Memecah Belah Siklus Korupsi

Oleh Ivan Wibowo

Rezim pemberantasan korupsi Indonesia sejak dulu sehingga saat ini pada dasarnya adalah sebuah keseimbangan, ketika penerima uang dan pemberi uang sama-sama dipersalahkan. Penerima uang tentunya adalah aparat atau pejabat pemerintah. Anehnya, justru karena keseimbangan itu, ketika pemberi dan penerima sama-sama buntung, secara tidak sengaja justru telah membungkus rapi begitu banyak korupsi.

Begini ceritanya, karena sama-sama "bersalah", daripada sama-sama dipenjara, lebih baik sama-sama mengatur diri untuk tetap aman. Jangan menuduh yang lain, karena berakibat pada diri sendiri. Kalau Anda menuduh aparat menerima uang dari Anda, aparat itu jelas salah dan harus dipenjara. Tapi jangan terburu nafsu. Uang yang diterima aparat itu adalah pemberian dari Anda, dan itu berarti Anda juga salah dan harus dipenjara.

Keadaan tersebut membuat jumlah orang yang bersedia melaporkan aparat yang telah menerima uang (dan disertai bukti sesuai dengan persyaratan hukum) menjadi sangat sedikit. Mereka yang mau "bernyanyi" pada dasarnya adalah mereka yang telah menjadi pesakitan dan putus asa. Daripada sendirian di penjara, maka mereka mencari pendamping.

Saling tuding di atas sebenarnya jarang terjadi dalam praktek. Yang sering terjadi adalah pemberi uang merasa bersyukur bahwa dirinya telah dibantu oleh penerima uang. Ada juga yang ngomel, tapi sedikitlah. Itu untuk kelas teri. Untuk kelas kakap, lain lagi ceritanya. Penerima uang dianggap sebagai Sinterklas. Saat jadwal hari baik tiba, Sinterklas datang memanggul karung berisi amplop. Tentu dia tidak datang melalui cerobong asap, tapi safari dari pintu ke pintu, dari kamar ke kamar, dari lantai ke lantai. Percayalah, semua tersenyum bahagia pada hari itu.

Penting diingat bahwa kisah sukses Komisi Pemberantasan Korupsi, ketika pemberi dan penerima uang korupsi secara bersamaan dapat ditangkap, pada dasarnya jumlahnya sangat sedikit dibanding keseluruhan koruptor yang ada di negeri ini. Proses sampai bisa mendapatkan informasi sangat ruwet, memakan banyak waktu dan tenaga untuk mengintai, menguntit, serta mengintip. Perlu berbulan-bulan untuk bisa menangkap mereka. Ini sepenuhnya hanya menyandarkan pada idealisme penyelidik. Keadaan harus berubah agar dapat "bernyanyi" tanpa menjadi pesakitan.

Ketidakseimbangan

Karena itu, keseimbangan ini perlu dibuat menjadi ketidakseimbangan, yaitu pemberi uang tidak dipidana, sedangkan penerima uang harus dipidana. Ketidakseimbangan ini secara sistematis akan membawa perubahan. Apabila pemberi uang tidak didefinisikan sebagai melakukan tindak pidana, dia tidak akan dipenjara. Karena itu, dia dapat dengan tanpa beban untuk berkeliling dan bernyanyi ke mana-mana tentang perbuatannya tersebut.

Nyanyian itulah yang kita perlukan, yaitu karena akan menyulitkan posisi penerima uang. Aparat akan berpikir seribu kali untuk menerima uang korupsi itu. Mengapa? Karena nyanyian pemberi uang dapat mengantar penerima uang ke penjara. Buntutnya, kehadiran setiap pemberi uang akan dianggap sebagai setan yang sedang menebar petaka. Harus ada sistem yang secara permanen dapat membangkitkan benturan kepentingan antara pemberi uang dan penerima uang. Kedua pihak ini harus dibuat saling curiga secara terus-menerus.

Kalaupun ada yang lolos dari kepungan, saat pencegahan itu gagal, penegak hukum tetap akan lebih mudah melaksanakan tugasnya. Hal ini karena keadaan tanpa beban dari pemberi uang, hal mana berarti mudahnya mendapatkan saksi dan bukti yang lain. Saksi tidak perlu khawatir akan dipenjara. Akan banyak yang antre untuk melaporkan dan menjadi saksi. Tanpa alat bukti, tidak ada penangkapan.

Keberatan

Ketidakseimbangan itu akan dipertanyakan sebagai ketidakadilan. Bersama menikmati, mengapa hanya satu pihak yang menanggung akibatnya? Apakah adil? Jawabannya tergantung dari mana Anda melihatnya. Mari kita bahas lebih lanjut.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, sistem keseimbangan akan membungkus rapat korupsi dari dua pihak. Jadi untuk menangkapnya akan sangat sulit. Karena itu, daripada tidak dapat sama sekali, atau sangat sedikit yang bisa ditangkap, ketidakseimbangan menjadi jauh lebih baik. Walaupun hanya mendapatkan satu pihak, jumlahnya akan jauh lebih banyak.

Dari kedua pihak itu, mari kita pilih satu yang paling penting untuk diprioritaskan untuk dipenjarakan. Penerima uang adalah penyelenggara negara yang pada dasarnya bertugas menjadi penjaga sistem. Mereka dibayar oleh negara dan hidup di bawah sumpah. Menolak pemberian uang korupsi adalah tugas mereka. Bagaimana sistem bisa dijalankan apabila mereka menerima uang korupsi yang pada dasarnya memang untuk "merusak sistem". Karena itu, mereka adalah pihak yang paling penting untuk dijaga kebersihannya.

Selain itu, jauh lebih mudah menjaga perilaku penerima uang sebagai penyelenggara negara ketimbang menjaga perilaku pemberi uang. Pemberi uang bisa datang dan pergi dari mana saja, kapan saja. Sedangkan penerima uang tidak akan beranjak dari tempatnya, ya, kantornya dia itu. Apabila penerima telah berada dalam keadaan bersih, pihak pemberi uang akan hilang dengan sendirinya.

Karangan ini adalah sebuah pemikiran awal. Aparat yang terklasifikasi bersih tidak akan khawatir dan dengan sendirinya akan tampil ke permukaan. Lebih dari itu, mari kita mengandalkan sistem untuk memberantas korupsi, lebih dari sekadar bertumpu kepada idealisme personal KPK. Sistem itu adalah ketidakseimbangan, de-kriminalisasi pemberi uang. Pada dasarnya ini adalah devide et impera pada stakeholder dalam siklus korupsi. Devide et impera akan menghemat energi negara dan menghabiskan energi koruptor.

Ivan Wibowo, Advokat di Jakarta

Sumber: Koran Tempo, Selasa, 16 Desember 2008
-

Arsip Blog

Recent Posts