Oleh Indriyanto Seno Adji
Membuka tahun 2009, masalah laten bangsa ini adalah korupsi. Padahal, keberhasilan pemerintahan dan kekuasaan suatu negara, termasuk Indonesia, adalah bagaimana kebijakan negara mencegah dan memberantas korupsi secara optimal.
Masalah korupsi tidak bersandar pada limitasi kebijakan hukum, tetapi terkait dengan masalah ekonomi dan politik. Untuk itu, perlu dicermati kritik pengamat politik hukum negara berkembang, Prof SS Hueh, Rektor (saat itu) The University of East Asia, yang menyatakan, pertumbuhan hukum korupsi tidak dapat dipisahkan dari perubahan dalam kerangka sosial-ekonomi.
Prof Hueh memberi ilustrasi, pembentukan aturan hukum dalam rangka memberantas korupsi tidak begitu saja dapat dipisahkan dari soal ekonomi dan politik. Dalam implementasi di Indonesia, kebijakan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak dapat dipisahkan dengan political and socio-economic setting. Masalah kebijakan hukum korupsi tidak akan terlepas dengan kekuasaan ekonomi dan politik suatu negara sehingga stigma korupsi dapat menjadi simbol elastis mengakarnya korupsi ketatanegaraan sebagai korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan.
Pandangan Prof Hueh ini sejalan dengan Kongres Ke-7 PBB tentang Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Milan, 1985, yang membicarakan tema yang tidak lagi klasik, yaitu “Dimensi Baru Kejahatan dalam Konteks Pembangunan”. Salah satu sorotan hasil kongres ini adalah tentang terjadi dan meningkatnya “penyalahgunaan kekuasaan” (abuse of power).
Penyalahgunaan kekuasaan
Penyalahgunaan kekuasaan di bidang ekonomi ini melibatkan upper economic class (konglomerat) maupun politik sebagai upper power class (pejabat tinggi negara) yang berkonspirasi dan bertujuan untuk kepentingan ekonomi kelompok. Maka, ada beberapa perspektif korupsi di tahun 2009 yang dapat menjadi perhatian penegak hukum ke depan, khususnya Kejaksaan Agung, Polri, atau KPK.
Pertama, korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan merupakan bentuk kejahatan yang sulit pembuktiannya, tetapi tumbuh subur sejalan dengan kekuasaan ekonomi, hukum, dan politik. Korupsi ini dikategorikan sebagai penyakit misterius yang kadar penyembuhannya amat minim dan selalu menjadi uji coba untuk menanggulanginya. Hasilnya pun kadang diprediksi secara pesimistis, yaitu tidak searah kebijakan masyarakat untuk memberantas korupsi.
Secara konseptual, pada negara berkembang, pemikiran bahwa korupsi merupakan bagian dari kekuasaan, bahkan bagian dari sistem itu sendiri, menjadi tidak diragukan. Karena itu, ada yang berpendapat, penanggulangan yang terpadu adalah dengan memperbaiki sistem yang ada.
Artikulasi “system” ini bermakna komprehensif, bahkan dapat dikatakan sebagai proses signifikan. “Korupsi sudah menjadi bagian dari sistem” yang ada. Karena itu, usaha maksimal penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, harus dilakukan dengan pendekatan sistem atau systemic approach, apalagi bila pendekatan sistem ini dikaitkan dengan peran institusi peradilan yang amat menentukan sebagai sebuah institusi penegakan hukum dalam proses akhir pemberantasan korupsi. Sangat sulit menentukan awal dimulainya antisipasi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Sistem harus ditelaah sebagai kesatuan yang meliputi tindakan re-evaluasi, reposisi, dan pembaruan (reformasi) terhadap struktur, substansi hukum, khususnya budaya hukum (legal culture) sebagai cermin etika dan integritas penegakan hukum. Systemic approach sebagai bahan untuk memecahkan persoalan hukum (legal issue) atau penyelesaian hukum (legal solution) maupun pendapat hukum (legal opinion).
Legal culture (budaya hukum) merupakan aspek penting yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan sebagai civic-minded sehingga masyarakat selalu taat dan menyadari pentingnya hukum sebagai regulasi umum. Masalah korupsi sebagai budaya hukum ini terkait dengan etika, moral masyarakat, khususnya penegak hukum. Pendekatan struktur dan substantif tidak akan berhasil jika tidak diikuti pendekatan budaya dan etika dari penegak hukum itu sendiri yang sering terkontaminasi suap.
Terintegrasi
Kedua, melakukan tindakan secara terintegrasi dari lembaga penegak hukum melalui integrated criminal justice system. Artinya, di antara penegak hukum harus memiliki balanced and equal of power, suatu kewenangan berimbang dan sama di antara penegak hukum. Hal ini untuk menghindari diskriminasi kewenangan lembaga yang justru akan melemahkan penegakan hukum terhadap korupsi. Selain itu, diskriminasi kewenangan akan menimbulkan disintegrasi penegakan hukum. Kewenangan diskriminatif antara KPK di satu sisi dan Kejaksaan Agung/Polri di sisi lain harus ditiadakan.
Ketiga, pendekatan sistem itu dilakukan secara simultan dan terintegrasi dengan pendekatan up-down, bukan bottom-up yang selama ini terjadi. Kejaksaan Agung dengan minimnya kewenangan telah memberi citra tersendiri dengan menetapkan pejabat eselon I departemen sebagai tersangka sekaligus memerhatikan hak tersangka. Ini merupakan status yang tidak pernah terjadi sejak era reformasi. Pendekatan up-down dalam pemberantasan korupsi merupakan karakter representasi keseriusan negara dalam pemberantasan korupsi. Selama ikon karakter korupsi masih berpijak pada pendekatan bottom-up, hasil yang dicapai adalah pesimisme penegakan hukum. Pemberantasan korupsi, sebagaimana Konvensi PBB 1985, harus dimulai dari upper power class dan upper economic class dengan memerhatikan prinsip praduga tidak bersalah.
Kampanye antikorupsi
Dari semua persoalan itu, amat berarti peran kebijakan kriminal (criminal policy) melalui pendekatan non-penal, yaitu dengan meningkatkan langkah kampanye antikorupsi misalnya. Kampanye semacam ini diperlukan dengan pendekatan antara masyarakat, pers (sebagai social power), dan institusi kenegaraan (sebagai political power).
Apalagi, masalah korupsi di Indonesia kini tidak lagi dapat dikatakan sebagai masalah eksekutif saja, tetapi juga sudah terkontaminasi institusi kenegaraan lainnya, entah itu legislatif, yudikatif, maupun institusi negara nondepartemen.
Indriyanto Seno Adji, Pengajar Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum
Sumber: Kompas, Rabu, 28 Januari 2009