Metamorfosis Korupsi dalam Sastra: Kesaksian Sastrawan atas Korupsi Selama Dua Abad di Nusantara

Oleh: Saifur Rohman

Untuk kebutuhan analisis atas wacana runtuhnya satu orde dalam proyek kekuasaan, korupsi sering kali menjadi sebab musabab tak terelakkan. Sebagai ilustrasi, pada 31 Desember 1799, VOC selaku perkumpulan dagang Belanda di Hindia Timur dinyatakan bubar oleh Kerajaan Belanda. Kepanjangan dari tiga huruf itu tidak lagi Verenigde Oost Indische Compagnie (Persatuan Dagang Hindia Timur), melainkan Verbreken Omdat Corruptie (runtuh karena korupsi).

Hampir 200 tahun kemudian, 1998, Orde Baru yang tak tergoyahkan selama lebih dari tiga dekade akhirnya menyatakan dirinya bangkrut karena korupsi, yang lebih dikenal dengan singkatan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Tidak jauh beda, ketika berhadap-hadapan dengan kekuasaan, sastrawan bahkan melihat korupsi sebagai jalinan yang kait-mengait dengan jaring-jaring yang dibentangkan kekuasaan itu sendiri.

Pada tahun 1859, Multatuli atau Eduard Douwes Dekker memotret korupsi dalam novel Max Havelaar di sepanjang jajaran birokrat Hindia Belanda. Dari novel itu, tampak korupsi telah disistematisasi sedemikian rupa di Karesidenan Lebak sebagai perangkat yang turut memperkukuh hadirnya kekuasaan kolonial.

Hampir 50 tahun kemudian pada tahun 1901, sastrawan F Wiggers melalui Lelakon Raden Beij Soerio Retno melihat korupsi bukan sebagai pengukuh sistem kekuasaan yang sedang berlangsung, tetapi telah vis-a-vis dengan kekuasaan. Hal itu dialami oleh seorang kolektor, setingkat dengan kepala dinas perpajakan sekarang ini, yang memilih jalan bunuh diri daripada harus korupsi untuk menutupi utang anaknya. Dengan cara apa pun, dia harus mempertahankan plakat yang dihadiahkan oleh Gubernur Hindia Belanda karena mampu menjaga harta Belanda tanpa kurang barang satu sen pun. Plakat merupakan satu strategi pemerintah kolonial untuk membentengi tiap organ kekuasaan dari terjangkitnya virus korupsi. Yang menarik, pandangan korupsi berubah setelah sekitar 50 tahun.

Pada tahun 1957 Pramoedya Ananta Toer menulis novel Korupsi. Dia mengangkat wacana korupsi tidak sekadar sebagai pengukuh atau penyerta dalam roda kekuasaan, tetapi ternyata korupsi telah mewujudkan dirinya sebagai satu mekanisme tersendiri dalam insitusi kekuasaan. Korupsi telah menjadi satu mekanisme yang ditempuh Bakir, seorang kepala bagian perlengkapan, untuk bisa meraup kekayaan sebanyak-banyaknya. Di akhir cerita, Bakir diketahui oleh pihak kepolisian telah menyalahgunakan kekuasaan sehingga penjara menjadi konsekuensi akhir. Akhir cerita tersebut amat melankolis dan happy ending, selain juga menyiratkan kesan seakan-akan perilaku korup selalu berakhir di penjara.

Metamorfosis gagasan korupsi sejak tahun 1859 ketika Multatuli menulis Max Havelaar, tahun 1901 ketika F Wigger menulis Lelakon Raden Beij Soerio Retno, dan tahun 1957 saat Pramodeya Ananta Toer menerbitkan novel Korupsi telah menyusun sketsa menarik. Selama dua abad terakhir, gagasan korupsi telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Menggagas hadirnya kekuasaan selalu terkait dengan bagaimana menggagas korupsi di dalam dirinya. Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda berbahasa asli Belanda dan telah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa karena dianggap sebagai karya sastra dunia. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan HB Jassin, yang kemudian diterbitkan Djambatan pada 1972.

Kabar terakhir, sejak terbitan pertama sampai sekarang, karya itu telah naik cetak delapan kali, itu berarti hampir tiap tiga tahun sekali cetak ulang. Pada cetakan terakhir diberi kata pengantar oleh Dr Gerard Termorshuizen, seorang Indonesianolog, yang kalau tidak hati-hati membacanya akan menjerumuskan pembaca pada teknik pembacaan yang keliru. Dia menceritakan novel Max Havelaar seakan-akan biografi Multatuli, sehingga bisa bertukar setting dan alur antara biografi dan cerita dalam novel. Dia menceritakan, setelah pemecatan Max Havelaar sebagai Asisten Residen di Lebak, akhirnya penyelidikan terhadap pembesar di wilayah Lebak dilakukan.

Setelah terbukti, hasil penyelidikan itu telah melorot Bupati Karta Nata Negara dan Wira Kusuma dari jabatannya. Tetapi, pada kenyataannya, dalam novel tersebut tidak terdapat cerita lanjutan itu, karena cerita berakhir ketika Max Havelaar ditolak oleh sekretaris Gubernur Hindia Belanda di Batavia setelah tiga kali mohon menghadap. Penolakan itu dengan alasan, pertama, gubernur waktu itu sedang sakit bisul di kakinya, sebuah satir terhadap penguasa waktu itu. Permohonan menghadap kedua ditolak karena gubernur berhalangan saking sibuknya. Sampai akhirnya permohonan ketiga tetap ditolak karena gubernur diberitakan telah berangkat ke tanah airnya di Belanda.

Novel Max Havelar merupakan bentuk cerita berbingkai. Diawali dengan pengenalan diri seorang makelar kopi bernama Batavus Droogstoppel, yang menampilkan dirinya sebagai seorang fabrikan yang angkuh dengan selalu memberikan alamat setelah namanya, Last & Co Makelar Kopi Lauriergracht No 37. Makelar ini memiliki sahabat seorang sastrawan bernama Sjaalman, yang miskin karena tak mampu membeli jas. Melalui tangan Sjaalman inilah Droogstoppel menceritakan seorang temannya bernama Max Havelaar. Dalam cerita itu, Havelaar ditokohkan sebagai seorang pejabat Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang cerdas dan selalu membela rakyat kecil.

Suatu kali dia ditugasi Gubernur Hindia Belanda menjadi Asisten Residen di Lebak. Struktur pemeritahan di Hindia Belanda memang bermata dua, yang berujung pada Gubernur Hindia Belanda sebagai pimpinan tertinggi. Secara administratif, gubernur di daerah diwakili oleh seorang residen. Residen membawahi tiap-tiap bupati dan asisten residen. Sampai di sini, Pemerintah Hindia Belanda menyerahkan pengumpulan pajak pada sistem pemerintahan yang sudah mendarahdaging secara kultural, yakni melalui bupati sebagai pucuk pimpinannya yang membawahi para demang di seluruh kecamatan. Adapun asisten residen lebih berfungsi sebagai pengawas jalannya pemerintahan tradisional di tingkat kabupaten.

Dengan mekanisme yang mendua itu, ujung-ujungnya pemerintahan Hindia Belanda tetap eksis, karena didukung oleh sistem paternalistik pemerintahan pribumi. Begitu Havelaar menjabat Asisten Residen di Lebak, dia pun segera mengumpulkan para demang untuk pidato pertama setelah dilantik dan diambil sumpah sehari sebelumnya. Isi pidato itu hanya ingin menegaskan janji yang diucap saat pelantikan, yakni melindungi masyarakat pribumi dari penyiksaan dan pengisapan (2000: 113). Tapi, sejak itu pula dia menyaksikan pelbagai pengisapan dan tindak korupsi yang berkecambah di mana-mana.

Rakyat yang melaporkan dirinya menjadi korban pencurian kerbau tidak ditindaklanjuti. Penyerobotan tanah oleh para demang dianggap sah, alias menjadi wewenang pemerintah, dan setiap akhir tahun kademangan memberikan laporan yang baik-baik tentang daerah bawahannya. Laporan yang baik itu kemudian diperhalus oleh para bupati untuk laporan tahunan ke Residen Banten. Begitulah, akhirnya Havelaar menyimpulkan bahwa Bupati Lebak dengan demang-demang lain telah menyalahgunakan kekuasaan, membayar gaji dengan tidak cukup, dan bertindak semena-mena (2000: 309).

Dia menulis surat usulan pemecatan Bupati Lebak kepada Residen Banten Slijmering yang ditujukan kepada Gubernur Hindia Belanda. Tapi teryata surat itu dibalas oleh gubernur dengan pemindahtugasan karena Havelaar dinilai sebagai pejabat yang tidak cakap bergaul dengan pemerintah pribumi. Dia dipindah ke Ngawi, sebagai asisten residen, tapi dia menolak karena Bupati Ngawi masih bertalian keluarga dengan Bupati Banten. Praktik pemerintahan di sana pun akan sama halnya dengan tempat tugas sebelumnya. Atas pertimbangan itu, akhirnya Havelaar memutuskan untuk menjadi orang kalah, mundur dari jabatannya.

Sampai di sini, keputusan untuk Havelaar sesungguhnya bukan tanpa pertimbangan matang. Di satu sisi, pemerintah tidak ingin kehilangan hubungan baik dengan pemerintah pribumi, sekalipun bupati telah melakukan serangkaian manipulasi untuk memperindah laporannya. Akan tetapi, di sisi lain penyelewengan itu sebetulnya juga menguntungkan pemerintah kolonial karena target pajak tidak pernah kurang. Hubungan tersebut bisa dibaca, sejauh korupsi yang dilakukan para demang dan bupati tidak merugikan, pemerintah akan membiarkan berlanjut dan berkesinambungan. Di kelak kemudian hari, sikap tersebut tampaknya tidak begitu efektif karena pengisapan dan kesewenang-wenangan itu memperburuk citra Belanda di tanah jajahan itu sendiri.

Dalam Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1901), masalah korupsi telah dikeluarkan dari sistem pemerintahan kolonial. Untuk memperkecil pemerasan dan pengisapan tanpa mengurangi pemasukan ke kas pemerintah, diberlakukan adanya pemberian penghargaan kepada pejabat daerah (ambtenaar) yang bersih dan tidak memperkaya diri sendiri dengan melakukan pemerasan terhadap rakyatnya. Korban atas strategi kolonial ini terjadi pada tokoh Raden Beij, seorang colleteur, yang telah mendapatkan penghargaan berupa plakat sebagai pejabat yang bersih tanpa noda.

Cerita diawali dengan kesulitan yang dialami oleh anak sulung Raden Beij, Raden Ongko, yang kuliah pada jurusan kedokteran di Batavia. Anak sulungnya memang suka mabuk-mabukan dan bersenang-senang menikmati pertunjukan tayub di pelbagai daerah di Batavia. Perbuatan itu membuat Raden Ongko sering menemui kesulitan keuangan dan ujung-ujungnya dia kembali ke rumah di Bogor untuk minta tambahan uang. Selama ini, Ny Raden Beij memberi tambahan uang saku dengan mencuri beberapa rupiah dari brankas yang disimpan di rumah Raden Beij. Sampai suatu ketika, Raden Ongko terlibat utang di sekolahnya hingga mencapai Rp 500.

Sebagai gambaran, gaji seorang staf biasa hanya Rp 10, jadi uang sebesar itu kira-kira 50 bulan gaji karyawan biasa. Setelah merayu ibunya yang sangat sayang kepada anak sulung itu, akhirnya ibu dan anak mencuri kunci untuk membuka brankas. Pada saat yang sama, Raden Beij menangkap basah anak dan istrinya. Digambarkan, betapa marah Raden Beij ketika itu sambil menunjuk-nunjukkan penghargaan yang dianugerahkan kepadanya. Raden Beij, seperti gambaran pengarang, telah berubah menjadi macan yang melindungi anak-anaknya dari ancaman. Karena itu, anak dan istrinya disuruh mundur, karena Raden Beij akan mengambil sendiri uang Rp 500 itu dari brangkas.

Setelah diberikan kepada anaknya, dia masuk ke kamar dan letupan pistol terdengar menyentak. Raden Beij bunuh diri. Sebelumnya dia telah berpesan kepada mereka, daripada kalian yang akan dihukum, biarkan aku saja yang mencuri uang itu dari Kumpeni sehingga hanya akulah yang dihukum. Raden Beij telah mempertukarkan nyawa daripada dirinya kehilangan pengakuan dari Pemerintah Belanda. Dapat ditebak, pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda tersebut tampaknya bisa dilihat sebagai pembentuk norma moral yang tertanam pada setiap individu. Terdapat pepatah yang selalu dikutip dalam lakon tersebut, bahwa kemiskinan, kapapaan tidak memberi maloe (1901: 29).

Norma moral antikorupsi yang terbentuk pada masa kolonial itu tampaknya mulai luntur dalam novel Korupsi (1957) karya Pramodeya Ananta Toer, yang lahir 56 tahun kemudian setelah tulisan F Wiggers. Bakir sebagai tokoh utama adalah seorang Kepala Perlengkapan Pemerintah Indonesia. Sebagai seorang pegawai, dia berhak menyandang status priyayi, sebuah status yang tinggi pada masa itu. Karena itu, dia memberi nama anak-anaknya dengan awal Ba yang sama dengan namanya sendiri, mulai dari Bakri, Bakar, Basir, dan Basirah. Dengan hadirnya empat anak itu, kebutuhan Bakir meningkat, dan itu tidak tercukupi oleh gajinya yang kecil.

Setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya ia kongkalingkong dengan seorang taoke (pengusaha) dalam hal pengadaan barang. Transaksi pertama tidak menemui hambatan, kecuali dari istrinya yang sudah sejak awal memperingatkan agar tidak menempuh jalan gelap itu. Karena istrinya tidak mau menerima uang hasil korupsi, akhirnya uang tersebut digunakan untuk bersenang-senang dengan Sutijah, gadis desa yang sejak dulu telah menerbitkan air liurnya. Sejak itu, Bakir telah memiliki istri muda dengan rumah yang mewah di tengah kota. Tetapi itu tidak lama, karena beberapa tahun kemudian dia dijebak oleh seorang taoke dengan uang palsu sehingga dia ditangkap. Dari hasil interogasi itulah korupsi Bakir terbongkar. Istri dan anak-anak yang selama ini ditinggalkan itu kemudian datang menjenguknya. Demikian pula Sirad, seorang pemuda yang membantu tugas-tugasnya di kantor dan selama ini turut memperingatkan agar jangan korupsi. Kepada Sirad, Bakir akhirnya mengakui kebenaran pemuda itu. Dia mendukung semangat muda untuk memberantas korupsi karena angkatan tua selama ini tidak bisa mengemban tugasnya sehingga harus lenyap (2002: 158). Kepada angkatan muda dia berharap korupsi itu bisa lenyap karena mereka adalah segala-galanya bagi kelengkapan hari depan dan tanah airnya (2002: 159).

Ucapan Bakir sebagai fokalisator pengarang kepada Sirad menarik. Dia mengangankan kaum muda mampu menjalankan roda pemerintahan dengan bersih, bebas dari segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Nyatalah sekarang, orang-orang yang disebut kaum muda pada tahun 1950-an tentu sudah melapisi angkatan di atasnya pada masa sekarang ini. Dan, orang-orang yang disebut muda 50 tahun yang lalu itu kini telah menjadi angkatan tua, yang tidak lebih baik dari angkatan Bakir yang harus lenyap. Apa boleh buat, angkatan yang harus lenyap itu selalu muncul dalam setiap orde kekuasaan. Seperti upaya Sisifus yang utopis, generasi muda selalu menyerang angkatan sebelumnya yang menyalahgunakan kekuasaan, dan ketika tampuk pimpinan berlalu, korupsi pun berganti. Lihatlah, hakikat korupsi akan berdiri secara abadi.

Saifur Rohman, Menamatkan Studi S2 Ilmu Susastra di Universitas Indonesia dan S1 Ilmu Susastra di Undip, menetap di Semarang.

Sumber: Kompas, Jumat, 28 Mei 2004
-

Arsip Blog

Recent Posts