Kampar, Riau - Sungai Subayang di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, pada Kamis (5/5/2016) pagi itu terlihat lebih ramai daripada hari-hari biasa. Sinar matahari cerah menambah keindahan alam hutan hijau Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling, yang terlihat di latar belakang sekeliling sungai.
Ratusan warga tua-muda berkumpul di pinggir sungai di sebelah lapangan bola. Puluhan laki-laki bersiap dengan alat tangkap ikan, seperti jaring, jala, atau tombak ikan. Sebagian warga lain menonton di bagian tepi lain di dekat rumah.
Pagi itu ninik mamak (pemuka adat) menggelar acara cokow ikan lubuk larangan (panen atau mengambil ikan dari lubuk larangan). Lubuk larangan adalah satu wilayah di sungai, ditetapkan secara adat, yang tidak boleh diambil ikannya sepanjang tahun sampai ada ketentuan dari ninik mamak.
Lubuk larangan di Desa Tanjung Beringin memiliki panjang 200 meter, dan berlokasi persis berada di depan permukiman warga. Di bentangan itu terdapat dua lubuk, tempat ikan tumbuh dan berkembang tanpa gangguan.
Acara panen ikan diawali doa pimpinan adat, dan kemudian disusul tebar jala pertama. Setelah itu, siapa saja boleh mencari ikan dengan caranya masing-masing. Ternyata pagi itu cukup sulit mendapat ikan karena air sungai masih tinggi.
Rupanya, pada tahun ini, cokow diadakan sebelum puncak musim panas untuk menghormati tamu yang datang. Meskipun demikian, masih banyak ikan yang dapat ditangkap.
Di sela-sela cokow, empat warga desa terlihat membawa seekor kerbau di atas perahu yang merapat ke tangkahan desa. Kerbau itu dengan susah payah dinaikkan ke pemukiman yang terletak di atas bukit. Topografi daerah itu berbukit-bukit, dan perumahan warga semuanya berada di bagian atas.
Hewan yang disebut dengan nama kabau dalam bahasa setempat adalah calon sesembahan warga untuk acara Semah Rantau (membersihkan kampung dari anasir jahat) dua hari kemudian. Acara semah ini menjadi puncak perhelatan desa yang berlangsung selama tiga hari berturut.
Daging kerbau
Keesokan hari, Jumat (6/5/2016), pagi-pagi lapangan voli di sudut desa dipenuhi warga. Rupanya ninik mamak sudah mengatur prosesi penyembelihan. Suasana hari itu persis seperti hari raya Idul Adha.
Menjelang sore pekerjaan membagi-bagikan daging kerbau ke seluruh warga desa akhirnya selesai. Setiap rumah mendapat jatah setengah kilogram daging. Hari itu seluruh warga desa makan daging kerbau.
Kepala dan hati kerbau tidak dibagikan. Kepala dikuliti dan diambil bagian dagingnya sehingga tinggal tulang tengkorak dan tanduk utuh. Bagian kepala dan hati dipersiapkan khusus untuk acara puncak besok.
Pada Jumat malam, di lapangan sekolah dasar, satu-satunya sekolah di desa itu, diselenggarakan acara seni. Penonton penuh sesak. Beberapa warga desa juga tetangga ikut ambil peran dalam acara lomba gondang oguang batimang (tradisi ibu-ibu menuturkan kalimat nasihat kepada anak yang ditimang sambil diiringi gendang). Tradisi itu hampir punah.
Pada Sabtu (7/5/2016) pagi yang merupakan acara puncak, kesibukan warga terlihat semakin tinggi. Para ketua suku memakai pakaian kebesaran, sementara anak dan kemanakan (warga adat) memakai pakaian terbaik.
Bunyi tabuhan talempong, alat musik pukul asal Minangkabau yang terbuat dari logam berbentuk bundar dengan benjolan di bagian atas, seperti bonang pada gamelan, terdengar bertalu-talu.
Di tepian sungai, puluhan orang menghias lima perahu yang melambangkan lima suku penghuni desa, yakni Suku Domo Bukik, Domo Bauwah, Chaniago, Melayu, dan Patopang, dengan ornamen rumah kecil seperti bagonjong (rumah adat Minangkabau).
Sekitar pukul 10.00 WIB, para ninik mamak bergerak menuju perkuburan desa di atas bukit, diiringi musik talempong yang dibawakan ibu-ibu. Acara pagi itu adalah ziarah di dua kuburan nenek moyang. Doa-doa dipanjatkan. Di kuburan kedua yang letaknya lebih tinggi, sesembahan hati kerbau diletakkan di sisi luar kuburan.
Seusai shalat dzuhur, para ninik mamak naik ke perahu hias diiringi ratusan anak dan kemanakan. Mereka menuju sungai di batas Desa Gajah Betalut. Iring-iringan sampan membuat suasana Sungai Subayang sangat ramai dengan puluhan perahu bermesin tempel bersuara berisik. Semua tampak gembira karena hari itu adalah hari besar desa.
Sesampainya di tempat yang dituju di sebuah lubuk dengan arus berputar, pengetua adat melepaskan kepala kerbau ke dalam sungai. Setelah berdoa seluruh rombongan dari desa makan bersama di pinggir sungai. Menunya, gulai daging kerbau.
Ratusan tahun
Datuk Pucuak Azismanto (51), pengetua adat lima suku di Tanjung Beringin, mengungkapkan, semah rantau adalah tradisi yang sudah berusia ratusan tahun. Budaya itu dibawa nenek moyangnya dari Minangkabau, Sumatera Barat.
Secara geografis, Sungai Subayang berada di perbatasan Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Tidak heran apabila aura Minang sangat kental di sana.
”Acara bersemah atau bersih-bersih adalah simbol menyucikan diri warga desa dari dosa-dosa yang diperbuat sepanjang tahun. Ziarah kubur dan persembahan hati kerbau untuk memohon agar warga selamat atau tidak diserang harimau apabila mencari nafkah di kebun (hutan). Menghanyutkan kepala kerbau agar kami selamat beraktivitas di sungai,” kata Azismanto.
Tradisi semah rantau, kata Azismanto, biasanya dilangsungkan setiap tahun. Namun, kali ini tertunda selama dua tahun karena ekonomi warga yang sulit. Harga karet jatuh sempat menyentuh Rp 4.000 per kilogram sehingga warga tidak mampu melangsungkan acara.
Pada tahun ini, Dodi Rasyid (34), pemuda Kampar Kiri, yang menggerakkan acara tradisi itu. Ayah dua anak beristrikan putri Sungai Subayang itu adalah seniman yang menggandeng Dinas Pariwisata Kampar dan WWF Riau sebagai sponsor.
”Dulu budaya semah rantau dilakukan di banyak desa di sepanjang Sungai Subayang. Sekarang semakin jarang. Kami selaku orang muda khawatir tradisi ini bakal punah. Di Tanjung Beringin adat istiadat masih dijunjung tinggi, dan niat warga menjaga budaya masih bagus. Karena itu kami bergerak mengumpulkan dana untuk menyelenggarakan acara budaya ini,” kata Dodi.
Upaya Dodi dan teman-temannya menghidupkan tradisi langka di daerahnya patut diapresiasi. Bertahannya keindahan alam Sungai Subayang akan menjadi sempurna dengan tradisi budaya itu. Peran pemerintah tentu dibutuhkan untuk menjaga budaya itu hidup sepanjang masa.
Sumber: http://travel.kompas.com/