Masa sidang DPR III saat ini berakhir paling lambat 6 Maret 2009. Artinya, waktu yang tersisa sekitar 26 hari, kemudian memasuki masa reses dan masa sidang terakhir setelah pemilu legislatif pada 27 April 2009. Padahal, saat ini seperti yang disampaikan ketua Pansus RUU, belum ada satu pun fraksi yang menyetorkan DIM. Bahkan, proses rapat dengar pendapat umum (RDPU) belum selesai dilakukan. Dengan demikian, secara logis RUU tidak mungkin selesai sebelum pemilu.
Pada sisi lain, saya khawatir proses RDPU yang dilakukan pansus meruapakan upaya mengulur-ulur waktu sehingga anggota pansus bisa memprioritaskan kepentingannya untuk persiapan Pemilu Legislatif 2009.
Pembahasan RUU dalam DPR periode 2009-2014 pun lebih tidak menjanjikan. Sebab, proses pengajuan Prolegnas dan RUU Prioritas harus dimulai dari awal lagi. Padahal, DPR 2009 baru efektif bertugas sekitar September-Oktober. Artinya, tinggal 2-3 bulan menjelang deadline yang diberikan MK.
Jadi, secara nyata terlihat pemberantasan korupsi sudah berada di ujung tanduk. Belum lagi, memperhitungkan pembentukan pengadilan yang minimal menghabiskan waktu enam bulan. Karena itu, tidak ada alternatif lain kecuali pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) Pengadilan Tipikor.
Febri Diansyah, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)
Sumber: Jawa Pos, Rabu, 11 Februari 2009