Yogyakarta - Semangat kebangkitan budaya-budaya etnis nusantara menguat. Fenomena ini bukan kasus tunggal di tanah air, sifatnya justru mendunia. Walaupun bisa mengandung potensi caunivistis dan mengarah fasisme, negara hendaknya mengelola, jangan memerangi dengan alasan sparatisme.
“Bagaimana negara bisa mengelola, agar yang terjadi pada semangat etnisitas yang mendorong proses demokratisasi. Luapan ketidakpuasan yang berbentuk semangat etno-nasionalisme, seharusnya dihadapi dan dikelola oleh negara, bukan diperangi karena dianggap sparatisme,” kata Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam pidato pengukuhan gelar doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Senin (19/12).
Mengutip Samuel Huntington dalam The Class of Civilizations and the Remaking of the World Order (1996), Sri Sultan menegaskan, kesadaran kebangkitan etnis, kultural dan agama bersifat mendunia. Pada masyarakat yang demikian, kata Sri Sultan, mereka memperkecil jatidiri dan menguraikannya kembali jatidiri mereka dengan pengertian kemasyarakatan yang lebih sempit dan intim.
Tesis kebangkitan etnisitas di Indonesia, menurut Sri Sultan, diperoleh dari berbagai kesempatan perjumpaan dengan masyarakat etnis dan masyarakat adat di seluruh Nusantara maupun serial dialog dan sarasehan nasional serta Festival Kraton Nusantara.
Kebangkitan etnis memiliki dua makna. Pertama kebangkitan etnik terhadap asal-usul keturunan, zaman keemasan, bahasa, budaya yang tak mengabaikan hak-hak minoritas, berpotensi mendorong kehidupan yang demokratis. Kedua, kebangkitan aspek keetnikan yang bisa mengarah pada cauvinisme, rasisme sempit, bahkan fasisme. “Kebangkitan etnik macam demikian karena tiadanya ruang bagi pengungkapan politik perasaan kebangsaan,” kata Sri Sultan
Sri Sultan mendapatkan gelar doktor di bidang kemanusiaan dalam upacara peringatan Dies UGM ke-62 di Grha Saba Pramana UGM. Rektor UGM Sudjarwadi, Ph.D menyatakan gelar honoris cause bagi Sri Sultan memenuhi prosedur formal dan pertimbangan yang matang yang dilakukan oleh tim penilai, majelis guru besar, dan senat akademik. Promotor Prof. Dr. Djoko Suryo dan Prof. Dr. dr. Sutaryo.
Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com