Remunerasi dan Reformasi Birokrasi

Oleh Bambang Heru

Bagi PNS (pegawai negeri sipil) dan TNI, tulang punggung birokrasi, remunerasi menjadi sebuah kata kunci. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 2005, salah satu di antara dua arti remunerasi adalah imbalan. Dicontohkan dalam kamus tersebut: Pemerintah menetapkan peraturan khusus mengenai remunerasi kepada pegawai negeri.

Contoh dalam KBBI tersebut sangat tepat dengan kondisi saat ini. Pemerintah sekarang sedang melakukan reformasi birokrasi. Kata reformasi jelas lebih tegas makna dan arahnya, yaitu perubahan drastis ke arah perbaikan.

Reformasi birokrasi inevitable dilakukan pemerintah maupun negara. Remunerasi merupakan syarat perlu (necessary condition) dari reformasi birokrasi. Sedangkan syarat cukupnya (sufficient condition) dapat dipenuhi dari terjadinya perbaikan-perbaikan aspek lain. Misalnya, tercukupinya kualifikasi SDM (sumber daya manusia). Artinya, reformasi birokrasi tidak akan tercapai apabila tidak didahului remunerasi.

Partai yang ketua umumnya menjadi presiden RI mengambil kata-kata jimat yang digunakan dalam iklan TV tentang penurunan harga BBM (bahan bakar minyak) yang dilakukan tiga kali dalam waktu dekat.

Walaupun keputusan tersebut menguntungkan masyarakat untuk menaikkan daya beli, praktiknya belum tentu signifikan. Meskipun dari sisi nilai pengeluaran BBM itu sendiri memang menguntungkan masyarakat. Namun, kejadian harga barang/jasa yang sudah naik seolah sudah diikhlaskan masyarakat sehingga sulit untuk turun menjadi seperti level harga sebelum kenaikan harga BBM.

Tengok saja penurunan tarif kereta api (ekonomi) yang hanya berkisar seribu atau duaribu perak. Thesis tersebut dapat dibuktikan melalui survei lapangan.

Karena itu, belum tentu masyarakat kepincut dengan iklan partai tersebut. Insignifikansi dampak penurunan harga BBM, di sisi lain malah berpotensi menjadi beban APBN yang sewaktu-waktu kembali menyebabkan kenaikan harga barang/jasa karena subsidi kembali dikurangi.

Lebih Substansial
Masalah reformasi birokrasi jelas lebih substansial dibandingkan masalah penurunan harga BBM. Reformasi birokrasi lebih menjadi urusan eksekutif sehingga jangan dijadikan tema iklan partai yang ingin berkuasa. Apa karena itu kurang diperjuangkan legislatif? Sedangkan kondisi birokrasi saat ini memang masih jauh dari ideal. Walaupun secara gradual harus diakui ada perbaikan dari waktu ke waktu.

Karena remunerasi merupakan syarat perlu untuk reformasi birokrasi, harus dilakukan tanpa diskriminasi. Sekarang memang pemerintah mulai melakukan remunerasi. Sayang, masih dirasakan ada aspek diskriminatif yang menimbulkan ekses negatif.

Aspek diskriminatif tersebut, pertama, remunerasi dilakukan dengan menggunakan prinsip “ilmu talang” (kalau ada hujan, yang paling basah adalah talang tempat menyalurkan air di bagian tepi atap). Uang negara yang dikelola Departemen Keuangan (yang sudah diremunerasi) jelas bukan miliknya.

Dalam sejarah Indonesia merdeka, departemen tersebut telah merasakan perlakuan istimewa sebanyak dua kali, yang pertama pada 1970-an (1974?). Take home pay mereka dilipatgandakan, sementara PNS yang lain sekadar dinaikkan untuk mempertahankan daya beli.

Kedua, remunerasi juga menyiratkan adanya “rasa takut” terhadap sebagian lembaga peradilan. Ketiga, agar sebuah lembaga pemerintah dapat menikmati remunerasi, diharuskan mengusulkan (merengek) dengan kriteria penilaian yang sulit dipegang. Mana mungkin pegawai yang sangat mendambakan remunerasi harus menilai beban kerja sendiri. Keempat, apa SDM dari lembaga selain yang sudah diremunerasi tersebut kinerjanya di bawah standar?

Aspek diskriminatif tersebut justru akan mengeliminasi perbaikan berupa efisiensi maupun efektivitas yang telah dicapai birokrasi. Fakta itu tentunya sulit terungkap pada kesempatan formal yang umumnya dihadiri birokrat “berpangkat”. Tetapi, itulah fakta. Gerundelan yang menggema nyata itu tentu kontraproduktif.

Jumlah PNS dan TNI yang berkisar 4 atau mungkin 5 juta merupakan kekuatan politik yang relevan menjelang pemilu. Apalagi kalau dihitung jumlah orang yang dihidupi, seperti suami/istri dan anak-anaknya. Kalau setiap PNS menghidupi 4 orang, termasuk dirinya, kelompok tersebut mempunyai potensi kekuatan suara 16-20 juta. Sebuah angka yang “wah”. Oleh karena itu, masalah remunerasi, selain menjadi prasyarat utama tercapainya reformasi birokrasi, merupakan isu penting menjelang pemilu.

Bambang Heru, PNS peminat masalah sosial dan ekonomi, tinggal di Jakarta

Sumber: Jawa Pos, Jumat, 30 Januari 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts