Sawahlunto, Sumbar - Masyarakat adat di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat (Sumbar), mengharapkan pemerintah daerah setempat mengusulkan tradisi tolak bala Bakaru ditetapkan sebagai cagar budaya.
"Tradisi tersebut sudah melekat sejak lama dalam kehidupan sosial sebagian besar masyarakat adat kota ini dan pelaksanaannya penuh dengan nilai-nilai pendidikan moral guna membangun karakter anak nagari," kata Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Kajai, Thamrin DT Malano Sati, di Sawahlunto, Selasa.
Meskipun ada beberapa perbedaan kecil dalam tata cara pelaksanaannya, namun memiliki tujuan yang sama yakni membangun rasa kebersamaan serta menumbuhkan semangat gotong royong di kalangan masyarakat disamping mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurutnya, jika kegiatan tersebut bisa dilaksanakan secara serentak maka diyakini mampu sebuah tontonan menarik bagi wisatawan dalam mendukung visi kota itu sebagai kota wisata tambang yang berbudaya.
"Namun semuanya tidak terlepas dari pembiayaan, selama ini tradisi tersebut kami danai dari iuran warga serta sumbangan pihak lain yang tidak mengikat," tambahnya.
Sementara itu, Sekretaris Kecamatan Barangin, Subandi Arpan mengakui tradisi bakaru sudah menjadi kegiatan rutin tahunan bagi sejumlah kelompok masyarakat adat daerah itu.
"Kegiatan tersebut biasanya dipusatkan di halaman rumah ibadah dan bahkan sebagian dilaksanakan pada beberapa tempat yang disakralkan oleh masyarakat secara turun temurun, seperti Lasuang Manangih di Desa Lumindai dan Balai Batu Sandaran yang saat ini dijadikan nama desa itu sendiri," jelasnya.
Dua lokasi tersebut, lanjutnya, memiliki keunikan tersendiri dan diketahui keberadaannya sudah sejak beratus tahun yang lalu dan masih terawat baik hingga saat ini.
Terkait permintaan masyarakat adat tersebut, seorang pelaku seni asal kota itu, Adril Janggara menilai selama ini tradisi adat yang berasal dari kearifan lokal masyarakat setempat, belum mendapatkan porsi yang layak dalam upaya mengembangkannya sebagai ikon seni budaya di Sawahlunto.
"Seluruhnya masih dikemas dalam konsep hiburan yang kadang-kadang justru mengabaikan kualitas serta nilai-nilai budaya itu sendiri karena telah menjadi konsumsi politik kepentingan oleh oknum tertentu," lanjut dia.
Akibatnya, tradisi yang dimunculkan sebagai tontonan itu tidak diminati oleh masyarakat, hal itu bisa dilihat dari rendahnya animo untuk menyaksikan penampilan mereka.
"Sementara nilai tradisi khas yang lahir dari kearifan lokal masyarakat setempat justru dibiarkan menjadi tamu dirumahnya sendiri," sesalnya.
Menyikapi hal tersebut, Kepala Seksi Pembinaan Seni Budaya dan Perfilman Dinas Pariwisatan dan Kebudayaan setempat, Syukri SSn mengatakan pihaknya berupaya menjadikan tradisi budaya yang ada bisa berkembang dalam menyangga pertumbuhan industri pariwisata di kota itu.
"Kami menyadari pelestarian budaya yang berasal dari kearifan lokal lebih memiliki karakater lebih kuat dibandingkan seni tradisi budaya yang justru menjadi ikon di daerah lain," tambahnya.
Sumber: http://budaya.rimanews.com