Oleh Emerson Yuntho
Kejaksaan Agung beberapa hari lalu mengeluarkan kebijakan terkait penanganan perkara korupsi. Yaitu, tidak ditahannya tersangka kasus dugaan korupsi yang mengembalikan uang kerugian negara saat penyidikan. Kebijakan tersebut dibuat dengan alasan untuk memaksimalkan pengembalian uang negara. (Jawa Pos, 18 Februari 2009).
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sedikitnya terdapat 10 tersangka yang mengembalikan keuangan negara saat prosesnya disidik Kejaksaan Agung. Beberapa di antaranya pengusaha properti Tan Kian dalam perkara korupsi dana Asabri. Ada juga Abdul Latief, Hasyim Sumiana, dan Usman Dja`far dalam perkara korupsi pengucuran kredit Bank Mandiri kepada PT Lativi Media Karya. Para tersangka itu tidak pernah ditahan.
Kebijakan kontroversial itu jelas merupakan langkah kompromi terhadap tersangka kasus korupsi dan justru kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi sehingga sudah selayaknya harus ditolak. Penolakan ini didasarkan sejumlah alasan.
Pertama, tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Seharusnya kebijakan pengusutan dan penindakan dalam kasus korupsi, selain berorientasi mengembalikan uang negara, juga bertujuan menimbulkan efek jera. Salah satunya menahan seseorang sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Tidak ditahannya tersangka korupsi (meskipun telah membayar kerugian negara) justru berdampak pada pengurangan efek jera atau bahkan tidak memberikan efek jera sama sekali.
Munculkan Deal
Kebijakan baru kejaksaan itu juga berpotensi memunculkan kesepakatan antara tersangka dan jaksa karena tersangka mengembalikan uang negara saat proses hukum sudah berlangsung. Dengan demikian, pengembalian uang negara yang dikorupsi itu memiliki motif tertentu.
Akibat lain, penanganan perkara korupsi jadi kehilangan efek menjerakan. Koruptor kaya akan dengan mudah mengembalikan uang hasil korupsi dan melanjutkan aktivitas bisnis seolah tidak memiliki persoalan hukum. Bagaimana dengan seorang koruptor miskin, yang melakukan korupsi hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup?
Kedua, penghitungan kerugian negara rawan masih menimbulkan perbedaan. Dalam setiap penanganan perkara korupsi proses penghitungan jumlah kerugian negara saat ini masih menimbulkan perbedaan penafsiran baik oleh kKejaksaan, badan pemeriksa keuangan (BPK), badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP), maupun pengadilan. Bukan tidak mungkin nilai yang dihitung kejaksaan jauh lebih kecil daripada penghitungan lembaga lain sehingga negara dirugikan jika putusan pengadilan memutus lebih besar. Menghitung kerugian negara lebih baik dilakukan di pengadilan.
Ketiga, penyerahan aset milik koruptor rawan dimanipulasi. Sejauh ini kebijakan pembayaran kerugian negara masih belum jelas apakah harus tunai atau aset atau dapat keduanya. Persoalan akan muncul apabila pengembalian kerugian negara ini dilakukan dalam bentuk aset. Bukan tidak mungkin aset yang diberikan oleh tersangka adalah aset bodong atau aset yang nilainya telah dinaikkan (markup).
Praktik ini sering terjadi dalam beberapa penanganan kasus korupsi dana bantuan likuidasi Bank Indonesia (BLBI). Mayoritas aset yang dijaminkan debitur BLBI pada saat dijual, nilainya dapat merosot hingga 70 persen. Proses penegakan hukum menjadi sulit dilakukan karena pelaku telanjur mendapatkan pengampunan dan dihentikan kasusnya.
Keempat, kebijakan tidak menahan tersangka yang mengembalikan uang hasil korupsi dikhawatirkan berlanjut pada kebijakan penghentian atau memetieskan suatu perkara korupsi atau mengalihkan pada kasus perdata. Kondisi ini bukan mustahil terjadi, meskipun UU Antikorupsi menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana atau kesalahan seseorang.
Dalam catatan ICW, terdapat beberapa kasus korupsi yang tersangkanya mengembalikan uang negara, namun kasusnya belum berujung ke pengadilan. Sebut saja kasus korupsi kredit macet Bank Mandiri dengan tersangka mantan menteri Abdul Latief. Sejak tersangka mengembalikan kerugian negara Rp 368 miliar pada Kejaksaan Agung pada 2007, namun hingga kini kasusnya belum juga dilimpahkan ke pengadilan.
Kelima, seharusnya Kejaksaan Agung dapat mencontoh langkah yang ditempuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada saat seseorang ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi, KPK langsung menahan tersangka, melakukan penelusuran aset (asset tracing), melakukan tindakan penyitaan aset milik tersagka, dan pencekalan pergi keluar negeri.
Keempat langkah yang diambil KPK tersebut justru efektif mengoptimalkan pengembaliaan uang negara yang dikorupsi. Penahanan yang dilakukan KPK juga tidak menyurutkan langkah tersangka untuk mengembalikan uang negara dengan harapan dapat pengurangan tuntutan hukuman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sedikitnya sudah ada 19 kasus di KPK, dan sejumlah tersangka korupsi meskipun ditahan tetap mau mengembalikan uang hasil korupsi yang diterimanya.
Kebijakan ditahan atau tidak ditahan seorang tersangka seharusnya bukan didasarkan tindakan tersangka mengembalikan atau tidak mengembalikan uang negara yang dikorupsi. Namun, kebijakan menahan atau tidak tersangka harus tetap berpedoman pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya pasal 21 ayat 1 tentang kebijakan menahan tersangka yaitu bila tersangka diyakini tidak akan mengulangi perbuatannya, tidak akan menghilangkan barang bukti, atau tidak akan melarikan diri.
Justru muncul kekhawatiran bila kebijakan tidak menahan bagi pelaku korupsi diterapkan. Hal ini akan membuka peluang bagi tersangka untuk mengulangi perbuatannya, menghilangkan barang bukti, atau bahkan melarikan diri ke luar negeri.
Jika pun dianggap sebagai penghargaan (reward) terhadap tersangka korupsi yang kooperatif dengan mengembalikan kerugian negara, langkah yang diambil kejaksaan bukan dengan cara tidak menahan pelaku korupsi. Namun, pengembalian uang hasil korupsi tersebut harus menjadi dasar bagi jaksa untuk meringankan tuntutan hukuman bagi pelaku. Sekali lagi, beri efek jera bagi koruptor dan jangan beri keistimewaan.
Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW di Jakarta
Sumber: Jawa Pos, Jumat, 27 Februari 2009