Solo, Jateng - Ada yang berbeda dalam pelaksanaan prosesi tradisi pemugaran jaro (pagar, red ) bambu pada bulan Rajab di masyarakat Aboge di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, yang berlangsung pekan lalu. Biasanya dalam prosesi itu, selalu ada iring-iringan Raja atau utusan dari Keraton Surakarta Hadiningrat dengan di barengi Gunungan Tumpeng dan Hasil Bumi sebagai ucapan rasa syukur kepada Sang Illahi yang akan diperebutkan warga masyarakat di sekitar Masjid Saka Tunggal.
Tapi dalam pelaksanaan pemugaran jaro atau pagar yang dikenal dengan sebutan Jaro Rojab tahun ini tidak terlihat tradisi budaya itu. Menurut Suyitno, Kepala Desa Cikakak, ini merupakan kegiatan nyata dan asli dari prosesi pemugaran pagar yang mengelilingi makam keramat Eyang Toleh hingga ke Masjid Saka Tunggal.
“Ini adalah wajah asli Jaro Rojab yang sebenarnya. Kalau ada gunungan tumpeng, itu meupakan rekayasa dari keluarga besar keraton Surakarta Hadiningrat. Karena kalau di telusuri dari silsilah dan asal usul leluhur Desa ini maka eyang Toleh itu datang dari wilayah barat, tepatnya dari Prabu Siliwangi yakni Kerajaan Padjadjaran,”jelas Suyitno, Minggu (15/5).
Memang dengan adanya kemauan tokoh adat Cikakak yang menghilangkan iring-iringan gunungan tumpeng itu, lanjut Suyitno, pihak kraton Surakarta agak sedikit keberatan, karena menurut pihak keraton Surakarta Hadiningrat bahwa eyang Toleh sendiri masih kerabat mereka.
Hal ini Dibenarkan Subagyo, Juru Kunci I Masjid Saka Tunggal Cikakak. Menurut Bagyo, selain itu dengan adanya Kali Cipakis yang mengalir di depan makam keramat eyang Toleh yang di ganti nama di jaman itu dengan nama Kali Asahan. Maka pihak Keraton Surakarta Hadiningrat mengkaitkan hubungan kekerabatan Eyang Toleh yang masuk silsilah Kraton Surakarta. “Nih saya buka sedikit saja tentang keberadaan pepunden kami ini. Eyang Toleh itu merupakan nama samaran dari Eyang Cakra Buana. Jadi sangat jauh hubungannya denga Surakarta. Itu saja,”ujar Subagyo.
Secara terpisah, KRH Palillo Diningrat, Kasepuhan Adat Paguyuban Keluarga Mataram (PAKASA) Cikakak melalui Raden Tumenggung Handoyo Dipuro sangat menyayangkan dengan adanya perselisihan semacam ini. Padahal ada tradisi arak-arakan tumpengan ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam.
“Tapi kenapa baru sekarang adanya ontran-ontran atau mempermasalahkan hal ini ketika eyang Palillo sebagai Kasepuhan Cikakak sudah tidak berdaya karena sudah sepuh. Kalau memang mau membahas asli tidaknya sebaiknya di masa para kasepuhan masih sehat, jadi kita semua tahu mana yang benar dan mana yang salah. Kalau seperti ini, kami generasi muda yang tidak dibekali pengetahuan silsilah secara lengkap tidak bisa berbuat banyak. Kami hanya mempersilahkan pak kades bersama kasepuhan adat yang menentang tradisi yang sudah dijalankan sejak lama,”ungkap RT Handoyo Dipuro.
Menurut dia, budaya tumpengan selain menjadi bagian dari sejarah, juga bisa untuk meningkatkan wisatawan di Masjid Saka Tunggal Cikakak ini. “Mengingat Masjid Saka Tunggal dan Desa Cikakak ini sudah menjadi satu kesatuan Desa Budaya. Ini sudah di tetapkan oleh Pemkab Banyumas. Maka marilah di sengkuyung bersama, jangan lagi ada perselisihan pendapat seperti sekarang ini,”pungkas RT Handoyo Dipuro.
Sumber: http://www.siagaindonesia.com