Oleh Benjamin Mangkoedilaga
Penampilan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa di televisi dan wawancara pada majalah Tempo (8 Februari 2009) membawa harapan dan optimisme.
Dialog empat mata—penulis dan Harifin Tumpa (7/2/2009)— menguatkan optimisme itu. Kami sependapat dengan Ketua MA sebelumnya, Bagir Manan, bahwa Ketua MA sekarang tidak perlu digurui. Jam terbang sebagai hakim sudah cukup lama, 40 tahun. Belum lagi posisi- posisi yang pernah didudukinya sebagai ketua pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan jabatan struktural eselon I di MA.
Bebas intervensi
Namun, di tengah harapan dan optimisme itu, ada catatan-catatan tercecer, misalnya masih banyak putusan ringan lembaga peradilan kita terhadap koruptor, bahkan putusan-putusan semacam ini telah dikeluarkan MA. Disepakati, apa pun putusan dari seorang hakim, tentu diambil dan dikeluarkan berdasarkan pertimbangan dan alasan matang. Kami berpendapat, jika semua yang diajukan ke pengadilan harus dihukum, maka lembaga itu bukan lembaga peradilan, tetapi suatu panitia untuk menghukum siapa pun yang diajukan. Produk seorang hakim pidana tidak lain adalah menghukum atau membebaskan seorang terdakwa yang diajukan meski ada klausul dengan hukum percobaan.
Antara nurani dan kemampuan akademis seorang hakim harus sejalan. Jika tidak, akibatnya adalah kegundahan, sakit, stres, dan lainnya. Sama fatalnya dan sama dosanya menghukum orang tidak bersalah dan membebaskan orang yang sebenarnya bersalah.
Memang ada pendapat, putusan seorang hakim yang baik adalah yang secara akademis dan sosiologis dapat dipertanggungjawabkan dan dapat diterima masyarakat menurut tempat dan waktunya.
Namun, ada kalanya terjadi, seorang hakim harus mengeluarkan putusan yang katanya bertentangan dengan arus, bertentangan dengan orasi demonstran yang dihadapi, bahkan kontroversial, bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang dapat menyebabkan hakim itu diusulkan dikenai sanksi, dimutasi, atau dipecat (Otobiografi Poerwoto Gandasoebrata, Ketua Mahkamah Agung yang Ke-8).
Memang putusan prima seorang hakim, kecuali berisi hal-hal yang itu, juga merupakan putusan yang bebas intervensi dari mana pun dan apa pun bentuknya. Bebas dari penguasa, pemerintah, atasan, materi, uang dan sebagainya.
Kini banyak reaksi dari masyarakat terkait dengan aneka putusan yang menangani korupsi. Meski demikian, hakim tidak perlu ragu dalam menangani kasus korupsi apabila harus menentang arus, asal yakin dan sesuai dengan nurani, bersih dari segala intervensi, terutama intervensi uang. Memang dari waktu ke waktu lembaga peradilan dan para hakim akan menghadapi masalah yang sama.
Coba kaji putusan Mahkamah Tentara Agung 21 Mei 1948 (peristiwa 3 Juli 1946) yang penuh nuansa saat kita merebut dan mengisi kemerdekaan. Juga amati aneka putusan saat kita dirongrong Belanda yang tidak bisa menerima kemerdekaan Indonesia. Hakim Maengkom dan Ro`jani Suud dengan cantik menguraikannya dalam perkara dengan sejumlah terdakwa, seperti Jungslager, Smidth, dan Baden. Meski dalam perkara Jungslager belum sempat dikeluarkan putusan karena terdakwa meninggal dunia satu minggu sebelum putusan.
Demikian juga putusan yang mendukung usaha pemerintah melawan pihak yang merongrong eksistensi negara Republik Indonesia (Serikat). Begitu pula saat menghadapi pemberontakan. Simak putusan Hendrotomo dan kawan-kawan dalam perkara- perkara Soumokil, Kartosoewiryo, dan Ibnu Hajar. Apalagi saat menghadapi komunis, tak satu hakim pun berani membebaskan Untung, Nyono, dan Pranoto (mantan Dandim Pandeglang).
Siapkan sapu yang bersih
Sebagai bangsa, kita bertanya. Apa tantangan yang kini kita hadapi? Jawabannya, kebodohan, kemiskinan, terutama korupsi! Maka, usaha pemerintah yang ingin memberantas korupsi harus didukung, termasuk mendukung lembaga peradilan dengan MA sebagai puncaknya.
Dalam rangka pemberantasan korupsi yang katanya dipimpin presiden sebagai panglima, maka tugas kita, segenap aparatur negara, termasuk lembaga peradilan, adalah seperti pelaksanaan “the duty of soldier is to make the mission of his officers success”.
Kepada para koruptor yang diajukan ke pengadilan, seyogianya dikenai hukuman berat, ditangani para hakim profesional yang, menurut Adi Andojo Soetjipto, adalah para hakim yang berjiwa sebagai hakim sejati, bukan hakim berjiwa broker, komersial, dan seterusnya.
Jika masih ada suara-suara miring atau tidak sedap terhadap lembaga peradilan, termasuk MA, tugas kita semua untuk menghilangkannya. Kiranya kepolisian atau kejaksaan melalui aparat intelijen secara profesional (apalagi sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi yang prestisius) dapat menelusuri sumber suara miring itu.
Ketika penulis menjadi anggota Komnas HAM dan ditugaskan ke Ambon dan Poso bersama Albert Hasibuan, Koesparmono Irsan, Clementine dos Reis Amaral, dan lainnya, yang pertama dilakukan adalah dialog dengan KASI maupun asisten intel dari polres, kodim, polda, atau kodam yang terkait guna menelusuri prolog-prolog yang terjadi dalam rangka penyelesaian masalah.
Memang dalam menciptakan lembaga peradilan yang bersih, terlebih dahulu harus disiapkan sapu-sapu yang bersih. Dengan aparatur kepolisian dan kejaksaan yang bersih, pasti terwujud lembaga peradilan yang bersih pula.
Ini semua sekadar sumbangan pemikiran dalam rangka menciptakan lembaga peradilan/MA yang lebih terhormat pada masa kini. Selain itu, karena sudah menjadi putusan DPR dan pemerintah, maka tidak relevan lagi mempersoalkan perpanjangan masa tugas hakim agung hingga berusia 70 tahun. Biarlah itu semau menjadi catatan sejarah di masa lalu dan kita menatap masa depan dengan satunya kata dan perbuatan.
Bagaimanapun, kita semua mempunyai obsesi, bisa melihat dan merasakan peradilan atau MA yang terhormat dan dihormati, bukan sebaliknya.
Benjamin Mangkoedilaga, Mantan Hakim Agung; Ketua Bersama Komisi Kebenaran dan Persahabatan RI-Timor Leste; Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia; Dosen FH Trisakti dan Bhayangkara
Sumber: Kompas, Selasa, 17 Februari 2009