Oleh : Faruk HT
Setidaknya tiga berita tentang korupsi yang dimuat Kompas membuat kita risau, yaitu ”Kepercayaan Publik Dicederai”; Tajuk Rencana, ”Percakapan yang Menyentak”; dan ”Yudhoyono: Upaya 5 Presiden Berhenti di Tengah Jalan”.
Dua artikel pertama mempersoalkan percakapan telepon Artalyta Suryani dengan dua jaksa agung muda yang mengindikasikan ada ”jual-beli” keadilan di lingkungan penegak hukum Indonesia. Sementara artikel ketiga memuat pernyataan Presiden Yudhoyono tentang upaya pemberantasan korupsi. Ketiga artikel itu mengimplikasikan rumitnya jaringan korupsi di Indonesia sehingga membingungkan dan susah diberantas.
Pertanyaan yang diajukan ”Tajuk Rencana”, ”Apa yang sedang terjadi di negeri ini?”, merupakan pertanyaan retoris karena sebenarnya sudah diketahui jawabannya dan tidak merasa heran dengan kejadian itu.
Pertanyaan itu baru benar-benar merupakan pertanyaan jika dikaitkan dengan artikel ketiga. Mungkinkah presiden keenam Indonesia mampu menghadapi kerumitan jaringan korupsi dan mafia peradilan yang menggagalkan lima presiden sebelumnya? Jawabannya bisa positif atau negatif. Namun, bila upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak menyentuh akar persoalan, kemungkinan besar usaha itu akan gagal. Lalu, di mana akar persoalannya?
Artikel ini mencoba menempatkan akar masalah pada kebudayaan. Percobaan ini sudah lama dilakukan, baik secara serius maupun sambil lalu. Melalui buku, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Koentjaraningrat melihat korupsi sebagai akibat sikap mental masyarakat Indonesia yang suka ”menerabas”, sikap mental yang terkait orientasi hidup masa kini.
Selain itu, berulang kali media memuat pernyataan berbagai pihak, termasuk pejabat, tentang ”budaya korupsi”, ”korupsi yang sudah membudaya”, dan sebagainya. Sayang, ungkapan-ungkapan itu tidak disertai pengertian yang jelas. Budaya korupsi hanya bisa dirasakan semua orang, tetapi tidak pernah dapat dirumuskan. Akibatnya, ungkapan itu tidak dapat dijabarkan menjadi strategi dan program pemberantasan korupsi.
Syukuran
Dalam artikel ini, budaya korupsi dipahami sebagai sebuah sistem dan proses yang melembaga, yang memungkinkan bahkan mendorong terbentuk dan terjadinya sikap dan perilaku korupsi. Sebagai sistem budaya, korupsi mengandung berbagai kekuatan material ataupun ideologis yang saling berhubungan satu sama lain untuk membentuk dan melahirkan sikap dan perilaku korupsi.
Sistem budaya korupsi itu menjadi bagian integral dari sistem sosial dan budaya secara keseluruhan dengan segala kekuatan material maupun ideologisnya. Sebagai proses, budaya korupsi yang membentuk dan mendorong sikap dan perilaku korupsi itu terus berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, baik melalui berbagai aktivitas diskursif, fisik, maupun simbolik.
Sebagai contoh dapat dilihat sebuah institusi sosial yang amat kuat dan terus bekerja dalam praktik kehidupan sehari-hari, yaitu institusi yang disebut ”syukuran” beserta berbagai konsep dan praktik yang menyertainya. Syukuran adalah sebuah ritual yang sering dilakukan setiap saat seseorang merasa mendapat rezeki, keberuntungan, atau keberhasilan dalam mencapai apa yang diinginkan. Memang, syukuran bersifat sukarela, tetapi selalu ada tekanan dari masyarakat, saudara, tetangga, teman sejawat, atau siapa pun yang sering memaksa seseorang untuk melakukannya.
Sangsi sosial yang biasa diterima oleh orang yang tidak melakukan ritual itu, antara lain, adalah tuduhan ia pelit, tidak bersyukur, dan sebagainya. Namun, institusi syukuran ini tidak terbatas semacam upacara syukuran itu saja. Institusi ini juga bekerja dalam aktivitas dan interaksi sosial dan simbolik sehari-hari. Seseorang yang mendapat rezeki, keberuntungan, dan sejenisnya biasanya mengucapkan berbagai ungkapan yang menyatakan rasa bersyukurnya.
Terkait institusi-institusi sosial lainnya, institusi syukuran terutama terkait agama dengan segala aktivitas material dan simboliknya. Bagi orang Indonesia, melakukan syukuran dan mengucap syukur dianggap sebagai kebaikan, sesuatu yang seharusnya dilakukan. Namun, justru karena anggapan demikian, masyarakat Indonesia tidak menyadari kemungkinan efek negatifnya, terutama terkait masalah korupsi.
Korupsi yang dianggap jahat dan musuh semua umat manusia bersembunyi di sebuah institusi sosial yang justru dianggap amat baik dan mulia. Begitu pandainya bersembunyi, begitu amannya tempat persembunyiannya, sehingga tidak seorang pun berani menyentuhnya. Hampir seperti maling yang bersembunyi di rumah atau kantor polisi.
Institusi syukuran pada dasarnya memotong kontinuitas antara kerja dan hasil kerja. Kenyataan ini mengimplikasikan dua hal. Pertama, orang dapat dengan senang hati menerima rezeki tanpa bekerja, antara lain dengan memberi judgment ”sudah rezekinya” dan dengan ikhlas tidak mendapat imbalan meski sudah bekerja, antara lain berupa judgment ”belum rezekinya”.
Kedua, korupsi dapat dimasukkan ke dalam kecenderungan pertama: menerima rezeki tanpa bekerja, mendapat imbalan yang bukan haknya. Semua itu mendapat legitimasi cultural dari institusi sosial bernama syukuran.
Perlu identifikasi
Memang, masih banyak kekuatan material maupun ideologis, proses sosial yang berlangsung secara intensif dan ekstensif, yang memengaruhi dan memberi legitimasi pada korupsi.
Budaya warisan kolonial yang oleh Clifford Geertz disebut sharing poverty mempunyai kemungkinan demikian. Begitu juga budaya lisan yang menempatkan subyek lebih penting daripada obyek, budaya lisan yang membuat apa yang disebut negara- bangsa, kebangsaan, dengan segala institusinya belum berhasil menjadi imagined community dalam pengertian Ben Anderson.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberi kesimpulan final tentang budaya korupsi. Apa yang ingin disampaikan hanya semacam isyarat, masalah yang disebut budaya korupsi perlu identifikasi dan kajian serius jika kita ingin menemukan akar persoalan dari rumitnya masalah korupsi di Indonesia sebagaimana dinyatakan tiga artikel Kompas itu.
Faruk HT, Direktur Pusat Studi Kebudayaan (PSK) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Rabu, 25 Juni 2008