Korupsi Ooohh di Pekanbaru

Oleh Tabrani Rab

Mengejutkan, ”Survei Transparancy International Indonesia (TII) Pekanbaru terkorup ke-6”. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2008 (10 kota dengan skor terendah); Cirebon 3,82; Pontianak 3,81; Bandung 3,67; Padang Sidempuan 3,66; Pekanbaru 3,55; Purwokerto 3,54; Kendari 3,43; Monokwari 3,39; Tegal 3,32 dan Kupang 2,97.

Variabel penyusunan IPK Pekanbaru; Variabel persepsi suap (izin usaha 3,10, utilitas publik 3,83, pembayaran pajak 5,48, kontrak proyek publik 3,77, keputusan hukum 3,60, mempengaruhi kebijakan 3,69, mempercepat birokrasi 2,33; Persepsi penyimpangan aparat (kecurangan di Pemda 2,37 dan konflik kepentingan 2,87); Persepsi memberantas korupsi (usaha Pemda 4,10 dan usaha penegak hukum 3,92).

Survei TII terbaru (2008) yang dirilis, Senin (23/2) cukup mengejutkan. Pekanbaru dipersepsikan sebagai daerah terkorup ke-6 atau peringkat ke-45 dari 50 kota yang disurvei. Pekanbaru hanya ‘’menang” dari Kupang yang dipersepsikan terkorup, lalu Tegal, Manokwari, Kendari, dan Purwokerto.

Sepuluh besar terkorup lainnya adalah Padang Sidempuan, Bandung, Pontianak dan Cirebon. Sedang kota yang dipersepsikan dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) skor tertinggi atau dengan kata lain tak terkorup adalah Jogjakarta dengan IPK 6,43. IPK Pekanbaru sendiri turun drastis jadi 3,55 pada tahun 2008 dari survei tahun 2006 sebesar 4,43. ”Ini bukan vonis bagi kota ini sebagai terkorupsi. Memang ini tak bisa dibuktikan, karena korupsi memang dilakukan diam-diam. Masyarakat dan pengusahalah yang merasakannya dan itu disampaikan dalam survei yang kami lakukan,” ujar Ketua Dewan Pengurus TII, Todung Mulya Lubis dalam Seminar Sosialisasi Indeks Persepsi Korupsi 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik di Indonesia yang diadakan di Hotel Aryaduta, Pekanbaru.

Terkait rendahnya IPK Pekanbaru, Deputi Bidang Pengawasan Kementrian Negara PAN, Ir Gunawan Hadisusilo MM mengungkapkan Pejabat Pemko Pekanbaru tak perlu marah. Sebab hasil survai TII adalah potret dan diharapkan jadi motivasi untuk dilakukan berbagai perbaikan. ”Jika Pekanbaru ingin IPK-nya baik, perbaiki pelayanan publiknya. Prioritas pelayanan administrasi kependudukan, seperti membuat KTP, akte kelahiran, catatan sipil,” saran Gunawan. Di mata internasional, IPK Indonesia tahun 2008 tentang kemudahan berbisnis berada di urutan 127, atau di bawah Singapura, Thailand, Malaysia, Cina, Vietnam dan India. “Kita hanya lebih baik sedikit dari Kamboja. Oleh sebab itu masih perlu berbagai pembenahan dan tak cukup menangkap koruptor”, katanya.

Menanggapi rendahnya IPK Pekanbaru, pengamat Ekonomi Riau, Edyanus Herman Halim mengungkapkan akibat masih rancunya proses otonomi dan desentralisasi fiskal di Indoneisa. Hal lain adalah ada kekurang-ikhlasan memberi kewenangan pada daerah secara bertanggung jawab. Akibatnya terjadi negosiasi pusat-daerah yang memicu tumbuh suburnya wilayah abu-abu untuk negosiasi serupa di daerah. “Pemerintah pusat juga masih lemah dalam pengontrolan karena berperilaku yang tak dapat diteladani aparat daerah. Kemudian aturan main di daerah tak dibangun berdasarkan kepentingan rakyat. Aparat penegak hukum juga kurang tegas dan masih teratas dalam hal korupsi,’’ kritik Edyanus.

Kepala Inspektorat Pengawas Pekanbaru, Kastalani Rachman, yang kebetulan hadir sebagai peserta mengaku heran dengan hasil survei yang dilakukan TII, yang meletakkan Pekanbaru dengan IPK sepuluh besar terendah. Padahal Pekanbaru termasuk kota pilot proyek pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga berbagai pembenahan terus dilakukan. Di antaranya dari Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) jadi Dinas Pelayanan Terpadu (DPT). Wali Kota Pekanbaru, Herman Abdullah sudah mengeluarkan surat keputusan yang menegaskan dinas tak boleh memungut insentif dari masyarakat yang dilayani. Ini sesuai semboyan Pemko, murah, berkualitas dan gratis.

Pekanbaru yang selama ini termasuk Kota Bertuah telah pula didengar menjadi Kota Berkuah. Memang selama ini kita merasakan Pekanbaru tercantiklah sebagai Kotamu, Kotaku, Kotakita walau selama Wali Kota yang sekarang kecuali gambar yang besar-besar saja dan gambar berpeluk tak lagi banyak cerita. Kecuali jadwal sembahyang Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, Isa tergambar tulisan berjalan pada jembatan entah di muka taman kita, entah di muka Wali Kota, pokoknya banyaklah. Todung Mulya Lubis inipun tak tahu adat Melayu walau sekolahnya di SMA 1 Pekanbaru dan sekarang tersingkir dari advokat.

Apalagi kata Todung? ”Memang mungkin pejabat Pekanbaru tidak happy atau marah karena IPK ini. Namun itu biasa dan kami hadapi di tiap daerah yang IPK-nya kurang. Dibanding negara lain Indonesia termasuk memiliki IPK yang masih sangat rendah. Terdapat kenaikan IPK dari 2,3 tahun 2007, menjadi 2,6 tahun 2008. Padahal range IPK ini adalah antara 0 hingga 10. IPK tertinggi ada pada Finlandia yakni 9,7. Kita harap dari tahun ketahun IPK Indonesia terus naik. Untuk 2009 kita berharap bisa di atas tiga”.

Mestinya kan Todung bilang begini ”Pak Wali, bukannya kami tak merasa hormat dengan Pak Wali walau sekarang terasa bersih dan berisik dan penuh dengan gambar-gambar segala artis mulai dari mata coleng sampai hidung pesong. Walau Pak Wali entah dapat apa dari Presiden dan ditantangkan pula pada khalayak ramai diapangan jaga Kantor Wali Kota, kan boleh juga kami membuka sesuatu yang tak enak”..... He..he... Kebetulan kali ini kena Pak Wali, nomor 6. Kalau jenderal nomor 5. Pokoknya anjuran saya sebagai orang yang sudah dituakan di Pekanbaru ini pandai-pandailah Pak Wali, jangan sampai diikut segala lonjakan hati akibatnya terduduk dan terkelepoi. Selamatlah Pak Wali kami di sini mendoakan supaya aliran Sungai Sail itu diteruskan, jembatan dibuat, sikit lagi putus hubungan Pekanbaru dengan sungai Siak. Alamat kita bersampan bersama...

Sumber: Riau Pos, Minggu, 01 Maret 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts