Banda Aceh, NAD - Aceh diyakini pernah menjadi pusat peradaban Islam di Asia Tenggara pada abad 16-17 Masehi. Namun, tradisi keilmuan Islam yang dulu berjaya di bumi Serambi Mekkah kini hilang tergerus perkembangan zaman dan faktor minimnya kepedulian semua pihak termasuk pemerintah.
Menurut pemerhati sejarah sekaligus Direktur Rumah Manuskrip Aceh, Tarmizi Abdul Hamid, tradisi keilmuan Islam perlu dibangun kembali di Aceh.
"Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak dalam upaya membangkitkan kembali keilmuan Islam di Aceh, sehingga bisa disegani dunia luar sebagaimana zaman Kesultanan Aceh," kata Tarmizi dalam keterangan tertulis kepada Okezone pada Senin 27 Juli 2015.
Tarmizi menuturkan para intelektual Islam masa lalu di Aceh seperti Hamzah Fansury, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Abdul Rauf As-Singkili (Teungku Syiah Kuala ) dan ulama lintas zaman lainnya, menorehkan tinta emas lewat karya-karyanya.
Karya yang ditulis di media kertas telah menghiasi keilmuan Islam yang bernilai sangat tinggi di sentero Asia. Semua ulama tersebut telah menghabiskan umurnya dalam tradisi tulis menulis dengan ribuan judul kitab kuno (manuskrip) di Aceh.
"Keilmuan Islam dalam kitab-kitab tersebut di semua aspek sesuai dengan kebutuhan para pencari ilmu yang berbondong-bondong migrasi ke Aceh pada zaman tersebut," ujar kolektor naskah kuno dan manuskrip Aceh ini.
Menurutnya, negara-negara Islam pada masa itu memandang Aceh sebagai pusat pengembangan keilmuan yang berperadaban tinggi dan sangat aspiratif dalam mengelola berbagai kepentingan hajat hidup bangsanya.
"Nilai-nilai budaya dan sejarah serta peninggalan tradisi yang ditinggalkan oleh leluhur kita yang masih dapat dilihat, membaca, dan meneliti sampai kepada zaman ini yang saya himpun dari berbagai daerah di Aceh yang saat ini tersimpan di koleksi saya berupa Naskah Kuno," sebut Tarmizi.
"Ini adalah salah satu item yang maha penting sebagai referensi tradisi keilmuan Islam yang bisa ditransformasi kepada anak cucu baik sekarang maupun yang akan datang," tuturnya.
Sementara Filolog Aceh, Hermansyah, mengatakan keilmuan yang ada dalam manuskrip serta perkembangan pembangunan keilmuan manuskrip Aceh sangat diminati oleh negara-negara maju seperti Inggris, Amerika, Jerman, Australia, dan Jepang.
"Negara-negara tersebut berlomba-lomba untuk membuat pusat studi Islamic dan lembaga penelitiannya, khususnya dengan manuskrip yang berbahasa Arab, Melayu, dan Aceh sendiri," ujarnya.
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar Raniry Banda Aceh itu, mengajak generasi sekarang menyukai filology. Ia menjamin apabila ada yang ingin mengambil jurusan Filologi di luar negeri, disamping diterima dengan senang hati juga akan diberikan beasiswa sampai jenjang pendidikan S-3 atau Doktor.
Ia mencontohkan dirinya sendiri yang memilih mempelajari filology, sesuatu yang dianggap langka kalangan sekarang. "Sebentar lagi saya juga akan berangkat melanjutkan studi di Jerman dalam keilmuan filologi juga. Semuanya gratis, tinggal kita saja mau melanjutkan sebuah tradisi keilmuan Islam yang telah diwarisi oleh leluhur kita ini," pungkas Hermansyah.
Sumber: http://news.okezone.com