Oleh Febri Diansyah
Di beberapa negara miskin, korupsi merupakan soal hidup atau mati manusia, terutama ketika anggaran kesehatan, alokasi obat-obatan gratis, sekolah dasar, air bersih, bantuan bencana alam, beras murah, atau bahkan bahan bakar dihisap melalui penyalahgunaan kewenangan. Ia dapat menjadi malapetaka kemanusiaan (TI, 2008). Dan, Indonesia berada di titik dimana korupsi menjadi “pemandangan umum”.
Potret tersebut diperparah dengan penilaian PERC (Political Economic and Risk Consultancy). Dari 12 negara di Asia, tahun 2008, khususnya, Peradilan kita berada dalam posisi terkorup. Riset ini agaknya mempertegas tesis tentang Mafia Peradilan yang menggerogoti tatanan hukum Indonesia.
Tapi bagaimana dengan realitas korupsi itu sendiri? Indonesia Corruption Watch (ICW), melakukan pencatatan dan pengamatan dari tahun ke tahun. Seperti seiring dengan posisi negara ini dalam level negara terkorup, penegakan hukum pemberantasan korupsi pun lemah. Korupsi bahkan merasuki institusi pengawal hukum tersebut. Poin inilah yang dicatat sebagai salah satu kelemahan mendasar Pemberantasan korupsi, “penegak hukum justru menjadi institusi yang dinilai koruptif.” Perhatikan temuan Global Corruption Barometer (GCB) dari tahun 2004-2008.
Namun, harapan publik yang hampir jatuh ke titik nadir, tumbuh kembali KPK terlihat serius membongkar praktek busuk korupsi. Gubernur yang selama ini bahkan tak mampu disentuh Kejaksaan, ditangkap untuk pertama kali (Aceh, 2004). Bahkan, hingga tahun 2008. Pasca pergantian komisioner, KPK seperti tancap gas. Dalam satu tahun mampu menjerat tujuh anggota DPR-RI. Sebuah tindakan yang hampir tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Harus diakui, tahun 2008 dapat menjadi awal dari harapan dan “kabar baik” pemberantasan korupsi. Peningkatan jumlah penanganan perkara, baik oleh Kejaksaan ataupun KPK menjadi satu catatan yang patut diapresiasi. Gegap gempita pemanggilan sejumlah saksi yang seringkali meningkat statusnya menjadi tersangka, dan penahanan sejumlah penyelenggara negara didukung oleh Pers yang kuat. Jika tahun-tahun sebelumnya hanya nama KPK yang terdengar, tahun ini Kejaksaan pun seperti berupaya memoles diri. Namun, bagaimana ICW menilai secara lebih mendalam penanganan perkara korupsi tersebut? Sayangnya, jika dicermati lebih jauh, pemberantasan korupsi di tahun 2008, lebih mirip “pemadam kebakaran” dibanding, sebuah perang besar terhadap korupsi.
KPK 2008
Pada tahun ini, tercatat KPK menangani 47 kasus dalam tahap penyidikan dan pelimpahan ke Pengadilan, serta 33 kasus yang divonis di tahun 2008, atau total 80 kasus. Pengadaan barang dan Jasa masih jadi modus utama, yakni 34 dari 80 kasus (42,50%); Penyalahgunaan Anggaran 17 kasus; Penyuapan 15 kasus; dan Pungutan Liar 14 kasus. Yang menarik, kasus dominan terkait suap pada pejabat negara dan kasus dengam kerugian negara diatas 80 miliar (11,25%).
Dibandingkan dengan Kejaksaan dan Kepolisian, KPK dinilai lebih baik dalam hal memilih kasus-kasus strategis. Posisi sebagai triger mechanisme menjadikan lembaga ini harus benar-benar menempatkan perkara besar dan secara langsung membahayakan publik atau perekonomian negara sebagai indikator. Setidaknya ada sejumlah kasus utama yang telah ditangani KPK, yakni: Skandal Aliran dana YPPI, Suap Ketua Tim BLBI Kejaksaan Agung dalam kasus BLBI Sjamsul Nursalim, suap yang melibatkan pimpinan Komisi Yudisial dan Komisioner KPPU, gratifikasi dalam Alih Fungsi Hutan, dan kasus yang melibatkan sejumlah anggota DPR aktif menjadi catatan gemilang KPK di tahun 2008.
Putusan 33 kasus di tahun 2008 yang diproses di Pengadilan Tipikor pun, tidak satupun divonis bebas. Rata-rata vonis adalah 4,5 tahun dengan, catatan tertinggi adalah penjara 15 tahun untuk Urip Tri Gunawan. Sangat kontras dengan Peradilan Umum, yang tercatat sangat tinggi membebaskan terdakwa kasus korupsi. Dari tahun 2005 – Juni 2008, setidaknya 482 terdakwa kasus korupsi divonis bebas. Sekitar hampir 50% dari 1184 yang terpantau oleh ICW. Rata-rata vonis di peradilan umum pun hanya 20 bulan, dan sekitar 6,4 bulan di tingkat Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan berbanding terbaliknya komitmen KPK dan Pengadilan Tipikor dengan Kepolisian-Kejaksaan dan Peradilan Umum.
Akan tetapi, KPK bukan tanpa catatan. Aktor yang dijerat masih belum menyentuh jantung kekuatan koruptif. Kendati KPK sudah masuk pada sektor Legislatif yang dianggap "sakti" di tahun-tahun sebelumnya, enggannya Komisi menjerat anggota DPR dari fraksi PDIP menjadi pertanyaan penting terkait dugaan politisasi penanganan kasus korupsi. Pengakuan dan Laporan Agus Chondro, misalnya.
Kasus yang terang benderang ini, justru ditanggapi Ketua KPK, Antasari Azhar sebagai perkara yang tidak cukup bukti untuk ditingkatkan ke Penyidikan. Padahal, publik menjadi saksi, Agus Chondro sudah mendatangi KPK berkali-kali, memberikan sejumlah bukti dan keterangan terkait dugaan gratifikasi dalam pemilihan Deputi Gubernur BI, Miranda Gultom. Beberapa anggota DPR lainnya yang menerima, juga telah mengembalikan uang gratifikasi tersebut pada KPK. Bahkan, lembaga intelijen keuangan yang berkwenangan penuh melihat arus uang dan transaksi perbankan bermasalah seperti PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sudah menyatakan, ada sejumlah temuan aliran uang dari BII pada sejumlah anggota DPR saat itu.Tapi, bagaimana mungkin KPK menyatakan tidak cukup bukti?
Politisasi kasus korupsi seperti inilah, yang diperkirakan akan memperburuk citra KPK ke depan. Pemberantasan korupsi yang diskriminatif tidak berdasarkan equality before the law, justru akan memposisikan penegak hukum sebagai alat kekuasaan politik partai atau kelompok berkuasa. Analisis korelasi antara fraksi besar di DPR dengan jangkauan penegak hukum terhadap kader-kadernya menjadi titik terang persoalan tahun 2008.
Tidak tuntasnya penanganan kasus menjadi catatan kedua terhadap KPK. Dibalik segudang prestasi lembaga ini, penanganan kasus yang sepotong-sepotong sesungguhnya menyisakan bom waktu. Ia tetap akan menjadi ancaman. Detterence effect atau efek jera yang diharapkan muncul dari penanganan kasus oleh KPK sebagai trigger mechanism tidak begitu efektif karena kelemahan ini.
Kejaksaan-2008
Soal peningkatan jumlah perkara yang ditangani, bukan hanya KPK yang harus diapresiasi, Kejaksaan pun demikian. Dalam Laporan Kejaksaan pada Hari Anti Korupsi Internasional (09/12), misalnya. Pada tahun 2007, ditangani 636 kasus, sedangkan sampai dengan November 2008 meningkat menjadi 850 kasus. Peningkatan ini tentu saja terlihat maksimal dari aspek kuantitas.Namun, sayangnya tidak pernah dijelaskan. Apakah kasus yang ditangani merupakan kasus strategis, berapa perbandingan antara laporan yang masuk dengan kasus yang ditangani, dan sebenarnya berapa rata-rata kerugian negara dari semua kasus tersebut.
Selain itu, disamping kualitas kasus yang diragukan, disain dan strategi anti korupsi kejaksaan agaknya juga patut dipertanyakan. Sejumlah perkara strategis seperti BLBI, BPPC Tomy Soeharto, VLCC Pertamina, PLTU Borang, justru di SP3 atau dihentikan. Ke depan, Kejaksaan pun terlihat tidak punya roadmap dan skala prioritas yang jelas dalam pemberantasan korupsi.
Dari aspek pengembalian Uang Negara, di klaim setidaknya Rp. 8 triliun dan USD 18 juta telah diselamatkan. Sepintas, jika ini benar, tentu Kejaksaan patut dinobatkan sebagai panglima pemberantasan korupsi tahun ini. Namun, data tersebut agaknya patut dikoreksi. Berdasarkan Audit BPK dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004 – Semester 1 2008, justru pengembalian uang negara yang masuk ke kas negara hanya RP. 382 miliar.
Jumlah yang mengejutkan dibanding klaim Kejaksaan. Setelah dicermati, ternyata dalam Audit BPK Semester 1 tahun 2008, dilaporkan Kejaksaan belum menyetorkan RP. 7,72 triliun “pengembalian kerugian Negara” pada Kas Negara. Padahal, menurut Pasal 16 UU 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara semua penerimaan institusi atau departemen harus disetor ke Kas Negara.
Bahkan, Depkeu menyatakan tidak mengetahui adanya 14 rekening titipan di Kejaksaan Agung, dan 38 rekening diduga tidak didukung administrasi lengkap. Fenomena rekening "tak bertuan" atau sering disebut "rekening liar" tersebut sangat disayangkan masih terjadi di Institusi penegak hukum seperti Kejaksaan.
Aktor Penghambat
Tidak maksimalnya kinerja penegakan hukum, doperparah dengan sikap resistensi sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Dalam banyak hal, para wakil rakyat ini justru berdiri pada posisi mengancam dan menghambat pemberantasan korupsi. Setidaknya, terdapat lima poin besar terkait resistensi DPR ini.
Pertama, sikap, serangan balik dan bahkan rencana revisi kewenangan penyadapan pada UU KPK pasca mulai banyak anggota DPR yang diperiksa dalam kasus korupsi. Kedua, penghapusan eksistensi Hakim Ad Hoc pada revisi UU Mahkamah Agung. Hal ini salah satunya, tentu saja dapat dilihat bagian dari ancaman terhadap keberadaan Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Mahkamah Agung yang sering menjatuhkan vonis berat terhadap koruptor. Ketiga, sikap pro-status quo mayoritas fraksi untuk memperpanjang usia pensiun Hakim Agung menjadi 70 tahun, yang sama saja sebagai sikap anti perubahan, anti regenerasi dan anti perbaikan di puncak kekuasaan kehakiman ini.
Keempat, upaya mempertahankan klausul kewajiban adanya “izin pemeriksaan” bagi anggota MPR DPR, DPD, dan DPRD dalam proses pemeriksaan tindak pidana. Berlindung dibalik logika “Imunitas Legislatif”, sikap itu justru menganulir asas semua orang dianggap sama didepan hukum dan mengarah pada strategi “kebal hukum”. Dan, Kelima, lambatnya pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor.
Dengan segala catatan diatas, evaluasi pemberantasan korupsi di tahun 2008 pada akhirnya sepintas menjadi catatan positif, namun sekaligus mencemaskan. Gegap gempita penangkapan tersangka kasus korupsi dan vonis tertinggi selain kasus Dicky Iskandardinata dan peningkatan jumlah kasus ditangani membuat masyarakat dapat kembali berharap dengan pemberantasan korupsi. Namun, kasus BLBI yang tak kunjung selesai, politisasi pemberantasan kasus korupsi dan tidak tuntasnya penanganan perkara justru berpotensi melindungi sejumlah aktor “koruptor” utama. Tentu saja kronik ini mengarah pada bencana penegakan hukum ke depan.
Febri Diansyah, Peneliti Hukum di Indonesia Corruption Watch
Sumber: Suara Merdeka, Selasa, 23 Desember 2008