Oleh Adnan Topan Husodo
Kinerja Badan Kehormatan (BK) DPR RI pada 2008 kemarin dapat dikatakan buruk. Hasil tidak memuaskan ini disebabkan gagalnya BK dalam mencegah dan memperbaiki citra anggota DPR yang terpuruk karena berbagai skandal yang mereka lakukan,baik dalam kaitannya dengan indikasi perbuatan pidana (korupsi) maupun pelanggaran nilai-nilai moral publik lainnya.
Terungkapnya beberapa kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan anggota Dewan, baik periode 1999–2004 maupun periode setelahnya, menunjukkan bahwa kontrol internal di lembaga DPR tidak dapat berfungsi efektif.
Belum lagi kasus-kasus pelanggaran kode etik lain yang nyata-nyata terjadi,semisal pelesir ke luar negeri, adanya anggota DPR yang mendapatkan dana operasional dari pihak ketiga dalam menjalankan fungsinya maupun dugaan gratifikasi yang dilaporkan oleh masyarakat yang hampir tidak ada yang diproses ke tingkat pemeriksaan. Respons yang lamban dari BK secara kelembagaan terhadap berbagai bentuk penyimpangan anggota Dewan, baik yang mengarah ke pelanggaran kode etik maupun perbuatan pidana, mengesankan ada persoalan serius di tubuh BK.
Padahal BK merupakan ujung tombak yang vital untuk menghindari kekuasaan DPR dari berbagai bentuk penyimpangan. Hal ini mengingat partai politik tidak terlalu banyak bisa diharapkan untuk menjadi pengawas yang cakap terhadap para anggotanya yang menjadi anggota legislatif sepanjang partai politik justru menjadi tempat berkembangbiaknya korupsi.
Permasalahan BK
Jika kita coba cermati lebih jauh, persoalan BK yang berujung pada tumpulnya pengawas internal anggota DPR dalam menjalankan fungsinya disebabkan beberapa faktor yang fundamental.Masalah tersebut dapat kita petakan menjadi tiga hal, yakni lemahnya kerangka yuridis BK, posisi BK yang tidak independen, serta kaburnya pengertian kode etik di lingkungan DPR.
Untuk masalah yang pertama, BK selama ini dikerangkakan oleh tata tertib DPR yang mengekang. Posisi BK diset sebagai pengawas internal yang mandul dan pasif karena tiadanya wewenang untuk menjalankan kerja-kerja inisiatif.Dalam tata tertib DPR,BK baru dapat bekerja jika dua syarat telah dipenuhi, yaitu adanya laporan pengaduan dari masyarakat atas dugaan pelanggaran kode etik anggota DPR dan jika ada perintah dari pimpinan DPR.
Sepanjang kedua syarat itu tidak dimiliki BK, mereka tidak dapat bertindak apa pun meski pelanggaran kode etik itu sendiri dilihat secara langsung atau diketahui secara langsung oleh anggota BK. Desain BK yang pasif membuat fungsi pencegahan maupun penindakan BK menjadi tidak berjalan sama sekali. Mengenai masalah kedua, BK DPR secara keanggotaan tidaklah independen.
Bisa dikatakan BK dilahirkan dengan membawa cacat bawaan. Pasalnya, keanggotaan BK yang dipilih dari anggota DPR itu sendiri menyulitkan BK untuk menjalankan fungsi pengawasan secara mandiri (minim intervensi). Dalam situasi di mana fraksi yang menjadi kepanjangan tangan partai politik membawa misi yang berbeda dengan misi BK, acap BK menjadi tidak berdaya.
Partai politik beserta elite partai yang masih kental dengan praktik korupsi bukan merupakan lawan sepadan BK. Karena bisa saja anggota BK tiba-tiba dipindahkan oleh fraksi atau dikenai pergantian antarwaktu (PAW) oleh partai politik jika muncul pertentangan yang keras, terutama jika dihubungkan dengan peran BK dalam membangun good governanced DPR.
Pasal 57 tata tertib DPR mengenai pengangkatan anggota BK mengatur soal wewenang besar bagi fraksi untuk mengganti sewaktu-waktu anggotanya yang ditempatkan di BK. Dengan bekal independensi yang sangat minim dan kondisi yang rentan campur tangan fraksi, keputusan BK acap menjadi tebang pilih. Untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan partai berkuasa atau elite partai berkuasa,BK sulit diharapkan tampil maksimal.
Akan tetapi bagi anggota DPR yang posisinya sebatas anggota saja, BK dapat mengambil putusan yang besar semisal memecatnya dari keanggotaan DPR. Masalah terakhir BK adalah tiadanya definisi yang konkret dan operasional atas apa yang disebut sebagai pelanggaran kode etik. Berkaca pada ketentuan tata tertib DPR, yang dimaksud sebagai pelanggaran kode etik saat ini identik dengan pengertian hukum mengenai pelanggaran pidana.
Hasilnya, BK terkesan harus menunggu proses hukum bagi anggota DPR diputus oleh pengadilan terlebih dahulu sebelum memutuskan sanksi. Hal ini dapat kita lihat dari kasus dugaan suap Bank Indonesia yang melibatkan semua anggota Komisi IX DPR RI periode 1999–2004. Hingga saat ini,BK belum mengambil tindakan apa pun untuk menegakan kode etik.
Rekomendasi untuk BK
Dari penjelasan ketiga masalah di atas, ke depan BK DPR perlu ditata ulang. Hal ini penting untuk menghasilkan pola pengawasan yang efektif. Khusus untuk isu legal framework, BK harus diset sebagai lembaga pengawas anggota DPR yang memiliki wewenang proaktif dalam menjalankan tugasnya.
Dengan demikian, kewajiban atau syarat adanya laporan pengaduan masyarakat dan perintah dari pimpinan DPR sudah semestinya dihapus. BK DPR juga perlu diposisikan independen dengan memasukkan unsur masyarakat dalam komposisi keanggotaan BK. Mengingat tugas dan fungsi DPR bukan seperti profesi lain semisal dokter, insinyur, atau pengacara yang membutuhkan kecakapan spesifik, tidak ada hambatan teoritis maupun praktis untuk menempatkan representasi publik sebagai anggota BK.
Terakhir, anggota DPR terpilih pada Pemilu 2009 perlu mereformulasi definisi pelanggaran kode etik yang lebih spesifik, operasional, dan berorientasi pada pencegahan. Maksudnya,apa yang disebut sebagai kode etik tidaklah sama dengan pelanggaran pidana.
Karena sifatnya mencegah, pengertian pelanggaran kode etik adalah keadaan di mana anggota DPR melakukan sesuatu yang berpotensi melahirkan perbuatan pidana.Pendek kata, pelanggaran kode etik bukanlah pelanggaran pidana itu sendiri. Dengan berbagai perubahan di atas, diharapkan BK DPR ke depan dapat bekerja secara lebih baik untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi praktik politik yang etis dan jauh dari penyimpangan kekuasaan.
Adnan Topan Husodo, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Sumber: Seputar Indonesia, Senin, 22 Februari 2009