Pengadilan Tipikor Terancam Bubar

Oleh Emerson Yuntho

Dua tahun lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No 012-016-019/ PUU-IV/- 2006 memutuskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana dibentuk melalui Pasal 53 Undang- Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah atau inkonstitusional.

Mahkamah Konstitusi (MK) selanjutnya meminta kepada pembuat Undang-Undang (UU) untuk membentuk UU tentang Pengadilan Tipikor dalam jangka 3 (tiga) tahun setelah putusan. Sesuai deadline yang diberikan MK, UU Pengadilan Tipikor ini harus selesai paling lambat 19 Desember 2009. Artinya umur Pengadilan Tipikor hanya tinggal 10 bulan saja. Sayangnya, apalagi menjelang Pemilihan Umum 2009, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor) di parlemen menjadi tidak menentu.

Meski Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sering menyatakan bahwa RUU Pengadilan Tipikormenjadiprioritas, bahkan ditargetkan akan selesai sebelum Pemilu 2009, faktanya proses pembahasan masih jauh dari yang diharapkan dan belum mulai dibahas secara serius. Ironisnya, alih-alih serius membahas RUU, DPR justru menyalahkan pemerintah sebagai penyebab tidak selesainya RUU Pengadilan Tipikor tersebut. Keterlambatan penyerahan RUU oleh pemerintah memang satu persoalan, tetapi berlarut-larutnya proses pembentukan RUU di DPR merupakan faktor paling mendasar yang berpotensi menghilangkan eksistensi Pengadilan Tipikor.

Belum tuntasnya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor saat ini tidak semata karena persoalan tidak adanya komitmen DPR secara institusi, tapi secara lebih luas kondisi ini harus dimaknai bahwa seluruh partai politik (parpol) yang ada di DPR tidak punya komitmen dalam pemberantasan korupsi, termasuk menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor.

Sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari tiap pimpinan parpol bahwa mereka mendukung keberadaan Pengadilan Tipikor dan tidak ada instruksi dari parpol untuk percepatan kadernya yang menajdi anggota pansus DPR. Pimpinan parpol terkesan membiarkan proses pembahasan ini dibiarkan tanpa ada kepastian. Bahkan lebih jauh, bukan tidak mungkin Pimpinan parpol membiarkan Pengadilan Tipikor dibubarkan dan kembali ke Pengadilan Tipikor.

Sejumlah fungsionaris partai politik di DPR sebenarnya telah menyatakan akan berkomitmen menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor sebelum pemilu legislatif. Ketua DPR sendiri yang menyampaikan janji tersebut secara terbuka. Tapi, buktinya, status RUU Pengadilan Tipikor belum jelas. Berbeda dengan pembahasan RUU Mahkamah Agung yang selesai dibahas dan disahkan dalam waktu singkat.

”Memasrahkan” pembahasan RUU Pengadilan Tipikor kepada DPR jelas bukanlah posisi yang menguntungkan. Tidak dapat dimungkiri mayoritas anggota DPR tidak menyukai keberadaan KPK dan Pengadilan Tipikor. Hal ini mengingat sudah ada delapan anggota DPR yang dijerat KPK, enam di antaranya seperti Hamka Yandhu dan Al Amin Nasution bahkan telah divonis dari hakim Pengadilan Tipikor.

Muncul kekhawatiran ada upaya “pembusukan” KPK dan Pengadilan Tipikor melalui proses penyusunan RUU Pengadilan Tipikor ini,yaitu dengan melemahkan substansi penting dalam RUU tersebut atau membiarkan RUU tidak dibahas hingga jangka waktu berakhir, yaitu 19 Desember 2009. Sejauh ini ada tiga isu krusial dalam RUU yang menentukan hidup matinya Pengadilan Tipikor, yaitu tempat kedudukan, komposisi hakim ad hoc dan karier, kewenangan pimpinan pengadilan dan MA dalam penentuan jumlah serta komposisi hakim.

Apabila ketiga ketentuan itu tidak dibahas secara hati-hati oleh DPR, hal tersebut dapat mendorong upaya pembusukan terhadap Pengadilan Tipikor (baik dari sisi integritas, kinerja maupun kepercayaan publik kepada Pengadilan Tipikor). Jika RUU Pengadilan Tipikor dibiarkan DPR tidak diselesaikan hingga batas waktu yang ditentukan, konsekuensinya tidak saja membubarkan Pengadilan Tipikor, tapi juga berakibat semua kasus korupsi yang ditangani KPK akan diadili di pengadilan umum.

Padahal kenyataannya,gerbong pengadilan umum dinilai tidak mendukung semangat pemberantasan korupsi. Fakta yang terjadi, tren vonis bebas justru meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) antara tahun 2005–Juni 2008, dari 1.184 terdakwa kasus korupsi yang diadili di pengadilan umum hampir separuhnya atau 482 terdakwa divonis bebas. Bandingkan dengan Pengadilan Tipikor, sejak 2005 lalu dari 52 terdakwa yang diadili, tiada satu pun yang divonis bebas.

Masa sidang DPR dalam periode pertama 2009 akan berakhir pada 6 Maret nanti. Artinya waktu yang tersisa sekitar 4 hari lagi. Padahal, saat ini seperti yang disampaikan Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pengadilan Tipikor, baru empat fraksi di DPR yang memberikan masukan secara tertulis.

Bahkan proses rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan sejumlah kalangan pun belum selesai dilakukan sehingga secara logis RUU tidak mungkin selesai sebelum pemilu legislatif. Pada sisi lain muncul kekhawatiran bahwa proses yang dilakukan pansus saat ini lebih pada upaya mengulur- ulur waktu sehingga anggota pansus dapat memprioritaskan kepentingannya untuk persiapan dan kampanye pada Pemilu legislatif 2009 mendatang.

Kondisi ini relevan karena dalam catatan Indonesia Corruption Watch, dari 50 anggota Pansus RUU Pengadilan Tipikor,sebanyak 36 orang (72 %) kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam Pemilu 2009 dan hanya 14 orang (28 %) yang tercatat tidak mencalonkan. Dengan kondisi Pengadilan Tipikor yang terancam bubar, tidak berlebihan jika dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia masuk pada tahap kegentingan yang memaksa.

Jalan keluar untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi, khususnya Pengadilan Tipikor,adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang memberikan dasar hukum bagi keberadaan Pengadilan Tipikor.

Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memberikan kewenangan tersebut.Tindakan konkret Presiden dalam bentuk perppu ini sekaligus membuktikan bahwa pemberantasan korupsi bukan sekadar pernyataan (statemen) atau bahan kampanye untuk pemilihan umum.

Emerson Yuntho, Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)

Sumber: Seputar Indonesia, Senin, 2 Maret 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts